Di bagian depan rumah kecil itu,
terpasang papan nama “Modes Eka”. Nama itu diambil dari nama depan kakak saya Ekawati Juliastuti. Secara bisnis,
lokasinya sangat strategis. Berada di kawasan padat penduduk dan di
sepanjang Jalan Pandegiling itu banyak
taylor (penjahit) dan toko modes.
Yang saya ingat, ada Waspada Taylor, Flamingo Taylor, Dinamis Taylor yang paling
laris, ada juga Star Taylor, kemudian yang terkenal berkelas dan paling mahal
adalah Mic Mac Taylor. Terus ada Modes Beautyful juga cukup laris. Masih banyak
lagi yang lainnya. Belum termasuk penjahit yang ada di dalam kampung sekitar
Pandegiling, Kampung Malang, Tempel Sukorejo dan sekitarnya.
Para penjahit itu, kalau belanja bahan jahitan dan ngobras kebanyakan di tempat kami, Modes Eka. Usaha
ini dirintis perlahan-lahan sesuai kemampuan modal yang ada. Bahan-bahan
jahitan seperti benang, resteling, kancing baju dan lainnya kami kulak dalam
jumlah kecil. Tidak mampu membeli secara grosir padahal harganya lebih murah.
Misalnya, kulakan benang ultra per
lusin dengan isi empat warna. Benang
berbagai warna itu diletakkan di dalam kaleng
biscuit. Dicampur jadi satu.
Kalau ada yang beli, mereka pilih sendiri sesuai warna yang diinginkan. Ketika
modal terkumpul, kami bisa kulakan benang lebih banyak lagi dengan warna yang
berbeda-beda setiap lusinnya.
Cara menjualnya tidak lagi dicampur
di kaleng biscuit. Kita pajang contoh benang dan pembeli tinggal menyebut
nomor, baru kita ambil dari dalam kotak.
Saya juga sudah mulai hafal betul warna benang. Biasanya, pembeli menunjukkan
contoh kain, saya langsung tahu mana benang yang warnanya pas dengan kain
tersebut.
Toko Modes Eka kian berkembang.
Cukup lumayan dan bisa bersaing dengan toko-toko lain. Bahkan, kami sudah bisa
membeli mesin pembuat kancing bungkus. Saat itu, kancing bungkus sangat laris
dan paling disukai terutama oleh kaum wanita. Sebab, kancing itu senada dengan
warna atau motif bajunya.
Usaha obras dan toko bahan-bahan
jahitan mulai berjalan. Sementara Mama, menambah sumber penghasilan dengan
menerima jahitan dan berjualan kue. Kue-kue bikinan Mama, seperti kue lemper, kue
mangkok, kue kukus, bak cang dan kuping
tikus.
Usaha kue itu sebenarnya usaha
bersama antara Mama, kakaknya Mama almarhum Koo Kiem Eng dan adiknya Mama, Koo
Kiem Sing. Pembuatan kue-kue yang dijual oleh Mama dilakukan di rumah tante Koo
Kiem Sing. Sebab, tidak mungkin diproduksi di rumah kami yang sempit itu.
Rumah tante itu cukup besar. Banyak kamarnya, ada ruang tamu
dan ruang kerja serta dapur yang luas. Letak hanya beberapa meter dari rumah
yang kami tempati. Kami di Pandegiling 169, rumah tante nomor 167 E. Di rumah tersebut tinggal Om Liong Gwan,
Tante Koo Kiem Eng, Tante Koo Kiem Sing dan Om Jiang, adik Mama yang paling
kecil.
Letak rumahnya agak ke dalam. Untuk
sampai ke rumah tante itu, harus melalui gang sempit antara bangunan Toko
Wijaya dan rumah juragan becak. Gang itu
hanya bisa dilalui oleh satu sepeda motor.
Kalau kita berpapasan dengan orang,
maka badan harus dimiringkan. Jika dari arah berlawanan ada pengendara sepeda
motor yang lewat, maka yang lain harus mengalah. Menunggu pengendara itu lewat.
Sebaliknya, kalau ada pejalan kaki yang sedang
lewat, maka pengendara motor harus menunggu di ujung gang terlebih dahulu.
