Tuesday, November 27, 2018

KUPING TIKUS DI GANG TOLAH TOLEH


Di bagian depan rumah kecil itu, terpasang papan nama “Modes Eka”. Nama itu diambil dari nama depan  kakak saya Ekawati Juliastuti. Secara bisnis, lokasinya sangat strategis. Berada di kawasan padat penduduk dan di sepanjang  Jalan Pandegiling itu banyak taylor (penjahit) dan toko modes.

Yang saya ingat, ada Waspada Taylor,  Flamingo Taylor, Dinamis Taylor yang paling laris, ada juga Star Taylor, kemudian yang terkenal berkelas dan paling mahal adalah Mic Mac Taylor. Terus ada Modes Beautyful juga cukup laris. Masih banyak lagi yang lainnya. Belum termasuk penjahit yang ada di dalam kampung sekitar Pandegiling, Kampung Malang, Tempel Sukorejo dan sekitarnya.  

Para penjahit itu,  kalau belanja bahan jahitan dan ngobras  kebanyakan di tempat kami, Modes Eka. Usaha ini dirintis perlahan-lahan sesuai kemampuan modal yang ada. Bahan-bahan jahitan seperti benang, resteling, kancing baju dan lainnya kami kulak dalam jumlah kecil. Tidak mampu membeli secara grosir padahal harganya lebih murah. 

Misalnya, kulakan benang ultra per lusin dengan isi empat warna.  Benang berbagai warna itu diletakkan di dalam kaleng  biscuit.  Dicampur jadi satu. Kalau ada yang beli, mereka pilih sendiri sesuai warna yang diinginkan. Ketika modal terkumpul, kami bisa kulakan benang lebih banyak lagi dengan warna yang berbeda-beda setiap lusinnya. 

Cara menjualnya tidak lagi dicampur di kaleng biscuit. Kita pajang contoh benang dan pembeli tinggal menyebut nomor, baru kita ambil dari dalam kotak.  Saya juga sudah mulai hafal betul warna benang. Biasanya, pembeli menunjukkan contoh kain, saya langsung tahu mana benang yang warnanya pas dengan kain tersebut.

Toko Modes Eka kian berkembang. Cukup lumayan dan bisa bersaing dengan toko-toko lain. Bahkan, kami sudah bisa membeli mesin pembuat kancing bungkus. Saat itu, kancing bungkus sangat laris dan paling disukai terutama oleh kaum wanita. Sebab, kancing itu senada dengan warna atau motif  bajunya. 

Usaha obras dan toko bahan-bahan jahitan mulai berjalan. Sementara Mama, menambah sumber penghasilan dengan menerima jahitan dan  berjualan kue.  Kue-kue bikinan Mama, seperti kue lemper, kue mangkok, kue kukus, bak cang  dan kuping tikus. 

Usaha kue itu sebenarnya usaha bersama antara Mama, kakaknya Mama almarhum Koo Kiem Eng dan adiknya Mama, Koo Kiem Sing. Pembuatan kue-kue yang dijual oleh Mama dilakukan di rumah tante Koo Kiem Sing. Sebab, tidak mungkin diproduksi di rumah kami yang sempit itu.

Rumah tante itu  cukup besar. Banyak kamarnya, ada ruang tamu dan ruang kerja serta dapur yang luas. Letak hanya beberapa meter dari rumah yang kami tempati. Kami di Pandegiling 169, rumah tante nomor 167 E.  Di rumah tersebut tinggal Om Liong Gwan, Tante Koo Kiem Eng, Tante Koo Kiem Sing dan Om Jiang, adik Mama yang paling kecil.

Letak rumahnya agak ke dalam. Untuk sampai ke rumah tante itu, harus melalui gang sempit antara bangunan Toko Wijaya dan rumah juragan becak.  Gang itu hanya bisa dilalui oleh satu sepeda motor.

Kalau kita berpapasan dengan orang, maka badan  harus dimiringkan. Jika  dari arah berlawanan ada pengendara sepeda motor yang lewat, maka yang lain harus mengalah. Menunggu pengendara itu lewat. Sebaliknya, kalau ada pejalan kaki yang sedang  lewat, maka pengendara motor harus menunggu di ujung gang  terlebih dahulu. 

