Lulus dari SD Chana, lanjut ke SMP Praja Mukti di Jalan Kupang Segunting II/12-C Surabaya. Sekolah tersebut dekat dengan rumah. Saya didaftarkan ke sekolah yang berlokasi di dalam kampung itu. Selain karena biaya lebih murah dibanding jika masuk ke sekolah favorit’, faktor lainnya lagi, kata Papa, lebih mudah mengawasi saya.
Ternyata,
masuk sekolah yang dekat dengan rumah, tidak
menjamin lebih aman dan nyaman. Ada saja
gangguan yang bikin Papa khawatir. Suatu hari, salah seorang langganan obras di
toko kami laporan pada Papa.
“Ko, saya
sering lihat U’un diganggu oleh
anak-anak kampung,” lapor orang tersebut ketika melihat saya yang baru pulang
dari sekolah dan langsung masuk ke dalam untuk ganti pakaian. Dari dalam, saya
masih mendengar langganan obras itu bicara pada Papa.
“Ketika
pulang sekolah, saya lihat sendiri U’un dicegat dan dimintai uang sama anak-anak nakal
itu. Apa U’un gak pernah bilang?”
lanjutnya.
Papa tentu
saja kaget. Sebab, saya tidak pernah lapor kalau sering dipalak dan diganggu
oleh preman-preman kecil itu. Sering dicegat dan dimintai uang. Kadang saya cari jalan lain untuk menghindari hadangan mereka.
Tapi sesekali mereka menunggu saya di depan sekolah, lalu mengikuti saya dari
belakang. Di tempat yang agak sepi, mereka menyuruh saya berhenti.
Mereka tidak
sampai memukul saya. Sebab, saya tidak melawan. Kalau saya punya uang, ya saya
kasi. Kalau tidak punya, saya bilang
kalau saya tidak punya uang.
“Lain kali kamu harus bayar. Awas
kalau tidak,” gertak mereka. Saya hanya mengangguk. Tidak menunjukkan sikap
membangkang atau membantah. Saya tetap menahan emosi. Berusaha mengalah.
Begitulah yang sering saya alami.
Tentu saja Papa dan Mama merasa
cemas. Takut anaknya disakiti dan
diganggu oleh anak-anak nakal
itu. Setiap pulang sekolah, Papa atau
Mama selalu tanya, apakah tadi dicegat dan dimintai uang? Saya selalu berbohong;
“Tidak Pa, mereka sudah tidak mengganggu saya lagi.”
Papa tetap
saja cemas. Tidak rela anaknya dijadikan sasaran palak oleh preman-preman
kampung itu. Akhirnya Papa mengambil keputusan. Saya harus pindah sekolah. Jadi, saya hanya setahun
sekolah di SMP Praja Mukti itu. Naik kelas dua, saya dipindahkan ke SMP Imka di
Jalan Kombes Pol. M. Duriyat Surabaya. Saya masuk kelas siang.
Walau saya
pindahan dari sekolah yang letaknya di dalam kampung, di sekolah baru itu
tidak mengalami kesulitan dalam mata
pelajaran. Sebab, pelajaran di SMP Praja Mukti itu standarnya sama dengan
sekolah negeri. Guru-gurunya banyak dari
SMP 12 Surabaya. Makanya, sekolah itu
maju karena kualitas pengajarnya bagus.
·
Jualan Es
Buah
Di sekolah
yang baru, saya dengan cepat bisa menyesuaikan diri. Saya punya beberapa teman
akrab. Salah satunya Swandi. Saya memanggilnya dengan nama Swan. Orangnya baik
dan sangat bersahabat. Suatu hari, saya diajak main ke rumahnya.
Ketika berada
di rumah Swan, saya melihat orangtuanya sedang membuat es buah. Hal itu sangat
menarik perhatian saya. Sebab, buah yang dipakai adalah papaya, nanas dan
bligo. Es tersebut dibungkus dalam
plastik kecil kemudian dimasukkan ke dalam freezer untuk dibekukan.
Warna-warni
es tersebut menggugah selera. Ada warna kuning nanas, orange papaya dan
bligonya dikasi warna hijau. Saya sempai
mencicipi. Rasanya enak dan seger. Mungkin karena saya sudah terbiasa jualan
jajan, tiba-tiba muncul inisiatif untuk menjual es buah itu di SMP Imka.
“Tante, boleh
gak saya ikut menjual es buah ini,” tanya saya pada mamanya Swan. Sejenak tante
melihat saya. Mungkin tidak percaya kalau saya serius mau jualan es. Maklum,
anak-anak seusia saya, jarang yang mau kerja. Senangnya bermain.
“Saya serius
Tante, saya mau jual es buah ini di sekolah. Saya yakin pasti laris,” saya berusaha meyakinkan. Saya juga cerita bahwa setiap hari saya
terbiasa jualan kue keliling. Tante setuju dan keesokan harinya saya mulai
jualan es buah.
Berangkat
sekolah, saya mampir dulu di rumah Swan untuk mengambil satu termos berisi es
buah. Termos itu saya letakkan di
dalam keranjang yang ada di bagian depan
sepeda mini kesayangan saya itu.
Sesampai di sekolah, saya titipkan di kantin.
Diam-diam, saya sering memperhatikan
beberapa siswa membeli dan mencicipi es buah itu. Saya senang karena es itu
laris manis. Sore, sepulang sekolah saya
totalan dengan pengelola kantin. Satu termos sering habis. Kalau tersisa, paling tinggal beberapa
plastik saja. Dari jualan es buah itu, setiap hari saya dapat keuntungan.
Karena dapat keuntungan, saya bisa
jajan di sekolah tanpa minta orangtua. Di sekolah ada penjual bakso. Saya sering beli dengan permintaan khusus. Maksudnya,
pentol baksonya sedikit saja. Bila perlu tidak pakai pentol. Saya minta mienya yang banyak. Kalau ditambah
kuah dan saos sambal, semangkok isinya jadi penuh.
Sebenarnya bukan beli bakso tapi
beli mie kuah di penjual bakso. Kadang ada tetelan daging campur urat dan gajih (lemak) yang katut di dalam kuahnya.
Kalau dapat, rasanya senang banget. Seperti dapat bonus istimewa karena rasanya sangat lezat. Makannya lahap,
harganya murah dan perut pasti kenyang.
Saya jadi ingat Lie Ing Kiat,
teman sekolah saya di SD Chana. Dia suka beli bakso tanpa pentol seperti itu. Saya
meniru dia. Hemat tapi tetap nikmat.
***