Tuesday, November 27, 2018

LAPAR ADALAH BUMBU PALING SEDAP



Ini cerita soal makanan dan jajanan pinggir jalan.  Aneka kuliner yang tetap bertahan sejak dulu sampai sekarang. Harganya murah, porsinya maksi. Soal rasa, abaikan saja. Sebab, lidah  dan selera manusia berbeda-beda. Yang bilang enak, pasti karena hanya makanan itu yang mampu dibeli. Yang berduit? Tentu akan berkata sebaliknya. Coba simak kisah-kisah  mini berikut ini:
 
Suatu hari, Om saya yang tinggal di Tulunggagung, datang ke Surabaya. Namanya Om Dollar. Dia adik kandung Mama. Saya biasa memanggilnya  Om Do. Sore hari, di sekitar rumah banyak penjual pangsit mie pakai  gerobak dorong yang lewat. Ada salah satu yang menjadi langganan saya. Rasanya enak dan juga murah. Waktu itu, harga satu mangkok hanya 50 rupiah.
“Om Do, mau pangsit mie? Rasanya hao che (enak) Om.”
“Ah… benar hao che?”
“Iya Om, coba saja,” jawab saya meyakinkan.
Apa komentar Om Do setelah mencicipi pangsit mie yang saya pesan?
“Pangsit mie rp u sek, pu  hao che (Pangsit mie 50 rupiah tidak enak), katanya sambil menjulurkan lidah dengan ekspresi muka tidak suka.
Cerita lain yang nyaris sama dengan Om Do, datang dari Tante Nik. Dia adik Mama yang tinggal di Jakarta. Ketika datang ke Surabaya, saya belikan gado-gado yang jualan di pinggir jalan. Harganya murah, porsinya banyak. Bumbu kacangnya sedikit dicampur dengan tepung biar kental.  Menurut lidah saya, gado-gado itu rasanya enak banget.
Kami sekeluarga makan bersama. Saya makan dengan lahapnya. sementara  Tante Nik,  baru makan satu sendok, berhenti sebentar. Lalu mengaduk-aduk gado-gado di piring. Kemudian dia  meneruskan makan sambil berkata; 
 “Ah, gado-gadonya tidak enak. Bumbunya palsu, kacangnya sedikit.”
Lain lagi cerita dengan adik saya, Jien Fung. Kami pernah melewati masa kecil, masa remaja sampai dewasa  dalam keadaan susah di Surabaya. Karena keadaan itu pula, kami hidup prihatin dan sama-sama jadi penggemar makanan pinggir jalan.  Sampai kemudian  adik saya  berontak dari keadaan dan memutuskan untuk merantau dan hidup di  Amerika. 
Nah, ketika ada kesempatan pulang, adik saya kangen dan ingin bernostalgia dengan makanan pinggir jalan. Salah satu makanan yang ingin dicicipi adalah  soto Pak Jo. Makanan yang dulu sering mengganjal perut dan rasanya sangat nikmat. Kebetulan, Pak Jo berjualan di kawasan  Pandegiling. Dekat dengan rumah kami.
Soto Pak Jo, saat itu, terkenal karena enak. Paling laris. Pembelinya antri.  Salah satu ciri khas  soto ini, pakai koyah  ditaburi irisan bawang putih goreng. Rasa bawangnya kuat sekali. Terasa banget. Kalau kita mau tambah koyah, tidak boleh ambil sendiri. Pak Jo hanya ambil sedikit saja. Kalau kebanyakan justru akan terasa pahit.
Jien Fung ingin mengulangi sensasi rasa  khas dari soto ayam itu. Tapi ketika dimakan, adik saya langsung bilang; “Sotonya kok jadi tidak enak ya?”  Saya juga merasakan hal yang sama. Apakah karena pengelolanya sudah ganti generasi sehingga kualitasnya menurun? Atau  selera berubah karena keadaan ekonomi sudah membaik? Apa karena sudah  sering makan soto lain yang rasanya lebih enak? Intinya,   kami tidak merasakan  sensasi seperti soto ayam Pak Jo yang dulu.
Dari tiga anekdot  tentang makanan tadi, saya ingin mengatakan bahwa  enak atau  tidak enak sangat erat kaitannya dengan daya beli.  Berhubungan dengan situasi ekonomi. Bagi si miskin, yang hanya mampu  membeli makanan murah di pinggir jalan, akan mengatakan enak. Berbanding terbalik dengan orang kaya yang mampu membeli makanan lebih mahal. Seleranya pasti berbeda.
Ini pengalaman pribadi saya dan hanya bisa dipahami oleh orang yang pernah hidup dalam himpitan kemiskinan.  Pengalaman orang   yang sehari-hari sering makan ketika perutnya benar-benar terasa  lapar. Sebab, menurut saya,  bumbu penyedap makanan paling istimewa di dunia ini adalah “rasa lapar” itu sendiri.
Maka makanlah selagi perut terasa lapar. Apapun jenis makanannya, saya jamin pasti terasa lezat dan nikmat.  Begitulah yang saya alami. Bertahun-tahun akrab dengan makanan dan jajanan murahan. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Sulit bagi saya untuk melupakan. Rasa kangen sering datang tiba-tiba dan saya  membelinya. Kadang makan di tempat atau dibungkus untuk saya bawa pulang.
Apa yang saya rasakan ketika menyantap makanan atau jajanan pinggir jalan tadi? Bukan sekedar menikmati rasa yang masih cocok dengan lidah saya. Lebih dari itu, ada kisah nyata  yang mewarnai perjalanan hidup saya dan keluarga saya. Yang membentuk mental dan karakter saya  menjadi tangguh dan tidak mudah menyerah.


