Tuesday, November 27, 2018

BADAI ITU SUDAH LAMA BERLALU


Pengalaman pahit ini bermula ketika saya merintis usaha home industry produksi stemvet dan olie samping kendaraan sepeda motor 2-tak. Usaha  itu saya rintis  tahun 1989 menjelang lulus dari Fakultas Kimia (MIPA) Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS).   
Kebetulan, Om Liong Gwan, kakak kandung Mama, punya usaha pembuatan stemvet kecil-kecilan di rumahnya, Jalan Pandegiling 167 E Surabaya.  Stemvet atau sering juga disebut gemuk adalah bahan pelumas kental yang dipakai di kendaraan  pada  bagian as roda, pelor, pedal, shifter, real derrairleur dan lain-lain. Pasarnya sangat luas. Dari bengkel sepeda di pinggir jalan hingga bengkel kendaraan bermotor.
Usaha stemvet Om Liong Gwan  sudah  berjalan beberapa tahun dengan wilayah pemasaran di Surabaya dan sekitarnya.  Walau omsetnya belum besar, tetapi usaha itu berjalan lancar. Saya sampaikan keinginan untuk bekerjasama dan mengembangkan usahanya. Bukan hanya dalam produksi stemvet tetapi juga pembuatan olie samping untuk kendaraan sepeda motor mesin 2-Tak dan Vespa. Tidak ada kendala, Om bersedia bekerjasama.
Kemudian saya melakukan survey pasar dan mempelajari produk-produk pesaing. Saya menganalisa  apa kelebihan dan kekurangannya. Salah satu kelemahan yang saya temui, produk yang beredar di pasaran berbau menyengat.
          Masalah tersebut mudah diatasi berkat kerjasama dengan Anton J Hartono,  dosen pembimbing saya di ITS. Dia menguasai dengan baik soal olie karena pernah melakukan penelitian soal olie.  Dari kolaborasi pengalaman Om Liong Gwan  dan ilmu dari dosen pembimbing saya itu, produksi stemvet dan olie samping yang dihasilkan lebih bagus dari produk pesaing.
          Walau demikian, produk tidak langsung dipasarkan. Kami masih melakukan trial untuk mengetahui apakah olie samping tersebut aman digunakan.  Uji coba dilakukan  pada kendaran sepeda motor 2-Tak dan  Vespa. Saya juga tes pada mobil pribadi saya, Daihatsu tipe s38 yang lebih dikenal dengan sebutan mobil ceketer.
 Trial itu berjalan sukses sesuai harapan.  Tidak ada masalah dan produk aman digunakan.  Selanjutnya? Penawaran segera dilakukan. Saya sendiri turun langsung keliling kota dengan mobil  ceketer yang memakai olie daur ulang  tersebut. Dengan berbekal optimis dan pantang menyerah, saya menawarkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Banyak yang merespon dan langsung order. Tetapi tidak sedikit juga yang menolak dan  saya harus  gigit jari.
Penolakan tersebut tidak membuat saya berkecil hati. Sekarang ditolak, besok lusa atau minggu depan saya akan datangi lagi. Kalau tetap ditolak, saya akan ulangi hal yang sama. Tidak boleh menyerah. Saya harus mampu meyakinkan bahwa produksi saya lebih bagus, tidak berbau, aman digunakan karena sistem penjernihan dan pembuatannya dilakukan berdasarkan pengalaman dan hasil  penelitian ilmiah.  
Keunggulan produksi stemvet tanpa bau dan olie daur ulang berwarna hijau dan merah itu  menarik perhatian  Hendra.  Mantan sales onderdil kendaraan bermotor itu  antusias untuk ikut memasarkan. Pengalaman dia sebagai sales sangat membantu. Order terus meningkat dan wilayah pemasaran makin luas. Bukan hanya di Surabaya dan kota-kota di Jawa Timur, tapi meluas  ke luar pulau. Permintaan sampai ke Lombok NTB.
Pesanan makin meningkat sementara kapasitas mesin  produksi tidak mencukupi. Cara mengatasinya sudah jelas. Pertama, perlu pengadaan  mesin baru dengan kapasitas yang lebih besar. Kedua,  butuh lokasi produksi yang lebih luas untuk proses produksi. Untuk itu, tentu saja butuh modal segar yang lumayan besar. Saya tidak berani pinjam bank. Apalagi rentenir. Biaya itu saya usahakan sendiri dan urunan keluarga.
Beruntung saya punya tabungan yang saya kumpulkan bertahun-tahun dari honor les  privat organ, keyboard  dan  sebagai guru privat mata pelajaran IPA. Tabungan itu terkuras habis untuk pembuatan mesin baru dan menyewa tempat usaha. Sebuah kandang  bekas peternakan sapi di kawasan Gunungsari, Surabaya.
Lokasi peternakan itu berada di belakang rumah induk yang masih ditempati oleh pemiliknya. Dengan sedikit perombakan, jadilah kandang sapi  itu sebagai tempat produksi yang sesuai dengan kebutuhan.  Lokasinya luas dengan sirkulasi udaranya cukup segar.  

