Tuesday, November 27, 2018

NEKAT MENGAJAR SAMBIL BELAJAR



          Mama saya itu keren dan modern. Meski hidup masih susah, penghasilan rendah dan di rumah tidak punya apa-apa.  Tidak punya barang-barang  elektronik. Anak-anaknya kalau nonton TV masih nebeng di rumah tetangga. Kulkas juga tidak punya, tapi Mama justru nekat membeli alat musik berupa drum dan organ untuk anak-anaknya. 

Adik saya Jien Fung dibelikan drum bekas, tapi masih dalam kondisi bagus. Drum yang dibeli itu milik guru les bahasa Inggris saya yang tinggal di Petemon Kuburan Surabaya. Saya lupa namanya, tapi saya dan murid-murid les memanggil Mem (sebutan untuk wanita atau Madam).
Mama, mendaftarkan adik saya Jien Fung, di sekolah musik Yasmi (Yayasan Seni Musik Indonesia).  Guru lesnya, Mr I Hay, seorang drummer  musik alirah rock. Jien Fung cukup mahir dan bisa membaca not balok khusus drum. Beda dengan kakak saya, Ekawati Juliastuti (Pek Hwie Ing) yang bisa  memainkan alat musik ala kadarnya, main lagu lagu kesukaan nya.  
Sementara organ yang dibeli Mama dalam kondisi new, masih gres. Dibeli dari toko untuk saya dan juga dipakai Mama. Organ merk Thomas (USA)  itu harganya lebih mahal tetapi dari segi kecanggihan lebih rendah dibanding dibanding organ keluaran Jepang merk Yamaha dan Lowrey Organ yang memiliki fitur lebih lengkap.  Bahkan Lowrey Organ  bisa dipakai untuk musik keroncong. Tidak beda dengan kendaraan bermotor. Mobil bikinan Eropa lebih mahal sementara mobil keluaran Jepang lebih murah, kecil tapi canggih.  
Organ pada jaman itu, adalah barang mewah. Hanya orang kaya  saja yang bisa memilikinya. Banyak orang yang punya uang, tetapi untuk membeli organ pasti berpikir dua tiga kali. Mungkin akan  terlintas sederet pertanyaan: “Buat apa itu organ?” “Fungsinya apa?”  “Untungnya apa sih kalau punya organ?”
Pertanyaan-pertanyaan  itu sekaligus jadi penghalang bagi orang  untuk  membeli organ. Karena itu, ketika Mama memboyong organ merk Thomas (USA)  ke rumah, ada saja yang nyinyir. Bahkan keluarga Mama ikut nyindir dengan kalimat yang bikin telinga panas. Tapi Mama tidak perduli orang mau bilang apa.
“Dapat uang dari mana kok bisa beli organ?” kata mereka. Pertanyaan tersebut sangat wajar jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi keluarga saya. Penghasilan pas pasan bahkan bisa dibilang kurang, tapi mainannya seperti keluarga kaya raya.  Di rumah yang sangat sederhana itu, ada organ tetapi tidak punya TV, tape recorder atau lemari es.
Jujur, saya juga sempat penasaran, bagaimana ceritanya Mama bisa beli organ?  Ternyata,  awalnya  Mama  ikut arisan sepeda motor di dealer UD Dirga Jaya Jalan Kembang Jepun.   Ketika dapat arisan, Mama tidak ambil motor tetapi minta ditukar  dengan organ. Pihak dealer motor menuruti permintaan Mama. Lalu dibelikan organ merk  Thomas  dengan bonus kursus gratis selama tiga bulan di Yasmi   (Yayasan Seni Musik Indonesia).
Saat itu, saya masih duduk di kelas 3 SMP. Saya ingat betul, kalau Mama pergi ke tempat kursus organ, kami  anak-anaknya ikut semua. Mama yang dapat kesempatan les gratis, kami juga ikut menyerap ilmunya. Sepulang dari kursus,  saya, adik dan kakak bergantian mempratikkan pelajaran yang didapat Mama. Dengan cara itu, lama-lama kami semua bisa bermain organ.
Sejak kecil, Mama sudah mengenal alat musik. Keluarga Mama semua suka musik. Di rumah Emak dan Engkong saya dulu,  ada alat musik komplit. Jadi, Mama sudah punya dasar bermain musik. Alat-alat musik itu kemudian dilego dan disita untuk membayar hutang. Ketika di Surabaya, Mama masih terobsesi untuk mahir bermain organ dengan harapan bisa jadi  guru les musik.