Kisah Dua Sehat, Tiga Puji Tuhan

Kondisi ekonomi keluarga saya yang morat marit, terimbas pada pola makan. Tidak ada makanan yang berlebihan. Menu pun tidak pernah lebih dari dua macam. Kebanyakan satu macam. Kalau beli lauk, satu porsi dikeroyok   oleh lima orang. Papa, Mama, kakak, adik dan saya.

Kebiasaan setiap hari, Mama hanya masak nasi. Sesekali masak lauk sendiri, tapi lebih sering beli lauk di luar. Masalahnya, Mama terlalu sibuk dengan banyak pekerjaan lain. Bikin jajan sekaligus mengantar ke toko atau warung yang bersedia menerima titipan jajan. Sibuk juga dengan menjahit dan mengurus rumah.

Karena itu, Mama pilih praktisnya saja. Masak nasi sementara lauknya beli di luar. Paling sering Mama menyuruh saya beli soto. Belinya cukup satu porsi, terus minta kuahnya yang banyak. Saya juga sering minta ditambahkan tulang-tulang ayam. Biasanya di tulang ayam atau leher ayam itu masih ada daging yang menempel. Dikrikiti bersama-sama, rasanya sangat nikmat.
Selain soto, kami suka beli ayam goreng Sriwijaya yang terkenal paling lezat di Surabaya.  Tapi jangan membayangkan ayam goreng yang kami beli itu potongan paha atau dada sebesar kepalan tinju bayi. Bukan itu. Kami hanya mampu membeli bagian kepala ayam. Belinya juga terbatas. Hanya lima dan masing-masing dapat satu kepala. 
Kebiasaan saya, kalau makan, daging kepala ayam itu saya gigit sedikit demi sedikit. Nasinya yang banyak. Nah, ketika nasinya habis, kepala ayamnya masih ada. Selanjutnya, kepala yang tersisa tadi saya nikmati perlahan-lahan.  Nikmat yang paling nikmat adalah  ketika kita mencicipi  bagian Otaknya. Seperti pecah dan ada cairan khas yang  gurihnya nendang di lidah. Kebiasaan makan kepala ayam itu sampai sekarang masih saya lakukan.
Sate ayam, juga jadi pilihan. Tapi bukan sate ayam yang dijual di depot. Kami memilih sate ayam murah yang biasanya dijual keliling oleh ibu-ibu dari Madura.  Daging satenya kecil-kecil tapi dikasi kelapa. Karena daging yang ditusuk itu kecil, orang kampung menyebutnya “sate laler”. Artinya sate yang dagingnya sebesar lalat (laler-Jawa)..
Kalau dibakar, aroma asap sate itu mengundang selera makan. Mungkin karena di antara daging sate lebih banyak gajihnya (lemak). Kita minta bumbunya yang banyak.  Dengan membeli 10 tusuk, masing-masing dapat dua tusuk.  Makannya bersama, nikmatnya juga bersama.
Sehari-hari, kami tidak makan dengan menu empat sehat lima sempurna. Tapi cukup dua sehat, tiga Puji Tuhan. Ada nasi plus lawuh  seadanya, kemudian minum air putih sambil berucap “Puji Tuhan”.

