Ini cerita soal makanan dan jajanan
pinggir jalan. Aneka kuliner yang tetap
bertahan sejak dulu sampai sekarang. Harganya murah, porsinya maksi. Soal rasa,
abaikan saja. Sebab, lidah dan selera
manusia berbeda-beda. Yang bilang enak, pasti karena hanya makanan itu yang
mampu dibeli. Yang berduit? Tentu akan berkata sebaliknya. Coba simak kisah-kisah mini berikut ini:
Suatu hari, Om saya yang tinggal di
Tulunggagung, datang ke Surabaya. Namanya Om Dollar. Dia adik kandung Mama.
Saya biasa memanggilnya Om Do. Sore
hari, di sekitar rumah banyak penjual pangsit mie pakai gerobak dorong yang lewat. Ada salah satu
yang menjadi langganan saya. Rasanya enak dan juga murah. Waktu itu, harga satu
mangkok hanya 50 rupiah.
“Om Do, mau pangsit mie? Rasanya hao che (enak) Om.”
“Ah… benar hao che?”
“Iya Om, coba saja,” jawab saya
meyakinkan.
Apa komentar Om Do setelah mencicipi
pangsit mie yang saya pesan?
“Pangsit mie rp u sek, pu hao che (Pangsit mie 50 rupiah tidak
enak),” katanya sambil menjulurkan
lidah dengan ekspresi muka tidak suka.
Cerita lain yang nyaris sama dengan
Om Do, datang dari Tante Nik. Dia adik Mama yang tinggal di Jakarta. Ketika
datang ke Surabaya, saya belikan gado-gado yang jualan di pinggir jalan.
Harganya murah, porsinya banyak. Bumbu kacangnya sedikit dicampur dengan tepung
biar kental. Menurut lidah saya,
gado-gado itu rasanya enak banget.
Kami sekeluarga makan bersama. Saya
makan dengan lahapnya. sementara Tante
Nik, baru makan satu sendok, berhenti
sebentar. Lalu mengaduk-aduk gado-gado di piring. Kemudian dia meneruskan makan sambil berkata;
“Ah, gado-gadonya tidak enak. Bumbunya palsu,
kacangnya sedikit.”
Lain lagi cerita dengan adik saya, Jien
Fung. Kami pernah melewati masa kecil, masa remaja sampai dewasa dalam keadaan susah di Surabaya. Karena
keadaan itu pula, kami hidup prihatin dan sama-sama jadi penggemar makanan
pinggir jalan. Sampai kemudian adik saya
berontak dari keadaan dan memutuskan untuk merantau dan hidup di Amerika.
Nah, ketika ada kesempatan pulang,
adik saya kangen dan ingin bernostalgia dengan makanan pinggir jalan. Salah
satu makanan yang ingin dicicipi adalah
soto Pak Jo. Makanan yang dulu sering mengganjal perut dan rasanya
sangat nikmat. Kebetulan, Pak Jo berjualan di kawasan Pandegiling. Dekat dengan rumah kami.
Soto Pak Jo, saat itu, terkenal
karena enak. Paling laris. Pembelinya antri.
Salah satu ciri khas soto ini,
pakai koyah ditaburi irisan bawang putih
goreng. Rasa bawangnya kuat sekali. Terasa banget. Kalau kita mau tambah koyah,
tidak boleh ambil sendiri. Pak Jo hanya ambil sedikit saja. Kalau kebanyakan
justru akan terasa pahit.
Jien Fung ingin mengulangi sensasi
rasa khas dari soto ayam itu. Tapi
ketika dimakan, adik saya langsung bilang; “Sotonya kok jadi tidak enak
ya?” Saya juga merasakan hal yang sama.
Apakah karena pengelolanya sudah ganti generasi sehingga kualitasnya menurun?
Atau selera berubah karena keadaan
ekonomi sudah membaik? Apa karena sudah sering makan soto lain yang rasanya lebih
enak? Intinya, kami tidak merasakan sensasi seperti soto ayam Pak Jo yang dulu.
