Tuesday, November 27, 2018

SEKOLAH DAN PREMAN KAMPUNG

Lulus dari SD Chana, lanjut ke SMP Praja Mukti di Jalan Kupang Segunting II/12-C Surabaya. Sekolah tersebut dekat dengan rumah. Saya didaftarkan ke sekolah yang berlokasi di dalam kampung itu.  Selain karena biaya lebih murah dibanding jika  masuk ke sekolah favorit’, faktor  lainnya lagi, kata Papa,  lebih mudah mengawasi saya.

          Ternyata, masuk sekolah yang  dekat dengan rumah, tidak menjamin lebih aman dan nyaman.  Ada saja gangguan yang bikin Papa khawatir. Suatu hari, salah seorang langganan obras di toko kami laporan pada Papa.
          “Ko, saya sering lihat U’un  diganggu oleh anak-anak kampung,” lapor orang tersebut ketika melihat saya yang baru pulang dari sekolah dan langsung masuk ke dalam untuk ganti pakaian. Dari dalam, saya masih mendengar langganan obras itu bicara pada Papa.  
          “Ketika pulang sekolah, saya lihat  sendiri U’un  dicegat dan dimintai uang sama anak-anak nakal itu. Apa U’un  gak pernah bilang?” lanjutnya.
          Papa tentu saja kaget. Sebab, saya tidak pernah lapor kalau sering dipalak dan diganggu oleh preman-preman kecil itu. Sering dicegat dan dimintai uang.  Kadang saya cari  jalan lain untuk menghindari hadangan mereka. Tapi sesekali mereka menunggu saya di depan sekolah, lalu mengikuti saya dari belakang. Di tempat yang agak sepi, mereka menyuruh saya berhenti.
          Mereka tidak sampai memukul saya. Sebab, saya tidak melawan. Kalau saya punya uang, ya saya kasi. Kalau tidak punya,  saya bilang kalau saya tidak punya uang.
“Lain kali kamu harus bayar. Awas kalau tidak,” gertak mereka. Saya hanya mengangguk. Tidak menunjukkan sikap membangkang atau membantah. Saya tetap menahan emosi. Berusaha mengalah. Begitulah yang sering saya alami.
Tentu saja Papa dan Mama merasa cemas. Takut anaknya disakiti dan  diganggu  oleh anak-anak nakal itu.  Setiap pulang sekolah, Papa atau Mama selalu tanya, apakah tadi dicegat dan dimintai uang? Saya selalu berbohong; “Tidak Pa, mereka sudah tidak mengganggu saya lagi.”
          Papa tetap saja cemas. Tidak rela anaknya dijadikan sasaran palak oleh preman-preman kampung itu. Akhirnya Papa mengambil keputusan. Saya harus  pindah sekolah. Jadi, saya hanya setahun sekolah di SMP Praja Mukti itu. Naik kelas dua, saya dipindahkan ke SMP Imka di Jalan Kombes Pol. M. Duriyat Surabaya. Saya masuk kelas siang.
          Walau saya pindahan dari sekolah yang letaknya di dalam kampung, di sekolah baru itu tidak  mengalami kesulitan dalam mata pelajaran. Sebab, pelajaran di SMP Praja Mukti itu standarnya sama dengan sekolah negeri. Guru-gurunya  banyak dari SMP 12 Surabaya. Makanya, sekolah itu  maju karena kualitas pengajarnya bagus.
·       Jualan Es Buah
          Di sekolah yang baru, saya dengan cepat bisa menyesuaikan diri. Saya punya beberapa teman akrab. Salah satunya Swandi. Saya memanggilnya dengan nama Swan. Orangnya baik dan sangat bersahabat. Suatu hari, saya diajak main ke rumahnya.
          Ketika berada di rumah Swan, saya melihat orangtuanya sedang membuat es buah. Hal itu sangat menarik perhatian saya. Sebab, buah yang dipakai adalah papaya, nanas dan bligo.  Es tersebut dibungkus dalam plastik kecil kemudian dimasukkan ke dalam freezer untuk dibekukan.
          Warna-warni es tersebut menggugah selera. Ada warna kuning nanas, orange papaya dan bligonya dikasi warna hijau.  Saya sempai mencicipi. Rasanya enak dan seger. Mungkin karena saya sudah terbiasa jualan jajan, tiba-tiba muncul inisiatif untuk menjual es buah itu di SMP Imka.
          “Tante, boleh gak saya ikut menjual es buah ini,” tanya saya pada mamanya Swan. Sejenak tante melihat saya. Mungkin tidak percaya kalau saya serius mau jualan es. Maklum, anak-anak seusia saya, jarang yang mau kerja. Senangnya bermain.
          “Saya serius Tante, saya mau jual es buah ini di sekolah. Saya yakin pasti laris,” saya  berusaha meyakinkan.  Saya juga cerita bahwa setiap hari saya terbiasa jualan kue keliling. Tante setuju dan keesokan harinya saya mulai jualan es buah.
          Berangkat sekolah, saya mampir dulu di rumah Swan untuk mengambil satu termos berisi es buah.  Termos itu saya letakkan di dalam  keranjang yang ada di bagian depan sepeda mini kesayangan saya itu.  Sesampai di sekolah, saya titipkan di kantin.
Diam-diam, saya sering memperhatikan beberapa siswa membeli dan mencicipi es buah itu. Saya senang karena es itu laris manis.  Sore, sepulang sekolah saya totalan dengan pengelola kantin. Satu termos sering  habis. Kalau tersisa, paling tinggal beberapa plastik saja. Dari jualan es buah itu, setiap hari saya dapat keuntungan. 
Karena dapat keuntungan, saya bisa jajan di sekolah tanpa minta orangtua. Di sekolah ada penjual bakso.  Saya sering beli dengan permintaan khusus. Maksudnya, pentol baksonya sedikit saja. Bila perlu tidak pakai pentol.  Saya minta mienya yang banyak. Kalau ditambah kuah dan saos sambal, semangkok isinya jadi penuh.
Sebenarnya bukan beli bakso tapi beli mie kuah di penjual bakso. Kadang ada tetelan daging campur urat dan  gajih (lemak) yang katut di dalam kuahnya. Kalau dapat, rasanya senang banget. Seperti dapat bonus  istimewa karena  rasanya sangat lezat. Makannya lahap, harganya murah dan perut pasti kenyang.  Saya jadi ingat Lie Ing Kiat,  teman sekolah saya di SD Chana. Dia suka  beli bakso tanpa pentol seperti itu. Saya meniru dia. Hemat tapi tetap nikmat.
***

Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...