"What's in
a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." Apalah arti
sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap
akan berbau wangi. (William
Shakespeare)
Apalah
arti sebuah nama? Kalimat tersebut sangat
mendunia. Dan Anda boleh sepakat atau tidak sependapat. Kalau saya? Nama
itu penting dan mengandung arti serta
harapan yang akan dijalani oleh seseorang dalam
masyarakat.
Dalam budaya tertentu, ada yang
percaya bahwa nama yang diberikan tidak cocok. Orang Jawa bilang “kaboten jeneng” (keberatan nama). Si bayi sakit-sakitan atau rewel. Karena itu
namanya diganti disertai ritual “slametan” dengan membagi bubur merah putih.
Nama chinesse saya, Pek Coan Sing
atau Pai Jien Jen. Menurut Papa, nama tersebut mengandung arti: ‘sumber jadi.’
Sementara nama Indonesia saya, Juwono Saroso. Dalam budaya dan bahasa Jawa,
nama tersebut juga mengandung arti: Juwono adalah nama populer untuk anak
laki-laki. Sementara Saroso, jika dipenggal menjadi ‘Sa’ (satu) dan ‘Roso’ (rasa). Jadi, nama Juwono Saroso
bisa diartikan: ‘laki-laki yang perasa’. Pria yang menjalankan sesuatu dengan
penuh perasaan. Hebat kan?
Lebih hebat
lagi kalau nama Juwono dimaknai berdasarkan
perhitungan metode pythagoras. Metode
ini tidak mengartikan nama berdasarkan bahasa, tapi dengan menghitung huruf dan
masing-masing huruf memiliki nilai dan arti tertentu. Juwono menurut metode ini
artinya “kesentausaan dan suka ilmu pengetahuan”.
Meski sudah
punya nama, ada juga yang memiliki nama panggilan tersendiri. Kalau di kalangan
artis, ada nama beken yang sengaja diciptakan.
Alasan biar lebih komersil. Di kalangan orang biasa, ada nama panggilan
yang muncul dengan sendirinya dengan alasan tertentu atau tanpa alasan sama
sekali. Itu pula yang terjadi pada saya.
Nama
panggilan saya U’un. Kadang disingkat dengan panggilan Un aja. Ada juga yang memanggil saya dengan nama Hoen. Tetangga saya, anaknya penjahit
Flaminggo memanggil saya Mi Un. Andai saja waktu itu istilah O’on (kurang
cerdas atau bego) sudah populer, mungkin saja ada yang memanggil saya dengan
nama O’on.
Sementara teman-teman di sekolah dasar, memanggil saya dengan nama yang jauh berbeda
dengan nama asli atau nama panggilan di
kampung. Saya tidak paham, kenapa mereka
suka memanggil saya Koencoro. Dari U’un tiba-tiba jadi Koencoro.
Biasanya anak seusia saya suka marah
kalau dipanggil dengan nama lain. Kesannya mengejek atau diolok-olok. Tapi saya
sih tidak tersinggung. Tidak juga protes atau berusaha membenarkan panggilan
saya itu. Suka-suka merekalah.
“Hahahaha….Koencorooooo….Koencoro,
kelasmu bukan di sini,” teriak teman ketika saya buru-buru masuk ke kelas yang
salah. Saya keluar lalu mencari kelas lain. Harus ngintip-ngintip dulu dari
luar. Benar apa salah kelas yang akan saya masuki.
Urusan salah masuk ke dalam kelas
memang sudah biasa terjadi. Bukan hanya pada saya tetapi juga murid lainnya.
Sebab, saya sekolah di SD Chana, yang terletak di Jalan Panglima Sudirman.
Mungkin itu sekolah paling jelek dan amburadur di Surabaya waktu itu.
Muridnya sedikit dan kita sering
dicampur dalam satu kelas dengan murid berkebutuhan khusus. Saking sedikit
jumlah muridnya, kelas 1 dicampur dengan kelas 2, kelas 3 dijadikan satu kelas
dengan murid kelas 4. Kemudian murid kelas 5 jadi satu kelas dengan murid kelas
6. Walau dua kelas dicampur jadi satu, jumlah murid tidak lebih dari hitungan
belasan.
Saya masuk ke sekolah ini pindahan
dari SD Santa Maria Tulunggagung. Dari sekolah terbaik dan penuh disiplin,
tiba-tiba saya berada di sekolah yang jelek. Tidak jelas tata tertibnya. Sarana dan pra
sarananya sangat minim. Kadang kapur tulis habis dan tak terbeli. Satu guru
mengajar dua kelas sekaligus di dalam satu ruangan. Kondisinya sangat parah.
Walau SD Chana itu jelek, kurang murid dan juga kurang guru,
toh saya sekolah sampai lulus. Tidak lama setelah itu, sekolah ditutup. Bubar
karena tidak ada murid. Satu-satunya kenangan yang tersimpan rapi adalah selembar
ijasah. Di sana tertera nama Juwono Saroso. Bukan nama Koencoro, U’un atau Mi Un.
***