Dari tiga anekdot tentang makanan tadi, saya ingin mengatakan
bahwa enak atau tidak enak sangat erat kaitannya dengan daya
beli. Berhubungan dengan situasi
ekonomi. Bagi si miskin, yang hanya mampu
membeli makanan murah di pinggir jalan, akan mengatakan enak. Berbanding
terbalik dengan orang kaya yang mampu membeli makanan lebih mahal. Seleranya
pasti berbeda.
Ini pengalaman pribadi saya dan hanya
bisa dipahami oleh orang yang pernah hidup dalam himpitan kemiskinan. Pengalaman orang yang sehari-hari sering makan ketika
perutnya benar-benar terasa lapar. Sebab,
menurut saya, bumbu penyedap makanan
paling istimewa di dunia ini adalah “rasa lapar” itu sendiri.
Maka makanlah selagi perut terasa
lapar. Apapun jenis makanannya, saya jamin pasti terasa lezat dan nikmat. Begitulah yang saya alami. Bertahun-tahun
akrab dengan makanan dan jajanan murahan. Kebiasaan itu terbawa sampai
sekarang. Sulit bagi saya untuk melupakan. Rasa kangen sering datang tiba-tiba
dan saya membelinya. Kadang makan di
tempat atau dibungkus untuk saya bawa pulang.
Apa yang saya rasakan ketika
menyantap makanan atau jajanan pinggir jalan tadi? Bukan sekedar menikmati rasa
yang masih cocok dengan lidah saya. Lebih dari itu, ada kisah nyata yang mewarnai perjalanan hidup saya dan
keluarga saya. Yang membentuk mental dan karakter saya menjadi tangguh dan tidak mudah menyerah.
Kisah Dua Sehat,
Tiga Puji Tuhan
Kondisi ekonomi keluarga saya yang
morat marit, terimbas pada pola makan. Tidak ada makanan yang berlebihan. Menu
pun tidak pernah lebih dari dua macam. Kebanyakan satu macam. Kalau beli lauk, satu
porsi dikeroyok oleh lima orang. Papa, Mama, kakak, adik dan
saya.
Kebiasaan setiap hari, Mama hanya
masak nasi. Sesekali masak lauk sendiri, tapi lebih sering beli lauk di luar.
Masalahnya, Mama terlalu sibuk dengan banyak pekerjaan lain. Bikin jajan
sekaligus mengantar ke toko atau warung yang bersedia menerima titipan jajan.
Sibuk juga dengan menjahit dan mengurus rumah.
Karena itu, Mama pilih praktisnya
saja. Masak nasi sementara lauknya beli di luar. Paling sering Mama menyuruh
saya beli soto. Belinya cukup satu porsi, terus minta kuahnya yang banyak. Saya
juga sering minta ditambahkan tulang-tulang ayam. Biasanya di tulang ayam atau
leher ayam itu masih ada daging yang menempel. Dikrikiti bersama-sama, rasanya
sangat nikmat.
Selain soto, kami suka beli ayam
goreng Sriwijaya yang terkenal paling lezat di Surabaya. Tapi jangan membayangkan ayam goreng yang
kami beli itu potongan paha atau dada sebesar kepalan tinju bayi. Bukan itu.
Kami hanya mampu membeli bagian kepala ayam. Belinya juga terbatas. Hanya lima
dan masing-masing dapat satu kepala.
Kebiasaan saya, kalau makan, daging
kepala ayam itu saya gigit sedikit demi sedikit. Nasinya yang banyak. Nah,
ketika nasinya habis, kepala ayamnya masih ada. Selanjutnya, kepala yang tersisa
tadi saya nikmati perlahan-lahan. Nikmat
yang paling nikmat adalah ketika kita
mencicipi bagian Otaknya. Seperti pecah
dan ada cairan khas yang gurihnya
nendang di lidah. Kebiasaan makan kepala ayam itu sampai sekarang masih saya
lakukan.
