Tuesday, November 27, 2018

APA ARTI SEBUAH NAMA



"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi. (William Shakespeare)


Apalah arti sebuah nama? Kalimat tersebut sangat  mendunia. Dan Anda boleh sepakat atau tidak sependapat. Kalau saya? Nama itu penting dan mengandung arti serta  harapan yang akan dijalani oleh seseorang  dalam  masyarakat.
Dalam budaya tertentu, ada yang percaya bahwa nama yang diberikan tidak cocok. Orang Jawa bilang “kaboten jeneng” (keberatan nama).  Si bayi sakit-sakitan atau rewel. Karena itu namanya diganti disertai ritual “slametan” dengan membagi bubur merah putih.
Nama chinesse saya, Pek Coan Sing atau Pai Jien Jen. Menurut Papa, nama tersebut mengandung arti: ‘sumber jadi.’ Sementara nama Indonesia saya, Juwono Saroso. Dalam budaya dan bahasa Jawa, nama tersebut juga mengandung arti: Juwono adalah nama populer untuk anak laki-laki. Sementara Saroso, jika dipenggal menjadi ‘Sa’ (satu)  dan ‘Roso’ (rasa). Jadi, nama Juwono Saroso bisa diartikan: ‘laki-laki yang perasa’. Pria yang menjalankan sesuatu dengan penuh perasaan. Hebat kan?
          Lebih hebat lagi kalau nama Juwono  dimaknai berdasarkan perhitungan metode pythagoras. Metode ini tidak mengartikan nama berdasarkan bahasa, tapi dengan menghitung huruf dan masing-masing huruf memiliki nilai dan arti tertentu. Juwono menurut metode ini artinya “kesentausaan dan suka ilmu pengetahuan”.
          Meski sudah punya nama, ada juga yang memiliki nama panggilan tersendiri. Kalau di kalangan artis, ada nama beken yang sengaja diciptakan.  Alasan biar lebih komersil. Di kalangan orang biasa, ada nama panggilan yang muncul dengan sendirinya dengan alasan tertentu atau tanpa alasan sama sekali. Itu pula yang terjadi pada saya.
          Nama panggilan saya U’un. Kadang disingkat dengan panggilan Un aja. Ada  juga yang memanggil saya dengan nama  Hoen. Tetangga saya, anaknya penjahit Flaminggo memanggil saya Mi Un. Andai saja waktu itu istilah O’on (kurang cerdas atau bego) sudah populer, mungkin saja ada yang memanggil saya dengan nama O’on.
Sementara  teman-teman di sekolah dasar,  memanggil saya dengan nama yang jauh berbeda dengan nama asli  atau nama panggilan di kampung.  Saya tidak paham, kenapa mereka suka memanggil saya  Koencoro.  Dari U’un  tiba-tiba jadi Koencoro. 
Biasanya anak seusia saya suka marah kalau dipanggil dengan nama lain. Kesannya mengejek atau diolok-olok. Tapi saya sih tidak tersinggung. Tidak juga protes atau berusaha membenarkan panggilan saya itu. Suka-suka merekalah.
          Hahahaha….Koencorooooo….Koencoro, kelasmu bukan di sini,” teriak teman ketika saya buru-buru masuk ke kelas yang salah. Saya keluar lalu mencari kelas lain. Harus ngintip-ngintip dulu dari luar. Benar apa salah kelas yang akan saya masuki.
Urusan salah masuk ke dalam kelas memang sudah biasa terjadi. Bukan hanya pada saya tetapi juga murid lainnya. Sebab, saya sekolah di SD Chana, yang terletak di Jalan Panglima Sudirman. Mungkin itu sekolah paling jelek dan amburadur di Surabaya waktu itu.
Muridnya sedikit dan kita sering dicampur dalam satu kelas dengan murid berkebutuhan khusus. Saking sedikit jumlah muridnya, kelas 1 dicampur dengan kelas 2, kelas 3 dijadikan satu kelas dengan murid kelas 4. Kemudian murid kelas 5 jadi satu kelas dengan murid kelas 6. Walau dua kelas dicampur jadi satu, jumlah murid tidak lebih dari hitungan belasan. 
Saya masuk ke sekolah ini pindahan dari SD Santa Maria Tulunggagung. Dari sekolah terbaik dan penuh disiplin, tiba-tiba saya berada di sekolah yang jelek. Tidak  jelas tata tertibnya. Sarana dan pra sarananya sangat minim. Kadang kapur tulis habis dan tak terbeli. Satu guru mengajar dua kelas sekaligus di dalam satu ruangan.  Kondisinya sangat parah.
Walau SD Chana  itu jelek, kurang murid dan juga kurang guru, toh saya sekolah sampai lulus. Tidak lama setelah itu, sekolah ditutup. Bubar karena tidak ada murid. Satu-satunya kenangan yang tersimpan rapi adalah selembar ijasah. Di sana tertera nama Juwono Saroso. Bukan nama  Koencoro, U’un atau Mi Un. 
***



Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...