 Jajan Tradisional
 Saya paling suka  jajanan tradisional. Makanan rakyat yang  dulu banyak dijajakan, baik di pasar maupun di kampung-kampung. Murah meriah dan bikin perut kenyang. Pokoknya, jajan apa pun yang kita beli, harus murah dan mengenyangkan. Salah satunya adalah Polo Pendem.
Mungkin banyak yang belum tahu tentang jenis makanan tradisional yang satu ini. Polo Pendem itu adalah berbagai macam umbi-umbian yang diambil dari dalam tanah. Seperti ketela pohon, ketela rambat, mbothe atau talas, bentul,  ganyong kacang ose dan masih banyak lagi.
Makanan ini paling murah, gampang diolah dan bikin perut kita kenyang. Cukup direbus atau dikukus. Dikasi garam sedikit. Ya sudah.  Langsung bisa dimakan. Biasanya, kalau makan Polo Pendem, bawaannya pengen minum. Nah, dengan minum air, perut langsung terasa kenyang.
Ada satu lagi makanan yang juga murah meriah dan bikin perut kenyang. Namanya gayam.  Sebagian orang mungkin kurang familier dengan buah gayam yang pohonnya tumbuh di daerah tropis yang lembab. 
Buahnya tidak bisa langsung dimakan.  Kulit buahnya keras sehingga butuh proses tersendiri untuk dapat mengkonsumsinya. Dulu, gayam yang dijual di pasar, kulitnya sudah dikupas.  Pembeli tinggal merebus atau kalau mau digoreng terlebih dahulu di iris tipis-tipis. Mama saya paling senang buah ini. Tapi sayangnya, sekarang jarang orang jual.
Petulo, salah satu makanan tradisional yang mulai jarang bisa ditemukan. Jajanan yang berbahan dasar tepung beras, santan dan gula jawa ini, sangat nikmat disantap. Di beberapa daerah, petulo dikenal dengan nama putu mayang. Tapi di Jawa Timur orang akrab menyebut petulo. Kadang dikasi warna warni agar menarik.  Kuahnya hangat, rasanya manis. Di daerah pedesaan, mungkin masih banyak dijual. Terutama saat bulan puasa karena sangat pas buat berbuka puasa.
Banyak sekali jajanan tradisional yang sangat lezat. Belakangan, beberapa praktisi kuliner atau ahli tata boga mulai melirik jajanan pasar untuk dikembangkan. Mereka berkreasi dan berinovasi sehingga tampilannya lebih modern. Hal itu juga dikembangkan di Tristar Culinary Institute yang saya kelola. Seperti jajanan  tradisional klepon, lemet, talam ubi, putu ayu, bubur Madura, cenil, tiwul, srawut, jenang dan masih banyak lagi.