Sate ayam, juga jadi pilihan. Tapi
bukan sate ayam yang dijual di depot. Kami memilih sate ayam murah yang
biasanya dijual keliling oleh ibu-ibu dari Madura. Daging satenya kecil-kecil tapi dikasi
kelapa. Karena daging yang ditusuk itu kecil, orang kampung menyebutnya “sate
laler”. Artinya sate yang dagingnya sebesar lalat (laler-Jawa)..
Kalau dibakar, aroma asap sate itu
mengundang selera makan. Mungkin karena di antara daging sate lebih banyak
gajihnya (lemak). Kita minta bumbunya yang banyak. Dengan membeli 10 tusuk, masing-masing dapat
dua tusuk. Makannya bersama, nikmatnya
juga bersama.
Sehari-hari, kami tidak makan dengan
menu empat sehat lima sempurna. Tapi cukup dua sehat, tiga Puji Tuhan. Ada nasi
plus lawuh seadanya, kemudian minum air
putih sambil berucap “Puji Tuhan”.
Jajan
Tradisional
Saya paling suka jajanan tradisional. Makanan rakyat yang dulu banyak dijajakan, baik di pasar maupun
di kampung-kampung. Murah meriah dan bikin perut kenyang. Pokoknya, jajan apa
pun yang kita beli, harus murah dan mengenyangkan. Salah satunya adalah Polo
Pendem.
Mungkin banyak yang belum tahu
tentang jenis makanan tradisional yang satu ini. Polo Pendem itu adalah
berbagai macam umbi-umbian yang diambil dari dalam tanah. Seperti ketela pohon,
ketela rambat, mbothe atau talas, bentul,
ganyong kacang ose dan masih banyak lagi.
Makanan ini paling murah, gampang
diolah dan bikin perut kita kenyang. Cukup direbus atau dikukus. Dikasi garam
sedikit. Ya sudah. Langsung bisa
dimakan. Biasanya, kalau makan Polo Pendem, bawaannya pengen minum. Nah, dengan
minum air, perut langsung terasa kenyang.
Ada satu lagi makanan yang juga
murah meriah dan bikin perut kenyang. Namanya gayam. Sebagian orang mungkin kurang familier dengan
buah gayam yang pohonnya tumbuh di daerah tropis yang lembab.
Buahnya tidak bisa langsung
dimakan. Kulit buahnya keras sehingga
butuh proses tersendiri untuk dapat mengkonsumsinya. Dulu, gayam yang
dijual di pasar, kulitnya sudah dikupas.
Pembeli tinggal merebus atau kalau mau digoreng terlebih dahulu di iris
tipis-tipis. Mama saya paling senang buah ini. Tapi sayangnya, sekarang jarang
orang jual.
Petulo, salah satu makanan
tradisional yang mulai jarang bisa ditemukan. Jajanan yang berbahan dasar
tepung beras, santan dan gula jawa ini, sangat nikmat disantap. Di beberapa
daerah, petulo dikenal dengan nama putu mayang. Tapi di Jawa Timur orang akrab
menyebut petulo. Kadang dikasi warna warni agar menarik. Kuahnya hangat, rasanya manis. Di daerah
pedesaan, mungkin masih banyak dijual. Terutama saat bulan puasa karena sangat
pas buat berbuka puasa.
Banyak sekali jajanan tradisional
yang sangat lezat. Belakangan, beberapa praktisi kuliner atau ahli tata boga
mulai melirik jajanan pasar untuk dikembangkan. Mereka berkreasi dan berinovasi
sehingga tampilannya lebih modern. Hal itu juga dikembangkan di Tristar Culinary Institute yang saya kelola.
Seperti jajanan tradisional klepon,
lemet, talam ubi, putu ayu, bubur Madura, cenil, tiwul, srawut, jenang dan
masih banyak lagi.
Roti Balen
Bu Ndarjo,
pemilik warung dekat rumah di Pandegiling Surabaya, hafal betul apa yang saya
cari ketika datang ke tempatnya. Saya belum ngomong, ibu setengah baya itu
langsung mengambil tas kresek berisi beberapa roti yang disimpan di rak paling pojok
di warungnya.
