Mama saya itu keren dan modern. Meski
hidup masih susah, penghasilan rendah dan di rumah tidak punya apa-apa. Tidak punya barang-barang elektronik. Anak-anaknya kalau nonton TV
masih nebeng di rumah tetangga. Kulkas juga tidak punya, tapi Mama justru nekat
membeli alat musik berupa drum dan organ untuk anak-anaknya.
Adik saya Jien Fung dibelikan drum
bekas, tapi masih dalam kondisi bagus. Drum yang dibeli itu milik guru les
bahasa Inggris saya yang tinggal di Petemon Kuburan Surabaya. Saya lupa
namanya, tapi saya dan murid-murid les memanggil Mem (sebutan untuk wanita atau
Madam).
Mama, mendaftarkan adik saya Jien
Fung, di sekolah musik Yasmi (Yayasan Seni Musik Indonesia). Guru lesnya, Mr I Hay, seorang drummer musik alirah rock. Jien Fung cukup mahir dan
bisa membaca not balok khusus drum. Beda dengan kakak saya, Ekawati Juliastuti
(Pek Hwie Ing) yang bisa memainkan alat
musik ala kadarnya, main lagu lagu kesukaan nya.
Sementara organ yang dibeli Mama
dalam kondisi new, masih gres. Dibeli
dari toko untuk saya dan juga dipakai Mama. Organ merk Thomas (USA) itu harganya lebih mahal tetapi dari segi
kecanggihan lebih rendah dibanding dibanding organ keluaran Jepang merk Yamaha
dan Lowrey Organ yang memiliki fitur lebih lengkap. Bahkan Lowrey Organ bisa dipakai untuk musik keroncong. Tidak
beda dengan kendaraan bermotor. Mobil bikinan Eropa lebih mahal sementara mobil
keluaran Jepang lebih murah, kecil tapi canggih.
Organ pada jaman itu, adalah barang
mewah. Hanya orang kaya saja yang bisa memilikinya.
Banyak orang yang punya uang, tetapi untuk membeli organ pasti berpikir dua
tiga kali. Mungkin akan terlintas
sederet pertanyaan: “Buat apa itu organ?” “Fungsinya apa?” “Untungnya apa sih kalau punya organ?”
Pertanyaan-pertanyaan itu sekaligus jadi penghalang bagi orang untuk
membeli organ. Karena itu, ketika Mama memboyong organ merk Thomas (USA) ke rumah, ada saja yang nyinyir. Bahkan keluarga Mama ikut nyindir dengan kalimat yang
bikin telinga panas. Tapi Mama tidak perduli orang mau bilang apa.
“Dapat uang dari mana kok bisa beli
organ?” kata mereka. Pertanyaan tersebut sangat wajar jika dikaitkan dengan
kondisi ekonomi keluarga saya. Penghasilan pas pasan bahkan bisa dibilang
kurang, tapi mainannya seperti keluarga kaya raya. Di rumah yang sangat sederhana itu, ada organ
tetapi tidak punya TV, tape recorder atau lemari es.
Jujur, saya juga sempat penasaran,
bagaimana ceritanya Mama bisa beli organ?
Ternyata, awalnya Mama ikut arisan sepeda motor di dealer UD Dirga
Jaya Jalan Kembang Jepun. Ketika dapat
arisan, Mama tidak ambil motor tetapi minta ditukar dengan organ. Pihak dealer motor menuruti
permintaan Mama. Lalu dibelikan organ merk
Thomas dengan bonus kursus gratis
selama tiga bulan di Yasmi (Yayasan Seni
Musik Indonesia).
Saat itu, saya masih duduk di kelas
3 SMP. Saya ingat betul, kalau Mama pergi ke tempat kursus organ, kami anak-anaknya ikut semua. Mama yang dapat
kesempatan les gratis, kami juga ikut menyerap ilmunya. Sepulang dari
kursus, saya, adik dan kakak bergantian
mempratikkan pelajaran yang didapat Mama. Dengan cara itu, lama-lama kami semua
bisa bermain organ.
Sejak kecil, Mama sudah mengenal
alat musik. Keluarga Mama semua suka musik. Di rumah Emak dan Engkong saya
dulu, ada alat musik komplit. Jadi, Mama
sudah punya dasar bermain musik. Alat-alat musik itu kemudian dilego dan disita
untuk membayar hutang. Ketika di Surabaya, Mama masih terobsesi untuk mahir
bermain organ dengan harapan bisa jadi guru les musik.