Itulah yang melatar belakangi Mama nekat beli organ. Juga ingin anak-anaknya bisa main musik. Jika sudah menguasai alat musik, anak-anaknya bisa memanfaatkan kepintarannya itu untuk mendapatkan  uang tambahan dengan menjadi guru les musik.
Keinginan Mama yang luar biasa itu akhirnya tercapai. Bukan Mama yang jadi guru les, tetapi saya. Dengan kemampuan yang biasa-biasa saja, secara tidak sengaja saya diminta untuk mengajar. Murid pertama saya adalah seorang tante yang tinggal di Jalan Grudo Surabaya. Namanya tante Andreas.
Dia adalah teman Mama yang sama-sama berprofesi sebagai penjahit. Karena berteman, Tante Andreas ingin seperti Mama. Kepingin bisa main organ. Lalu dia ikuti jejak mama. Ikut arisan di  Irama Mas, waktu itu masih di kalisari.  Persis seperti yang dilakukan mama. Yang berbeda, mungkin tujuannya. Tante Andreas murni hanya  ingin bisa bermain organ. Sebagai hiburan saja.
Setelah punya organ, tante Andreas tidak mau ikut les di sekolah musik. Dia minta Mama yang mengajari. Mama sanggup tetapi terbentur dengan kesibukan mama menerima order jahitan dan bikin kue. Hingga suatu hari,  tante Andreas datang ke rumah. Kedatangannya untuk menanyakan kapan les bisa dimulai. Mama hanya bilang, “sabar, masih sibuk”, “belum ada waktu”. Nah, kebetulan saat tante Andreas datang,  saya sedang main organ.
“Nyo, ternyata kamu pintar juga main organ. Nyo mau gak jadi guru lesnya tante? Mamamu sibuk terus. Gak ada waktu untuk ngajari aku. Kamu aja yang ngajari tante,”  pintanya.
Jujur, saya ragu ketika tante itu minta saya yang mengajari. Sebab, waktu itu saya belum menguasai organ secara baik dan benar. Juga tidak pernah berpikir bahwa saya akan jadi guru les.
Keterampilan bermain organ yang  saya miliki, belum pantas untuk jadi guru. Saya hanya sekedar bisa dan biasa. Belum sampai ke tahap bisa dan luar biasa. Tetapi saya tidak mau kehilangan kesempatan. Dalam hati, si tante itu kan belum bisa sama sekali, apa salahnya kalau kemampuan “sekedar bisa” yang saya miliki ditularkan ke tante Andreas yang “belum bisa” itu.
Ya sudah,  saya berani menjadi guru les tante Andreas. Saya sanggupi. Maka jadilah saya sebagai guru les privat  organ, khusus untuk tante yang pengen bisa main musik itu.  Guru les dadakan  dengan keterbatasan. Saya  mengajari si tante dengan not angka rentengan. Not yang awur-awuran. Tidak pake  hitungan ketukan. Hanya deretan  angka yang dikasi chord.  Seminggu dua kali pertemuan. Mau tau berapa saya dibayar? Sebulan 7.500 rupiah. Nominal yang cukup besar untuk ukuran saat itu. 
Bandingkan, Saat itu, biaya  les di tempat kursus resmi, hanya 6.000 rupiah. Saya justru dibayar lebih mahal.  Uang dari tante Andreas itu saya  manfaatkan untuk ikut kursus di YPPM (Yayasan Pusat Pendidikan Musik) gurunya Tan Siang Cun di Jalan Ngaglik Surabaya. Masih ada sisa 1.500 rupiah untuk ditabung.
Mengajar sambil belajar itu berjalan mulus. Tante Andreas mulai  bisa main organ, sementara saya semakin mahir bermain organ karena bisa ikut kursus di tempat yang baik.  Kemampuan saya bermain organ dibuktikan dengan lulus ujian dan  mendapat ijasah. Yang menguji saya waktu itu Purwacaraka. Saya tidak menyangka kalau Purwacaraka akhirnya jadi  musisi, komponis dan pencipta lagu kenamaan di Indonesia. Reputasinya luar biasa di bidang industi musik. Dia memiliki hak paten  sekolah musik, “Puwacaraka Music Studio” yang sekarang punya 82 cabang di berbagai kota di Indonesia. **

Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...