Roti tersebut sengaja diletakkan terpisah dari tumpukan roti-roti
yang dijual. Bukan karena sudah saya pesan sebelumnya. Tapi disisihkan
karena sudah kadaluarsa. Kondisinya sudah mulai mengering dan ada yang sudah keluar
jamurnya. Sudah tidak layak jual. Biasanya dikembalikan pada pemilik roti.
Makanya orang sering menyebutnya “roti balen” (roti yang dikembalikan).
“Ini
Nyo,” kata Bu Ndarjo sambil menyodorkan
tas kresek berisi beberapa potong roti. Saya menerima tanpa ada basa-basi.
Langsung bayar separuh dari harga roti yang masih baru. Saya buru-buru pergi.
Orang-orang yang ada di warung itu mungkin
tidak tahu kalau roti yang saya
beli itu adalah roti balen. Kalau pun
ada yang tahu, mungkin mereka kira roti tadi untuk makanan hewan piaraan di
rumah.
Ketika
pertama saya beli roti balen, Bu Ndarjo pernah tanya:
“Untuk apa
roti balennya Nyo?”
“Untuk pakan
ternak. Juga buat makan ikan lele di kolam,” jawabku waktu itu. Karena itulah,
Bu Ndarjo selalu menyimpan di tempat tersendiri roti-roti yang sudah kadaluarsa
itu.
Sesampai di
rumah, roti itu saya daur ulang. Caranya sederhana sekali. Bagian yang ada
jamurnya dibersihkan dengan cara dikupas. Setelah bagian yang berjamur itu
hilang, roti dicuil kecil-kecil kemudian
saya jemur sampai kering. Setelah kering, tidak perlu diolah lagi. Tidak usah
digoreng atau dimasak ulang. Cuilan roti yang sudah kering tadi bisa
langsumg dimakan. Rasanya? Emm… menurut saya sih enak. Dikunyah terasa
renyah, kriuk-kriuk. Persis seperti makan jajanan kering.
Keadaanlah
membuat kami sekeluarga hanya menelan
ludah jika muncul keinginan mencicipi jajan modern. Hanya bisa memandang
kue-kue mahal yang biasa dipajang di
etalase toko atau restoran. Kalau nekat
beli, maka ada kebutuhan yang lebih penting harus dikorbankan.
Suatu hari,
saya jalan-jalan ke pertokoan modern, Wijaya Shopping Centre di Jalan Bubutan.
Pertokoan itu ludes terbakar tahun 1996. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun
2007, di lokasi tersebut berdiri BG Juction
alias “Bubutan Golden Juction”
hingga sekarang.
Saya sering
mampir ke pertokoan tersebut setelah
kulakan bahan jahitan. Di sana,
ada restoran modern yang menjual hamburger. Ketika lewat di depan, tercium
aroma makanannya. Kemudian, di etalase terpajang kue-kue modern yang tentu saja
tidak terbeli. Saya hanya lewat saja. Hanya melihat. Kemudian saya menghibur
diri dengan berkata dalam hati:
“Kelak, saya
bukan hanya bisa mencicipi makanan-makanan seperti itu. Tapi, saya akan
memproduksinya, menjual di restoran milik sendiri.”
Benar kata orang: “ucapan adalah doa.” Terbukti,
kalimat yang dulu hanya terucap
dalam hati itu, kini jadi kenyataan. Puji Tuhan.
Buah Afkiran
Saya masih ingat. Di Jalan Pasar
Besar dekat Tugu Pahlawan, ada toko
buah. Lupa nama tokonya. Di sana, selain jual buah-buahan lokal, juga
ada buah-buah impor. Pembelinya cukup
ramai. Tentu saja yang datang ke situ adalah
orang-orang berduit.