 Roti Balen
          Bu Ndarjo, pemilik warung dekat rumah di Pandegiling Surabaya, hafal betul apa yang saya cari ketika datang ke tempatnya. Saya belum ngomong, ibu setengah baya itu langsung mengambil tas kresek berisi beberapa roti yang disimpan di rak paling pojok di warungnya. 
Roti tersebut sengaja  diletakkan terpisah dari tumpukan roti-roti yang dijual.  Bukan karena  sudah saya pesan sebelumnya. Tapi disisihkan karena sudah kadaluarsa. Kondisinya sudah mulai mengering dan ada yang sudah keluar jamurnya. Sudah tidak layak jual. Biasanya dikembalikan pada pemilik roti. Makanya orang sering menyebutnya “roti balen” (roti yang dikembalikan). 
          “Ini Nyo,”  kata Bu Ndarjo sambil menyodorkan tas kresek berisi beberapa potong roti. Saya menerima tanpa ada basa-basi. Langsung bayar separuh dari harga roti yang masih baru. Saya buru-buru pergi. Orang-orang yang ada di warung itu mungkin   tidak  tahu kalau roti yang saya beli itu adalah roti balen.  Kalau pun ada yang tahu, mungkin mereka kira roti tadi untuk makanan hewan piaraan di rumah.  
          Ketika pertama saya beli roti balen, Bu Ndarjo pernah tanya:
          “Untuk apa roti balennya Nyo?”
          “Untuk pakan ternak. Juga buat makan ikan lele di kolam,” jawabku waktu itu. Karena itulah, Bu Ndarjo selalu menyimpan di tempat tersendiri roti-roti yang sudah kadaluarsa itu. 
          Sesampai di rumah, roti itu saya daur ulang. Caranya sederhana sekali. Bagian yang ada jamurnya dibersihkan dengan cara dikupas. Setelah bagian yang berjamur itu hilang,  roti dicuil kecil-kecil kemudian saya jemur sampai kering. Setelah kering, tidak perlu diolah lagi. Tidak usah digoreng atau dimasak ulang. Cuilan roti yang sudah kering tadi  bisa  langsumg dimakan. Rasanya? Emm… menurut saya sih enak. Dikunyah terasa renyah,  kriuk-kriuk. Persis seperti makan jajanan kering.
          Keadaanlah membuat kami sekeluarga hanya  menelan ludah jika muncul keinginan mencicipi jajan modern. Hanya bisa memandang kue-kue  mahal yang biasa dipajang di etalase toko atau  restoran. Kalau nekat beli, maka ada kebutuhan yang lebih penting harus dikorbankan.
          Suatu hari, saya jalan-jalan ke pertokoan modern, Wijaya Shopping Centre di Jalan Bubutan. Pertokoan itu ludes terbakar tahun 1996. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 2007, di lokasi tersebut berdiri BG Juction  alias “Bubutan Golden Juction”  hingga sekarang.
          Saya sering mampir ke pertokoan tersebut setelah  kulakan bahan jahitan.  Di sana, ada restoran modern yang menjual hamburger. Ketika lewat di depan, tercium aroma makanannya. Kemudian, di etalase terpajang kue-kue modern yang tentu saja tidak terbeli. Saya hanya lewat saja. Hanya melihat. Kemudian saya menghibur diri dengan berkata dalam hati:
          “Kelak, saya bukan hanya bisa mencicipi makanan-makanan seperti itu. Tapi, saya akan memproduksinya, menjual di restoran milik sendiri.”  
 Benar kata orang:  “ucapan adalah doa.”  Terbukti,  kalimat yang  dulu hanya terucap dalam hati itu, kini jadi kenyataan. Puji Tuhan. 

