Handoyo / Koo Sing Han

SAYA DILARANG MENGGENDONG U’UN
Handoyo /Koo Sing Han
(Om ke 17)
        


        
Ketika U'un masih kecil, saya tidak pernah bisa menggendongnya. Bukan karena saya tidak mau. Sebagai Om, pastilah ada rasa ingin menggendong keponakan. Tapi saya dilarang oleh mamanya. "Jangan! U'un tidak boleh kamu gendong."
Larangan itu berlaku mutlak. Tidak boleh dilanggar. Pokok e gak oleh nggendong. Yo wes to, aku ngalah ae, (Pokoknya tidak boleh menggendong. Ya sudah aku mengalah saja). Saya kan tinggal di Surabaya, kalau kebetulan pulang ke Tulungagung, saya hanya bisa melihat U'un tanpa bisa menggendongnya.
Asal muasal larangan itu, karena pengalaman masa lalu. Waktu saya kecil, pernah jatuh ketika saya digendong oleh kakak nomor 9, ya mamanya U’un itu. Bagian belakang kepala saya terbentur benda keras. Lukanya gak main-main. Tempurung kepala saya retak. Bekasnya masih ada sampai sekarang.  Bentuk kepala tidak rata.
          Kejadian itu menimbulkan trauma yang luar biasa. Mamanya U’un ketakutan kalau anaknya saya gendong. Sebab, saya pernah bilang pada dia “Awas ya, kalau kamu punya anak, pasti saya balas”.
          Ancaman itu hanya main-main. Gak sungguhan. Tapi mungkin kakak saya itu masih menyimpan ketakutan dan teringat kejadian waktu saya jatuh dari gendongannya dulu. Takutlah dia kalau ancaman saya itu terjadi, anaknya benar-benar saya  jatuhkan  seperti yang saya alami dulu.
          U’un tumbuh seperti anak-anak yang lain. Tapi karakternya berbeda dengan saudaranya. Dia tidak nakal atau  pencilakan  (lari-lari/lompat-lompat) seperti anak-anak seusia dia.  Pendiam juga tidak. Dia malah suka ikut-ikutan sibuk kalau melihat tante-tantenya bikin kue. Ketika dia masih kelas 1 SD, sudah  bisa memasak kue. 
          Orangtuanya pernah mengalami cobaan berat sampai bangkrut.  Papanya sempat stress karena uang hasil penjualan ternak babi dirampok ketika dalam perjalanan dari Bandung ke Surabaya. Uangnya ludes, peternakannya hancur. Kemudian harus memulai hidup di Surabaya dan bertahan hidup dari penghasilan  sebagai tukang obras.
U’un kini sukses mengangkat harkat kedua orangtuanya.  Anak pembawa hoky.  Dia punya rasa tanggungjawab dan sayang pada keluarga.  Saya tentu bangga punya keponakan sukses seperti dia.

Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...