Saya sering lewat di depan toko
itu. Setidaknya ketika saya disuruh
kulakan ke daerah Pasar Atom atau mengantar order pakaian wanita untuk di-plisket
atau plisir di Jalan Sulung. Di sana ada tukang plisir. Jadi, mama menerima
order plisiran dari penjahit-penjahit, kemudian dioper ke pemilik alat plisir. Tidak beda dengan agen laundry. Terima order
kemudian dilempar ke pemilik mesin laundry.
Kalau pulang, selalu lewat toko buah
tersebut. Lagi-lagi saya hanya bisa memandang sambil membayangkan nikmatnya
makan buah apel, jeruk, pir dan buah-buah impor lainnya. Hingga suatu hari,
saya melihat dua orang yang datang ke toko tersebut sambil membawa keranjang.
Dari penampilannya, saya
pastikan bukan orang kaya. Si perempuan memakai kain panjang (sewek) dan
baju biasa. Pakai sandal japit. Yang pria, juga pakai sandal japit, berkopiah
dan pakai sarung. Tapi mereka kok memborong buah dalam jumlah banyak?
Saya penasaran. Kemudian
memberanikan diri mendekat. Oooo
ternyata pasangan suami istri itu memborong buah-buahan afkiran untuk dijual
lagi. Buah-buahan itu ada yang hampir rusak, sudah keriput, benjut dan
ada yang sudah cacat karena kena benturan.
Buah-buah yang tidak laku itu
dijual dengan harga murah.
Saya memberanikan diri bilang pada
pemilik toko untuk ikut membeli.
Dia tanya: “Nyo, mau dijual lagi?”
Saya jawab : “O tidak. Buahnya untuk
dimakan sendiri.”
Pemilik toko tidak keberatan. Dia
meyuruh saya untuk memilih buah yang saya inginkan. Nah, hanya dengan uang sedikit,
saya bisa dapat buah dalam jumlah yang lumayan banyak untuk dimakan bersama.
·
Menunggu Pesta Pernikahan
Ada dua
kesempatan paling istimewa untuk bisa menikmati hidangan mewah. Pertama, Kalau
ditraktir orang. Seperti ketika ada
keluarga yang datang dari luar kota atau
ada pengusaha yang ingin bertemu Papa.
Kesempatan kedua, kalau ada undangan pesta pernikahan.
Ketika ada keluarga Papa atau Mama
dari luar kota, sering melakukan wisata kuliner. Tempat-tempat favorit yang
sering didatangi, antara lain Ayam Goreng Pemuda, Soto Ayam Imam Bonjol, Soto
Madura Gubeng. Kalau teman papa yang pengusaha, kadang mengajak kami makan di
restoran.
Makan ditraktir orang kadang ada
rasa sungkan. Misalnya, kalau pengen
nambah, harus mikir dua kali. Berbeda dengan makan pada pesta pernikahan. Kita
bisa bebas memilih menu apa saja. Mau nambah juga gak ada masalah. Ada sup
asparagus, ayam kanton, burung dara, gurami asam manis dan masih banyak lagi.
Semuanya bikin ngiler dan bisa dinikmati semau-mau kita.
Jaman dulu, tempat pesta pernikahan
yang paling terkenal adalah Bima Garden di Jalan Pahlawan, Tristar Restauran di
Jl. Pasar Besar, kemudian Mahkota Restoran
di dekat Bambu Runcing. Sekarang sudah tutup.
Kalau yang menikah itu dari
keluarga yang lebih kaya, biasanya
tempat pesta dilaksanakan di hotel
berbintang. Seperti di Ganden Palace Hotel Jalan Yos Sudarso atau di Mirama Hotel
di Jalan Raya Darmo yang sekarang jadi
Marcure Hotel.
Ketika undangan datang, biasanya dua
minggu sebelum acara, saya sudah membayangkan kelezatan menu-menu yang akan
dihidangkan. Apalagi kalau pestanya
berlangsung di Garden Palace. Di sana ada menu istimewa yang sangat saya sukai.
Ayam kampung utuh diisi aneka kacang-kacangan, jamur, potongan-potongan daging
dan lain-lain.
