Pengalaman pahit ini bermula ketika
saya merintis usaha home industry
produksi stemvet dan olie samping kendaraan sepeda motor 2-tak. Usaha itu saya rintis tahun 1989 menjelang lulus dari Fakultas
Kimia (MIPA) Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS).
Kebetulan, Om Liong Gwan, kakak
kandung Mama, punya usaha pembuatan stemvet kecil-kecilan di rumahnya, Jalan
Pandegiling 167 E Surabaya. Stemvet atau
sering juga disebut gemuk adalah bahan pelumas kental yang dipakai di
kendaraan pada bagian as roda, pelor, pedal, shifter, real derrairleur dan lain-lain. Pasarnya sangat luas. Dari bengkel
sepeda di pinggir jalan hingga bengkel kendaraan bermotor.
Usaha stemvet Om Liong Gwan sudah
berjalan beberapa tahun dengan wilayah pemasaran di Surabaya dan
sekitarnya. Walau omsetnya belum besar,
tetapi usaha itu berjalan lancar. Saya sampaikan keinginan untuk bekerjasama
dan mengembangkan usahanya. Bukan hanya dalam produksi stemvet tetapi juga
pembuatan olie samping untuk kendaraan sepeda motor mesin 2-Tak dan Vespa.
Tidak ada kendala, Om bersedia bekerjasama.
Kemudian saya melakukan survey pasar
dan mempelajari produk-produk pesaing. Saya menganalisa apa kelebihan dan kekurangannya. Salah satu
kelemahan yang saya temui, produk yang beredar di pasaran berbau menyengat.
Masalah
tersebut mudah diatasi berkat kerjasama dengan Anton J Hartono, dosen pembimbing saya di ITS. Dia menguasai
dengan baik soal olie karena pernah melakukan penelitian soal olie. Dari kolaborasi pengalaman Om Liong Gwan dan ilmu dari dosen pembimbing saya itu, produksi
stemvet dan olie samping yang dihasilkan lebih bagus dari produk pesaing.
Walau
demikian, produk tidak langsung dipasarkan. Kami masih melakukan trial untuk mengetahui apakah olie
samping tersebut aman digunakan. Uji
coba dilakukan pada kendaran sepeda
motor 2-Tak dan Vespa. Saya juga tes
pada mobil pribadi saya, Daihatsu tipe s38 yang lebih dikenal dengan sebutan
mobil ceketer.
Trial
itu berjalan sukses sesuai harapan.
Tidak ada masalah dan produk aman digunakan. Selanjutnya? Penawaran segera dilakukan. Saya
sendiri turun langsung keliling kota dengan mobil ceketer yang memakai olie
daur ulang tersebut. Dengan berbekal
optimis dan pantang menyerah, saya menawarkan dari satu tempat ke tempat yang
lain. Banyak yang merespon dan langsung order. Tetapi tidak sedikit juga yang
menolak dan saya harus gigit jari.
Penolakan tersebut tidak membuat
saya berkecil hati. Sekarang ditolak, besok lusa atau minggu depan saya akan
datangi lagi. Kalau tetap ditolak, saya akan ulangi hal yang sama. Tidak boleh
menyerah. Saya harus mampu meyakinkan bahwa produksi saya lebih bagus, tidak
berbau, aman digunakan karena sistem penjernihan dan pembuatannya dilakukan
berdasarkan pengalaman dan hasil
penelitian ilmiah.
Keunggulan produksi stemvet tanpa
bau dan olie daur ulang berwarna hijau dan merah itu menarik perhatian Hendra.
Mantan sales onderdil kendaraan bermotor itu antusias untuk ikut memasarkan. Pengalaman
dia sebagai sales sangat membantu. Order terus meningkat dan wilayah pemasaran
makin luas. Bukan hanya di Surabaya dan kota-kota di Jawa Timur, tapi
meluas ke luar pulau. Permintaan sampai
ke Lombok NTB.
Pesanan makin meningkat sementara
kapasitas mesin produksi tidak
mencukupi. Cara mengatasinya sudah jelas. Pertama, perlu pengadaan mesin baru dengan kapasitas yang lebih besar.