Kalau saja gang itu dikasi nama,
saya setuju dipasang papan nama: “Gang Toleran”. Karena keberadaan gang sempit
itu mendidik warga untuk saling
menghargai. Mengalah kepada sesama. Kalau sudah masuk ke dalam gang, kita harus
lari-lari kecil agar yang mau lewat berikutnya tidak lama menunggu. Atau dikasi nama yang unik: “Gang Tolah
Toleh”. Sebab, warga yang mau lewat
harus tolah toleh dulu. Apa
ada orang yang sedang lewat atau di belakang kita ada orang yang mau lewat?
Setiap hari, saya dan Mama melintas
di gang sempit itu untuk mengambil kue-kue dagangan. Kemudin dititipkan di beberapa warung, bakul mlijo dan toko kue di Pandegiling, Kupang Panjaan, Kampung Malang
dan sekitarnya. Sepulang sekolah, saya juga ikut membantu ngider (keliling), membawa kue kuping tikus ke tempat yang belum didatangi Mama, sekalian
menarik uang dari jajan yang sudah laku.
Dengan tas kresek berisi camilan
kuping tikus, saya keliling jalan kaki, kadang naik sepeda mini, dari satu
tempat ke tempat yang lain. Saya juga menyempatkan diri untuk mengintip jajan
basah titipan Mama di beberapa toko kue. Salah satunya di toko Asia. Di sana,
kue bikinan Mama terdisplay dengan rapi dan bisa dilihat dari luar. Saya bisa
menghitung berapa yang sudah laku.
Selesai mengantar kue-kue itu, saya
membantu jualan di rumah. Rutinitas itu
berjalan bertahun-tahun. Tidak ada waktu untuk bermain dengan teman sebaya.
Tidak punya kesempatan untuk menikmati masa kecil seperti umumnya anak-anak
seusia saya. Seluruh waktu terpakai untuk sekolah dan membantu orangtua.
Kembali ke camilan kuping tikus. Di
pasaran juga ada kue sejenis. Serupa tapi tidak sama. Namanya kue kuping gajah. Sama-sama gurih,
renyah dan manis. Bedanya kuping tikus bentuknya lebih kecil dari kuping gajah.
Keunggulan buatan Mama, ada aroma wangi yang khas karena dalam proses produksi ditetesi essence
vanili merk Lonceng. Hal itu sangat disukai anak-anak dan orang
dewasa. Boleh dibilang, kuping tikus
merupakan inovasi dari camilan kuping gajah.
Cara pembuatan camilan ini sama seperti
membuat kerupuk. Tapi, bahan kerupuk dari tepung kanji sementara kuping
tikus dari tepung gaplek. Setelah dipotong kecil-kecil, lalu dikeringkan dengan
bantuan sinar matahari. Pada musim kemarau, Mama memproduksi dalam jumlah
banyak sebagai stok ketika datang musim penghujan. Biasanya disebut ‘krecek’.
Stok krecek ini jika mau dipasarkan,
harus digoreng terlebih dahulu. Sama seperti menggoreng kerupuk. Setelah mekar
dan matang, kuping tikus itu dilapisi gula mendidih yang sudah ditetesi essence vanili. Ketika kering, kuping
tikus ini terasa renyah, gurih dan manis karena ada lapisan gula tipis yang
beraroma wangi vanili tadi.
Dengan sistem
krecek ini, kita bisa jualan kuping tikus di segala musim. Pada musim hujan masih bisa
jualan tanpa memikirkan masalah produksi. Dan camilan ini sangat laris pada
musim hujan. Sebab, pada musim hujan, kuping tikus salah satu camilan paling
laris. Dijual dalam kemasan plastik kecil yang direkatkan dengan api lilin.
Harganya per plastik Rp 4. Oleh pemilik
warung dan bakul mlijo dijual dengan
harga Rp 5 rupiah.
Bagi saya, camilan kuping tikus itu,
sesuatu yang fenomenal. Camilan renyah
dan gurih itu adalah butiran sejarah perjuangan masa lalu. Untuk mengenang kembali masa-masa sulit itu,
pada setiap acara wisuda Akpar (Akademi Parawisata) Majapahit, kuping tikus
selalu kami hidangkan kepada para undangan.
***