·       Pelihara “Anak Singa”
Satu tahun pertama, usaha ini berjalan lancar. Papa saya dan Om Liong Gwan  yang bertanggungjawab dalam  urusan  produksi. Hendra yang memasarkan sekaligus menagih pembayaran kepada  langganan. Tahun kedua, saya menambah satu mesin lagi dengan modal utangan dari beberapa orangtua murid les musik dan privat pelajaran.
Kapasitas produksi dengan menambahan mesin tadi semakin tinggi. Saya juga menambah lima karyawan.  Karena itu, perlu penetrasi pasar yang lebih luas lagi. Sementara pemasaran yang dilakukan  Hendra terbatas   hanya pada pelanggan-pelanggan lamanya. Karena itu, dia menyarankan untuk menambah satu lagi tenaga pemasaran.
Oleh  Hendra, saya dikenalkan seorang anak muda yang masih aktif berkarir sebagai sales onderdil sepeda motor. Dari anak muda tersebut, pemasaran  meluas  ke beberapa kota di wilayah Jawa Timur. Seperti Madiun, Ngawi, Pandaan, pulau Madura bahkan sampai ke pulau Lombok.
Saya memperlakukan dia sama dengan Hendra. Memasarkan sekaligus menagih pembayaran kepada pelanggan. Di mata saya, dia itu anak yang hebat, berbakat  dan gesit dalam bekerja. Ternyata saya salah. Keberadaan  dia  ibarat memelihara  anak singa, setelah dewasa  berubah buas  lalu menerkam tuannya. 
Sebagian uang tagihan tidak disetorkan. Dia pakai untuk  kebutuhan sendiri. Awalnya mungkin tidak banyak, tetapi lama-lama menumpuk juga. Kecurangannya makin terlihat ketika berkali-kali dia order barang dalam jumlah besar tapi  yang dibayar hanya separuh. Misalnya dia bayar 4 drum sementara minta barang 8 drum.  Saya melakukan pengecekan pasar. Ternyata, pembayaran dari para pelanggannya semua  beres.
Untuk sementara, ordernya distop. Saya  minta dia membereskan masalah keuangan. Karena tidak dikasi barang, dia jadi sakit hati.  Anak muda tersebut berubah jadi seekor singa yang menerkam tuannya. Diam-diam  dia lapor ke polisi bahwa tempat usaha saya itu illegal. Tidak punya izin.
Pihak kepolisian mendatangi tempat usaha saya. Saat itu, yang ada di lokasi hanya Om Liong Gwan dan tante pemilik rumah yang saya sewa.  Pertanyaan pertama diajukan oleh aparat adalah surat izin usaha. Karena tidak bisa menunjukkan bukti otentik, tempat usaha saya itu disegel.
Soal  izin usaha,  sudah ada dalam rencana. Saya bukannya sengaja melakukan pelanggaran dengan mendirikan perusahaan ilegal. Saya masih konsentrasi untuk menstabilkan produksi, memperkuat pemasaran dan  mencari  lokasi yang permanen. Tapi belum sampai melangkah keprogram perizinan, sudah ditindak lebih dahulu. Dalam hal ini, saya mengaku salah.
Andaikan  saya ada di lokasi saat petugas kepolisian itu datang, mungkin bisa diatasi dengan cara dialog. Toh saya sudah punya program untuk mengurus izin usaha.  Tapi yang terjadi? Kehadiran para aparat tidak disambut dengan baik oleh pemilik rumah. Sikapnya terlalu arogan seolah-olah kebal hukum dan punya backing orang kuat. Hal  itu membuat aparat marah dan tempat usaha langsung disegel. 