Kedua, butuh lokasi produksi yang lebih
luas untuk proses produksi. Untuk itu, tentu saja butuh modal segar yang
lumayan besar. Saya tidak berani pinjam bank. Apalagi rentenir. Biaya itu saya
usahakan sendiri dan urunan keluarga.
Beruntung saya punya tabungan yang
saya kumpulkan bertahun-tahun dari honor les
privat organ, keyboard dan sebagai guru privat mata pelajaran IPA.
Tabungan itu terkuras habis untuk pembuatan mesin baru dan menyewa tempat
usaha. Sebuah kandang bekas peternakan
sapi di kawasan Gunungsari, Surabaya.
Lokasi peternakan itu berada di
belakang rumah induk yang masih ditempati oleh pemiliknya. Dengan sedikit
perombakan, jadilah kandang sapi itu
sebagai tempat produksi yang sesuai dengan kebutuhan. Lokasinya luas dengan sirkulasi udaranya
cukup segar.
·
Pelihara
“Anak Singa”
Satu tahun pertama, usaha ini
berjalan lancar. Papa saya dan Om Liong Gwan
yang bertanggungjawab dalam
urusan produksi. Hendra yang
memasarkan sekaligus menagih pembayaran kepada
langganan. Tahun kedua, saya menambah satu mesin lagi dengan modal utangan
dari beberapa orangtua murid les musik dan privat pelajaran.
Kapasitas produksi dengan menambahan
mesin tadi semakin tinggi. Saya juga menambah lima karyawan. Karena itu, perlu penetrasi pasar yang lebih
luas lagi. Sementara pemasaran yang dilakukan Hendra terbatas hanya pada pelanggan-pelanggan lamanya.
Karena itu, dia menyarankan untuk menambah satu lagi tenaga pemasaran.
Oleh
Hendra, saya dikenalkan seorang anak muda yang masih aktif berkarir
sebagai sales onderdil sepeda motor. Dari anak muda tersebut, pemasaran meluas
ke beberapa kota di wilayah Jawa Timur. Seperti Madiun, Ngawi, Pandaan,
pulau Madura bahkan sampai ke pulau Lombok.
Saya memperlakukan dia sama dengan
Hendra. Memasarkan sekaligus menagih pembayaran kepada pelanggan. Di mata saya,
dia itu anak yang hebat, berbakat dan
gesit dalam bekerja. Ternyata saya salah. Keberadaan dia
ibarat memelihara anak singa,
setelah dewasa berubah buas lalu menerkam tuannya.
Sebagian uang tagihan tidak
disetorkan. Dia pakai untuk kebutuhan sendiri.
Awalnya mungkin tidak banyak, tetapi lama-lama menumpuk juga. Kecurangannya
makin terlihat ketika berkali-kali dia order barang dalam jumlah besar
tapi yang dibayar hanya separuh.
Misalnya dia bayar 4 drum sementara minta barang 8 drum. Saya melakukan pengecekan pasar. Ternyata,
pembayaran dari para pelanggannya semua
beres.
Untuk sementara, ordernya distop.
Saya minta dia membereskan masalah
keuangan. Karena tidak dikasi barang, dia jadi sakit hati. Anak muda tersebut berubah jadi seekor singa
yang menerkam tuannya. Diam-diam dia
lapor ke polisi bahwa tempat usaha saya itu illegal. Tidak punya izin.
Pihak kepolisian mendatangi tempat
usaha saya. Saat itu, yang ada di lokasi hanya Om Liong Gwan dan tante pemilik
rumah yang saya sewa. Pertanyaan pertama
diajukan oleh aparat adalah surat izin usaha. Karena tidak bisa menunjukkan
bukti otentik, tempat usaha saya itu disegel.
Soal
izin usaha, sudah ada dalam
rencana. Saya bukannya sengaja melakukan pelanggaran dengan mendirikan
perusahaan ilegal. Saya masih konsentrasi untuk menstabilkan produksi,
memperkuat pemasaran dan mencari lokasi yang permanen. Tapi belum sampai
melangkah keprogram perizinan, sudah ditindak lebih dahulu. Dalam hal ini, saya
mengaku salah.