Buah Afkiran
 Saya masih ingat. Di Jalan Pasar Besar  dekat Tugu Pahlawan, ada toko buah.  Lupa nama tokonya.  Di sana, selain jual buah-buahan lokal, juga ada  buah-buah impor. Pembelinya cukup ramai. Tentu saja yang datang ke situ adalah  orang-orang berduit.
Saya sering lewat di depan toko itu.  Setidaknya ketika saya disuruh kulakan ke daerah Pasar Atom atau mengantar order pakaian wanita untuk di-plisket atau plisir di Jalan Sulung. Di sana ada tukang plisir. Jadi, mama menerima order plisiran dari penjahit-penjahit, kemudian dioper  ke pemilik alat plisir.  Tidak beda dengan agen laundry. Terima order kemudian dilempar ke pemilik mesin laundry.
Kalau pulang, selalu lewat toko buah tersebut. Lagi-lagi saya hanya bisa memandang sambil membayangkan nikmatnya makan buah apel, jeruk, pir dan buah-buah impor lainnya. Hingga suatu hari, saya melihat dua orang yang datang ke toko tersebut sambil membawa keranjang.
Dari penampilannya, saya pastikan  bukan orang kaya.  Si perempuan memakai kain panjang (sewek) dan baju biasa. Pakai sandal japit. Yang pria, juga pakai sandal japit, berkopiah dan pakai sarung. Tapi mereka kok memborong buah dalam jumlah banyak?
Saya penasaran. Kemudian memberanikan diri mendekat.  Oooo ternyata pasangan suami istri itu memborong buah-buahan afkiran untuk dijual lagi.  Buah-buahan itu ada  yang hampir rusak, sudah keriput, benjut dan ada yang sudah cacat karena kena benturan.  Buah-buah yang tidak laku itu  dijual dengan harga murah.
Saya memberanikan diri bilang pada pemilik toko untuk ikut membeli.
Dia tanya: “Nyo, mau dijual lagi?”
Saya jawab : “O tidak. Buahnya untuk dimakan sendiri.” 
Pemilik toko tidak keberatan. Dia meyuruh saya untuk memilih buah yang saya inginkan. Nah, hanya dengan uang sedikit, saya bisa dapat buah dalam jumlah yang lumayan banyak untuk dimakan bersama.
·       Menunggu Pesta Pernikahan
          Ada dua kesempatan paling istimewa untuk bisa menikmati hidangan mewah. Pertama, Kalau ditraktir orang.  Seperti ketika ada keluarga yang  datang dari luar kota atau ada pengusaha yang ingin bertemu Papa.  Kesempatan kedua, kalau ada undangan pesta pernikahan.
Ketika ada keluarga Papa atau Mama dari luar kota, sering melakukan wisata kuliner. Tempat-tempat favorit yang sering didatangi, antara lain Ayam Goreng Pemuda, Soto Ayam Imam Bonjol, Soto Madura Gubeng. Kalau teman papa yang pengusaha, kadang mengajak kami makan di restoran.
Makan ditraktir orang kadang ada rasa sungkan.  Misalnya, kalau pengen nambah, harus mikir dua kali. Berbeda dengan makan pada pesta pernikahan. Kita bisa bebas memilih menu apa saja. Mau nambah juga gak ada masalah. Ada sup asparagus, ayam kanton, burung dara, gurami asam manis dan masih banyak lagi. Semuanya bikin ngiler dan bisa dinikmati semau-mau kita.
Jaman dulu, tempat pesta pernikahan yang paling terkenal adalah Bima Garden di Jalan Pahlawan, Tristar Restauran di Jl. Pasar Besar, kemudian  Mahkota Restoran di dekat Bambu Runcing. Sekarang sudah tutup.
Kalau yang menikah itu dari keluarga  yang lebih kaya, biasanya tempat pesta dilaksanakan di  hotel berbintang. Seperti di Ganden Palace Hotel Jalan Yos Sudarso atau di Mirama Hotel di Jalan Raya Darmo  yang sekarang jadi Marcure Hotel.
Ketika undangan datang, biasanya dua minggu sebelum acara, saya sudah membayangkan kelezatan menu-menu yang akan dihidangkan.   Apalagi kalau pestanya berlangsung di Garden Palace. Di sana ada menu istimewa yang sangat saya sukai. Ayam kampung utuh diisi aneka kacang-kacangan, jamur, potongan-potongan daging dan lain-lain.
Menu tersebut sampai sekarang masih ada dan bisa dipesan. Tapi entah kenapa, ketika kami sudah punya uang dan bisa beli sendiri, rasanya sudah tidak senikmat dulu lagi. Rasanya biasa-biasa saja.
          Masa-masa paceklik yang panjang, berhasil kami lewati dengan hati yang lapang. Tabah menerima  keadaan tanpa keluhan. Sebab, di balik kesusahan, ada  kenikmatan yang diberkati oleh Tuhan.  