Itulah yang melatar belakangi Mama
nekat beli organ. Juga ingin anak-anaknya bisa main musik. Jika sudah menguasai
alat musik, anak-anaknya bisa memanfaatkan kepintarannya itu untuk mendapatkan uang tambahan dengan menjadi guru les musik.
Keinginan Mama yang luar biasa itu
akhirnya tercapai. Bukan Mama yang jadi guru les, tetapi saya. Dengan kemampuan
yang biasa-biasa saja, secara tidak sengaja saya diminta untuk mengajar. Murid
pertama saya adalah seorang tante yang tinggal di Jalan Grudo Surabaya. Namanya
tante Andreas.
Dia adalah teman Mama yang sama-sama
berprofesi sebagai penjahit. Karena berteman, Tante Andreas ingin seperti Mama.
Kepingin bisa main organ. Lalu dia ikuti jejak mama. Ikut arisan di Irama Mas, waktu itu masih di kalisari. Persis seperti yang dilakukan mama. Yang
berbeda, mungkin tujuannya. Tante Andreas murni hanya ingin bisa bermain organ. Sebagai hiburan
saja.
Setelah punya organ, tante Andreas
tidak mau ikut les di sekolah musik. Dia minta Mama yang mengajari. Mama sanggup
tetapi terbentur dengan kesibukan mama menerima order jahitan dan bikin kue. Hingga
suatu hari, tante Andreas datang ke
rumah. Kedatangannya untuk menanyakan kapan les bisa dimulai. Mama hanya bilang,
“sabar, masih sibuk”, “belum ada waktu”. Nah, kebetulan saat tante Andreas
datang, saya sedang main organ.
“Nyo, ternyata kamu pintar juga main
organ. Nyo mau gak jadi guru lesnya tante? Mamamu sibuk terus. Gak ada waktu
untuk ngajari aku. Kamu aja yang ngajari tante,” pintanya.
Jujur, saya ragu ketika tante itu
minta saya yang mengajari. Sebab, waktu itu saya belum menguasai organ secara
baik dan benar. Juga tidak pernah berpikir bahwa saya akan jadi guru les.
Keterampilan bermain organ yang saya miliki, belum pantas untuk jadi guru.
Saya hanya sekedar bisa dan biasa. Belum sampai ke tahap bisa dan luar biasa.
Tetapi saya tidak mau kehilangan kesempatan. Dalam hati, si tante itu kan belum
bisa sama sekali, apa salahnya kalau kemampuan “sekedar bisa” yang saya miliki
ditularkan ke tante Andreas yang “belum bisa” itu.
Ya sudah, saya berani menjadi guru les tante Andreas.
Saya sanggupi. Maka jadilah saya sebagai guru les privat organ, khusus untuk tante yang pengen bisa
main musik itu. Guru les dadakan dengan keterbatasan. Saya mengajari si tante dengan not angka rentengan.
Not yang awur-awuran. Tidak pake hitungan ketukan. Hanya deretan angka yang dikasi chord. Seminggu dua kali
pertemuan. Mau tau berapa saya dibayar? Sebulan 7.500 rupiah. Nominal yang
cukup besar untuk ukuran saat itu.
Bandingkan, Saat itu, biaya les di tempat kursus resmi, hanya 6.000
rupiah. Saya justru dibayar lebih mahal.
Uang dari tante Andreas itu saya
manfaatkan untuk ikut kursus di YPPM (Yayasan Pusat Pendidikan Musik) gurunya Tan Siang Cun di
Jalan Ngaglik Surabaya. Masih ada sisa 1.500 rupiah untuk ditabung.
Mengajar sambil belajar itu berjalan
mulus. Tante Andreas mulai bisa main
organ, sementara saya semakin mahir bermain organ karena bisa ikut kursus di
tempat yang baik. Kemampuan saya bermain
organ dibuktikan dengan lulus ujian dan
mendapat ijasah. Yang menguji saya waktu itu Purwacaraka. Saya tidak
menyangka kalau Purwacaraka akhirnya jadi
musisi, komponis dan pencipta lagu kenamaan di Indonesia. Reputasinya
luar biasa di bidang industi musik. Dia memiliki hak paten sekolah musik, “Puwacaraka Music Studio” yang
sekarang punya 82 cabang di berbagai kota di Indonesia. **