Andaikan saya ada di lokasi saat petugas kepolisian
itu datang, mungkin bisa diatasi dengan cara dialog. Toh saya sudah punya
program untuk mengurus izin usaha. Tapi
yang terjadi? Kehadiran para aparat tidak disambut dengan baik oleh pemilik rumah.
Sikapnya terlalu arogan seolah-olah kebal hukum dan punya backing orang kuat.
Hal itu membuat aparat marah dan tempat
usaha langsung disegel.
·
“Peti Es” Seharga Rp 7,5 Juta
Dari seorang pengusaha yang
lumayan, tiba-tiba jadi pengangguran tanpa penghasilan. Usaha disegel.
Produksi terhenti. Tidak ada lagi sumber penghasilan, sementara saya masih
menanggung banyak hutang. Fisik dan
psikis terasa remuk tak berdaya. Hidup jadi berantakan tidak karuan.
Satu demi satu barang berharga yang
ada, ludes terjual. Termasuk koleksi
kesayangan saya berupa organ dan electone harus dilego. Terakhir, satu-satunya
mobil pribadi yang bisa dipakai untuk riwa-riwi
terpaksa dilepas juga. Bukan untuk
membayar hutang-hutang. Juga bukan untuk biaya hidup sehari-hari. Lalu untuk
apa?
Semua habis untuk berurusan dengan
oknum aparat kepolisian. Saya ditakut-takuti akan ditahan dan dimasukkan kerangkeng. Hidup campur dengan
tahanan kriminal, pencopet, pembunuh, pemabuk, perampok dan para maling kelas
teri. Kata oknum polisi itu, penghuni
baru biasanya disiksa.
Pokoknya setiap melapor dua kali seminggu, selalu
ditakut-takuti. Padahal, tidak ditakuti
saja, saya sudah takut setengah mati.
Baru membayangkan berada di dalam sel sempit, tidur berhimpitan tanpa kasur dan terpisah dengan keluarga,
rasanya saya sudah sangat tersiksa.
Apalagi jika benar-benar terjadi.
Setelah tidak punya apa-apa lagi
untuk dijual, saya memberanikan diri untuk berterusterang bahwa saya sudah
tidak punya uang lagi. Tidak mampu membayar dan saya bilang terserah saya mau
diapakan. Saat itu saya benar-benar
tidak perduli lagi dengan intimidasi oknum polisi. Pasrah saja!
Lepas dari polisi bukan berarti
kasus berhenti. Urusannya bergeser ke kejaksaan. Berkas perkara sudah
dilimpahkan ke sana. Posisi saya, ibarat keluar dari mulut singa masuk ke mulut
buaya. Bisa saja, pihak kejaksaan
memanggil. Begitu sampai di kantor langsung diborgol, kemudian digiring ke Rutan sebagai tahanan
titipan kejaksaan. Gawat!
Tidak ada masalah yang tidak bisa
diselesaikan. Jika kita tidak mampu diatasi sendiri, maka akan ada orang lain yang datang membantu. Itulah saya alami sendiri. Masalah di kejaksaan
akhirnya selesai lewat bantuan orangtua salah satu murid les privat saya.
Istilahnya, kasus “dipeti es-kan”
dengan membayar Rp 7,5 juta.
Mungkin ada yang bilang, harga
“peti es” perkara kok murah? Jaman dulu, tahun 1991, termasuk mahal. Harga emas per gram waktu itu
kisaran Rp 13.500. Kusr dolar masih Rp 2000. Uang kuliah saya di ITS saat itu
hanya Rp 54 ribu per semester. Hitungan
kasarnya, nominal Rp 7,5 juta itu, sama
dengan kurang lebih Rp 350 juta sekarang.
Cukup besar bukan?
Badai super dahsyat dalam perjalanan
hidupku itu sudah lama berlalu. Pengalaman pahit ini mungkin bisa dijadikan
pelajaran manis untuk kita dan siapa saja yang senantiasa gigih berjuang untuk
menggapai hidup yang lebih baik.
***