·        “Peti  Es” Seharga Rp 7,5 Juta      
Dari seorang pengusaha  yang  lumayan, tiba-tiba jadi pengangguran tanpa penghasilan. Usaha disegel. Produksi terhenti. Tidak ada lagi sumber penghasilan, sementara saya masih menanggung banyak hutang.  Fisik dan psikis terasa remuk tak berdaya. Hidup jadi berantakan tidak karuan.
Satu demi satu barang berharga yang ada,  ludes terjual. Termasuk koleksi kesayangan saya berupa organ dan electone harus dilego. Terakhir, satu-satunya mobil pribadi yang bisa dipakai untuk riwa-riwi terpaksa dilepas juga.  Bukan untuk membayar hutang-hutang. Juga bukan untuk biaya hidup sehari-hari. Lalu untuk apa?
Semua habis untuk berurusan dengan oknum aparat kepolisian. Saya ditakut-takuti akan ditahan dan  dimasukkan kerangkeng. Hidup campur dengan tahanan kriminal, pencopet, pembunuh, pemabuk, perampok dan para maling kelas teri.  Kata oknum polisi itu, penghuni baru biasanya disiksa.
 Pokoknya setiap  melapor dua kali seminggu, selalu ditakut-takuti.  Padahal, tidak ditakuti saja, saya sudah takut  setengah mati. Baru membayangkan berada di dalam sel sempit, tidur berhimpitan  tanpa kasur dan terpisah dengan keluarga, rasanya saya sudah sangat tersiksa.  Apalagi jika benar-benar terjadi. 
Setelah tidak punya apa-apa lagi untuk dijual, saya memberanikan diri untuk berterusterang bahwa saya sudah tidak punya uang lagi. Tidak mampu membayar dan saya bilang terserah saya mau diapakan.  Saat itu saya benar-benar tidak perduli lagi dengan intimidasi oknum polisi. Pasrah saja!        
Lepas dari polisi bukan berarti kasus berhenti. Urusannya bergeser ke kejaksaan. Berkas perkara sudah dilimpahkan ke sana. Posisi saya, ibarat keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya.  Bisa saja, pihak kejaksaan memanggil. Begitu sampai di kantor langsung diborgol,  kemudian digiring ke Rutan sebagai tahanan titipan kejaksaan. Gawat!
Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Jika kita tidak mampu diatasi sendiri,  maka akan ada orang lain yang datang  membantu. Itulah  saya alami sendiri. Masalah di kejaksaan akhirnya selesai lewat bantuan orangtua salah satu murid les privat saya. Istilahnya, kasus “dipeti es-kan” dengan membayar Rp 7,5 juta.
Mungkin ada yang bilang,  harga  “peti es” perkara kok murah? Jaman dulu, tahun 1991,  termasuk mahal. Harga emas per gram waktu itu kisaran Rp 13.500. Kusr dolar masih Rp 2000. Uang kuliah saya di ITS saat itu hanya Rp 54 ribu per semester.  Hitungan kasarnya, nominal Rp 7,5 juta  itu, sama dengan kurang lebih Rp 350 juta sekarang.  Cukup besar bukan?
Badai super dahsyat dalam perjalanan hidupku itu sudah lama berlalu. Pengalaman pahit ini mungkin bisa dijadikan pelajaran manis untuk kita dan siapa saja yang senantiasa gigih berjuang untuk menggapai hidup yang lebih baik.
***



Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...