Suatu hari, saya dapat undangan untuk menyaksikan konser lowrey organ dalam rangka memperkenalkan type MX One. Organ tipe terbaru itu sangat mahal. Harganya Rp 11 juta. Bandingkan dengan harga sepeda motor waktu itu hanya Rp 1 juta-an.
Di acara tersebut saya melihat
banyak anak dan remaja bermain organ dengan
skill yang sangat bagus. Jauh dari kemampuan yang saya
miliki. Saya sangat kagum pada mereka. Ingin seperti mereka. Karena itu, saya
dekati beberapa di antara anak yang pandai main organ itu. Nekat aja. Saya ajak berkenalan dan minta alamat.
Besoknya, saya datangi alamat mereka
satu persatu. Tujuannya, untuk pinjam buku pelajaran organ yang mereka
punya. Sebenarnya, di toko buku atau di
tempat kursus, buku-buku itu ada dijual. Tapi saya tidak punya uang untuk
membeli. Karena itu, saya pinjam kemudian difoto copy.
Tidak jauh dari rumah, ada tempat
foto copy. Di sebuah toko bahan bangunan. Kalau tidak salah namanya Pancakawan.
Pemiliknya punya pabrik tegel. Karena
saya sering foto copy buku-buku pelajaran organ, tante pemilik toko dan
foto copy itu tanya.
“Nyo, kok sering foto copy buku-buku
musik. Kamu ikut les organ ya?”
“Saya ngajar organ Tante.” Jawaban
itu terucap spontan dan terdengar sangat
percaya diri. Si tante terlihat antusias. Kemudian dia mendekati saya.
“Oh iya ta Nyo? Kamu ngajar privat
organ? Eh, berapa uang les perbulan?”
“Cuma 5000 rupian sebulan. Lesnya sekali seminggu Tante. Saya mengajar langsung
datang ke rumah murid,” jawabku.
Tadinya saya mau bilang 7500 rupiah
perbulan, seminggu dua kali pertemuan
seperti biaya kursus tante Andreas. Tapi mulutku dengan enteng bilang
5000 rupiah dan sekali seminggu.
“Oh ya? Kalau begitu anakku Gunawan
dilesin ya Nyo.”
“Iya Tante,” jawabku diikuti ucapan
girang dalam hati, “Horeeee… saya dapat
murid lagi.”
Saya ngajar Gunawan step 2. Beda
satu tingkat dengan pelajaran yang saya dapat di tempat kursus YPPM. Saya benar-benar nekat jadi guru les.
Pelajaran yang saya berikan hanya satu tingkat di bawah pelajaran yang sedang saya dalami. Tapi kalau
tidak nekat, ya gak dapat.
Dapat
Lagi…Dapat Lagi
Tidak disangka, dari perkenalan dengan mamanya
Gunawan, saya mendapat tambahan murid lagi. Entah mengapa, dia dengan senang
hati membantu mencarikan murid-mudir
baru untuk saya. Hanya dalam beberapa bulan berikutnya, murid saya
tambah lagi….tambah lagi. Ada anak-anak dan banyak juga ibu-ibu kaya yang saya
ajari.
“Nyo,” katanya setelah selesai
mengajari anaknya. “Saya carikan orang
yang mau belajar organ. Tapi biaya lesnya jangan 5000 rupiah. Tarik lebih mahal
lagi ya Nyo,” pesannya.
Saran yang bagus. Tentu saja saya
ikuti. Waktu itu, saya sudah duduk di bangku kelas 1 SMA. Permintaan untuk
menjadi guru les organ terus berdatangan. Dalam sehari, saya mengajar
dua kali pada jam yang berbeda. Murid saya mencapai sekitar 20 orang. Biaya
les tiap murid bervariasi. Seperti saran tante, biayanya saya naikkan. Ada yang
mau membayar Rp 30 .000 perbulan. Yang berani bayar mahal itu, namanya
tante Stela yang rumahnya di Jalan Residen Sudirman Surabaya.
Di tengah kesibukan sebagai guru
les, saya terus meningkatkan skill
lewat kursus musik. Kebetulan saya dapat kesempatan belajar gratis organ di Yamaha Music School, (toko
Semarang) Jalan Tunjungan Surabaya. Kesempatan itu saya dapat lewat tante Koo
Giok Nio, adik kandung Mama yang jadi dealer organ merk Yamaha di Tulungagung.
Harapan tante saya itu, kelak jika
saya sudah punya bekal yang cukup, saya mengajar organ di Tulungagung. Dia
punya rencana buka sekolah musik. Kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan.
Di sekolah musik Yamaha itu, saya
termasuk murid kelewat rajin dan paling
unik. Datang paling awal. Bahkan sering lebih awal dari karyawan sekolah
musik itu. Jadi, pintu ruangan les belum dibuka, saya sudah ada di
sana. Begitu pintu dibuka, saya langsung nyelonong masuk. Padahal guru les
belum datang dan murid-murid lainnya juga belum nongol. Nah, saya manfaatkan untuk latihan sendiri dengan
organ yang lebih bagus dari organ saya yang ada di rumah.
Kalau pulang? Saya paling terakhir.
Setelah jam les habis, saya tetap di sana. Baru pulang ketika pintu mau
ditutup. Terus ngapain? Saya suka
melihat pria berambut kribo mendemokan kemampuan memainkan organ yang mahal dan
canggih itu. Saya perhatikan cara dia main, saya resapi suara dan irama yang dia pilih. Dari situ
saya menemukan sensasi yang memotivasi saya untuk terus belajar dan belajar.
***