Kalau saja gang itu dikasi nama, saya setuju dipasang papan nama: “Gang Toleran”. Karena keberadaan gang sempit itu mendidik warga  untuk saling menghargai. Mengalah kepada sesama. Kalau sudah masuk ke dalam gang, kita harus lari-lari kecil agar yang mau lewat berikutnya tidak lama menunggu.  Atau dikasi nama yang unik: “Gang Tolah Toleh”. Sebab, warga yang mau lewat  harus tolah toleh dulu. Apa ada orang yang sedang lewat atau di belakang kita ada orang yang mau lewat? 

Setiap hari, saya dan Mama melintas di gang sempit itu untuk mengambil kue-kue dagangan. Kemudin  dititipkan di beberapa  warung, bakul mlijo dan toko kue di  Pandegiling, Kupang Panjaan, Kampung Malang dan sekitarnya. Sepulang sekolah, saya juga ikut membantu ngider (keliling), membawa kue kuping tikus  ke tempat yang belum didatangi Mama, sekalian menarik uang dari jajan yang sudah laku. 

Dengan tas kresek berisi camilan kuping tikus, saya keliling jalan kaki, kadang naik sepeda mini, dari satu tempat ke tempat yang lain. Saya juga menyempatkan diri untuk mengintip jajan basah titipan Mama di beberapa toko kue. Salah satunya di toko Asia. Di sana, kue bikinan Mama terdisplay dengan rapi dan bisa dilihat dari luar. Saya bisa menghitung berapa yang sudah laku.

Selesai mengantar kue-kue itu, saya membantu jualan di rumah.  Rutinitas itu berjalan bertahun-tahun. Tidak ada waktu untuk bermain dengan teman sebaya. Tidak punya kesempatan untuk menikmati masa kecil seperti umumnya anak-anak seusia saya. Seluruh waktu terpakai untuk sekolah dan membantu orangtua. 

Kembali ke camilan kuping tikus. Di pasaran juga ada kue sejenis. Serupa tapi tidak sama.  Namanya kue kuping gajah. Sama-sama gurih, renyah dan manis. Bedanya kuping tikus bentuknya lebih kecil dari kuping gajah. Keunggulan buatan Mama, ada aroma wangi yang khas  karena dalam proses produksi ditetesi  essence vanili merk Lonceng. Hal itu sangat disukai anak-anak dan orang dewasa.  Boleh dibilang, kuping tikus merupakan inovasi dari camilan kuping gajah.

Cara pembuatan camilan ini sama  seperti  membuat kerupuk. Tapi, bahan kerupuk dari tepung kanji sementara kuping tikus dari tepung gaplek. Setelah dipotong kecil-kecil, lalu dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Pada musim kemarau, Mama memproduksi dalam jumlah banyak sebagai stok ketika datang musim penghujan. Biasanya disebut ‘krecek’.

Stok krecek ini jika mau dipasarkan, harus digoreng terlebih dahulu. Sama seperti menggoreng kerupuk. Setelah mekar dan matang, kuping tikus itu dilapisi gula mendidih yang sudah ditetesi essence vanili. Ketika kering, kuping tikus ini terasa renyah, gurih dan manis karena ada lapisan gula tipis yang beraroma wangi vanili tadi. 

Dengan  sistem  krecek ini, kita bisa jualan kuping tikus  di segala musim. Pada musim hujan masih bisa jualan tanpa memikirkan masalah produksi. Dan camilan ini sangat laris pada musim hujan. Sebab, pada musim hujan, kuping tikus salah satu camilan paling laris. Dijual dalam kemasan plastik kecil yang direkatkan dengan api lilin. Harganya per plastik  Rp 4. Oleh pemilik warung  dan bakul mlijo dijual dengan harga Rp 5 rupiah.  

Bagi saya, camilan kuping tikus itu, sesuatu yang  fenomenal. Camilan renyah dan gurih itu adalah butiran sejarah perjuangan masa lalu.  Untuk mengenang kembali masa-masa sulit itu, pada setiap acara wisuda Akpar (Akademi Parawisata) Majapahit, kuping tikus selalu kami hidangkan kepada para undangan.
***


Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...