Menu tersebut sampai sekarang masih
ada dan bisa dipesan. Tapi entah kenapa, ketika kami sudah punya uang dan bisa
beli sendiri, rasanya sudah tidak senikmat dulu lagi. Rasanya biasa-biasa saja.
Masa-masa
paceklik yang panjang, berhasil kami lewati dengan hati yang lapang. Tabah menerima
keadaan tanpa keluhan. Sebab, di balik
kesusahan, ada kenikmatan yang diberkati
oleh Tuhan.
Praktik
Masak Selalu Gagal
Mungkin
banyak orang yang mengira, saya ini jago masak. Ahli bikin kue. Pakar segala
jenis makanan. Anggapan itu tentu saja dikaitkan dengan kesuksesan saya
mengembangkan sekolah kuliner hingga memiliki banyak cabang di beberapa kota di
Indonesia. Dikaitkan juga dengan keberhasilan saya mengelola sejumlah restoran.
Kalau boleh
berkata jujur, saya bukanlah pakar. Tidak jago masak. Juga tidak
ahli bikin kue. Disiplin ilmu
yang saya pelajari, juga tidak ada yang
bersentuhan dengan soal kuliner, tentang tata boga. Tapi saya punya minat dan suka belajar
memasak. Sayangnya, saya sering gagal ketika mencoba
bikin kue dan makanan dari buku-buku resep.
Kebetulan
Mama punya buku resep klasik. Judulnya: “Pandai Memasak”. Buku tersebut berisi
aneka resep masakan dan kue yang pernah dimuat di mingguan Star Weekly, kemudian dihimpun oleh penerbit Keng Po Jakarta tahun
1959. Itulah buku resep terbaik waktu itu dan menjalani cetak ulang tahun
1960-an. Tulisan di buku tersebut masih memakai ejaan lama.
Saya pernah mempraktikkan beberapa resep
makanan yang ada di buku tersebut. Dalam hati, apa sih susahnya? Toh tinggal
membaca resep-resepnya, kemudian
memasaknya. Pasti beres kan? Tapi apa yang terjadi? Ternyata tidak
semudah yang saya bayangkan. Masakannya bukan saja tidak enak, tetapi juga jadi
bahan tertawaan.
“Oen (nama
panggilan saya), masakanmu gak enak. Rasanya gak jelas. Terus serehnya kayak
orang mekangkang.” Saya baru sadar bahwa sereh yang saya masukkan ke dalam
masakan tidah diikat sehingga terlihat berantakan di dalam makanan. Seperti
orang mekangkang.
Ternyata memasak itu butuh konsentrasi
penuh. Kesalahan kecil ketika proses
pembuatan kue bisa menggagalkan produksi. Itulah yang saya alami ketika praktik
resep cake. Saya anggap tepung itu sudah
lembut. Buat apa diayak lagi. Langsung saja saya campur dengan gula lalu diaduk-aduk.
Proses memasak berjalan lancar.
Kuenya mateng dan terlihat cantik. Saya senang karena ini akan jadi kue pertama yang berhasil saya
buat dengan hasil yang sempurna. Tapi ketika kuenya dipotong, ternyata banyak
butiran tepung sebesar biji kacang hijau berserakan di dalam roti. Yaaaa … gagal lagi gagal lagi.
Banyak faktor lain yang membuat kue
gagal produksi. Masalahnya sepele. Hanya karena bowl atau mangkuk tempat
mengocok telur, masih berminyak alias
basah. Proses pengocokan dilakukan tanpa
mengeringkan mangkuk tadi membuat adonan jadi gak bisa mengembang. Hasilnya? Kue jadi
bantet, keras, kaku dan tidak mengembang.
Melihat hasil kue tadi, keluarga
saya menyebut “kue balang anjing”.
Maksuknya, kue itu keras banget dan kalau dibalangkan ke anjing, maka anjingnya
pasti kaing-kaing kesakitan. Padahal, untuk membuat kue tadi menghabiskan
18 butir telur. Sial banget.
***