 Praktik Masak Selalu Gagal
          Mungkin banyak orang yang mengira, saya ini jago masak. Ahli bikin kue. Pakar segala jenis makanan. Anggapan itu tentu saja dikaitkan dengan kesuksesan saya mengembangkan sekolah kuliner hingga memiliki banyak cabang di beberapa kota di Indonesia. Dikaitkan juga dengan keberhasilan saya mengelola sejumlah restoran.
          Kalau boleh berkata jujur, saya bukanlah pakar. Tidak jago masak. Juga  tidak  ahli bikin kue.  Disiplin ilmu yang saya pelajari, juga  tidak ada yang bersentuhan dengan soal kuliner, tentang tata boga.  Tapi saya punya minat dan suka belajar memasak. Sayangnya, saya  sering gagal  ketika  mencoba bikin kue dan makanan dari buku-buku resep.
          Kebetulan Mama punya buku resep klasik. Judulnya: “Pandai Memasak”. Buku tersebut berisi aneka resep masakan dan kue yang pernah dimuat di mingguan Star Weekly, kemudian dihimpun oleh penerbit Keng Po Jakarta tahun 1959. Itulah buku resep terbaik waktu itu dan menjalani cetak ulang tahun 1960-an. Tulisan di buku tersebut masih memakai ejaan lama. 
           Saya pernah mempraktikkan beberapa resep makanan yang ada di buku tersebut. Dalam hati, apa sih susahnya? Toh tinggal membaca resep-resepnya, kemudian  memasaknya. Pasti beres kan? Tapi apa yang terjadi? Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Masakannya bukan saja tidak enak, tetapi juga jadi bahan tertawaan.
          “Oen (nama panggilan saya), masakanmu gak enak. Rasanya gak jelas. Terus serehnya kayak orang mekangkang.” Saya baru sadar bahwa sereh yang saya masukkan ke dalam masakan tidah diikat sehingga terlihat berantakan di dalam makanan. Seperti orang mekangkang.
           Ternyata memasak itu butuh konsentrasi penuh.  Kesalahan kecil ketika proses pembuatan kue bisa menggagalkan produksi. Itulah yang saya alami ketika praktik resep cake. Saya anggap tepung  itu sudah lembut. Buat apa diayak lagi. Langsung saja saya campur dengan gula lalu  diaduk-aduk.
Proses memasak berjalan lancar. Kuenya mateng dan terlihat cantik. Saya senang karena  ini akan jadi kue pertama yang berhasil saya buat dengan hasil yang sempurna. Tapi ketika kuenya dipotong, ternyata banyak butiran tepung sebesar biji kacang hijau berserakan  di dalam roti. Yaaaa …  gagal lagi gagal lagi.
Banyak faktor lain yang membuat kue gagal produksi. Masalahnya sepele. Hanya karena bowl atau mangkuk tempat mengocok telur,  masih berminyak alias basah.  Proses pengocokan dilakukan tanpa mengeringkan mangkuk tadi membuat adonan  jadi gak bisa mengembang. Hasilnya? Kue jadi bantet, keras, kaku dan tidak mengembang.
Melihat hasil kue tadi, keluarga saya  menyebut “kue balang anjing”. Maksuknya, kue itu keras banget dan kalau dibalangkan ke anjing, maka anjingnya pasti kaing-kaing kesakitan.  Padahal, untuk membuat kue tadi menghabiskan 18 butir telur. Sial banget.
***


 



Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...