Wednesday, November 28, 2018

“WELCOME TO HAIR STAR INDONESIA”


“Sebaik atau seburuk apa pun pengalaman, sejatinya adalah ilmu.  Pengalaman pula yang membentuk kita menjadi manusia tangguh, tidak mudah menyerah ketika menghadapi masalah.”
Karena pengalaman itu adalah ilmu, maka tidak ada alasan untuk menyesali pengalaman pahit di masa lalu. Sebaiknya kita fokus menatap masa depan. Karena itulah, ketika ada tawaran dari perusahaan lain, saya memutuskan untuk resign dari PT. Tambak Agung Abadi. 
Tawaran tersebut datang dari salah seorang keluarga pendiri perusahaan rokok Gudang Garam, melalui  orangtua murid les saya di Surabaya. Mereka adalah pasangan suami istri Pek Khe Hong dan  Lien Siang. Kebetulan Pek Khe Hong masih ada hubungan famili dengan Papa saya. Dia juga yang  pernah menolong saya ketika tertimpa masalah saat menjadi pengusaha  oli samping dan stemvet  dulu.
Pada jaman itu, mereka ini pasangan suami istri yang  kaya. Suaminya seorang pengusaha ekspedisi, sementara istrinya seorang dokter. Tapi dia jarang praktek. Mungkin, karena  penghasilan suaminya sudah lebih dari cukup sehingga dia tidak memanfaatkan  profesi dokternya  untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
Lien Siang punya adik perempuan bernama Lien Mei. Adiknya itu  menikah dengan anak dari salah satu pendiri pabrik rokok Gudang Garam.  Kebetulan dia dimandatkan untuk mengelola salah satu cabang  perusahaan, yaitu PT Hair Star Indonesia. Sebuah pabrik yang memproduksi rambut palsu  (wig) dan bulu mata palsu (hair pieces) dari bahan dasar rambut asli (human hair) dan rambut sintetis buatan Jepang merek Kanekalon.
Lien Mei memiliki saham mayoritas di pabrik  yang beralamat  di Jalan Raya Sedati No 37, Desa Wedi, Rt. 004-001 Kec. Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Perusahaan itu dulunya bernama PT. Han Shin, milik pengusaha  Korea. Karena itu, di perusahaan yang sebagian besar pemasarannya untuk  ekspor itu,  masih banyak tenaga ekspat asal Korea. 
Percaya diri, salah satu kunci bernegosiasi. Sementara pengalaman adalah modal paling berharga. Misalnya, pengalaman dari dua jabatan keren,  sebagai  Quality Control (QC) dan staf  Research & Development (R&D) di PT. Tambak Agung Abadi, bisa menjadi pertimbangan yang bagus untuk karir saya di perusahaan yang baru itu.
Ketika sesi wawancara, pengalaman dari dua jabatan tadi, saya ungkapkan dengan nada optimis.   Dirut yang sekaligus pemilik salah satu pemilik saham  di PT. Hair Star Indonesia, Pak Didik dan istrinya mendengar dengan  antusias. Saya ceritakan apa yang pernah saya lakukan di perusahaan lama. Langkah-langkah apa yang perlu diterapkan di perusahaan yang baru.
Semua ide yang saya sampaikan  sejalan dengan program perusahaan. Maka, sesi wawancara itu berubah menjadi sebuah diskusi yang menarik. Akhirnya, pasangan suami istri yang sama-sama lulusan farmasi di Universitas Widya Mandala Surabaya itu mengucapkan, “Welcome to PT. Hair Star Indonesia.”

·       Gelombang Protes
Sampai di tahapan ini, semua berjalan aman. Saya resmi diterima bekerja dengan posisi sebagai manager R&D. Jabatan tersebut sesui dengan keinginan saya untuk meniti karir dan menimba lebih banyak pengalaman.  Berkaitan dengan jabatan tersebut, saya minta ruang kerja khusus yang sekaligus berfungsi sebagai laboratorium (Lab). Tentu saja dilengkapi dengan peralatan Lab. Permintaan itu langsung  disetujui oleh Pak Didik.
Lalu, apa yang terjadi? Pengadaan Lab itu menimbulkan kehebohan di tingkat top leader. Beberapa direktur dan manager yang sudah lama berkarir di sana, tidak setuju. Permintaan saya itu dianggap pemborosan, buang-buang uang. Pabrik rambut palsu tidak butuh Lab, tidak perlu riset dan penelitian.
Ada yang bilang begini: “Dia belum mulai bekerja, tapi sudah minta dibuatkan laboratorium. Permintaannya kok dituruti padahal kemampuan dan kualitas kerjanya belum teruji.” 
          Yang lain berkomentar: “Pabrik rambut palsu seperti ini tidak butuh Lab. Buat apa? Apasih yang mau di-lab-kan? Ini sama saja dengan pemborosan, menghamburkan anggaran untuk sesuatu yang tidak perlu”
Walau gelombang protes itu sangat kuat, Pak Didik tetap bertekat membuat  ruang Lab untuk saya. Banyak rencana besar yang bergejolak di dalam benak saya untuk memajukan perusahaan. Program jangka pendek dan jangka panjang harus dipersiapkan untuk meningkatkan kualitas produk agar bisa bersaing dengan produk serupa, baik untuk pasaran dalam negeri dan luar negeri.
Keberadaan  Lab sangatlah penting. Tetapi celakanya, di perusahaan tersebut tidak pernah ada Lab. Bahkan mungkin, selama ini belum pernah terpikirkan untuk membangun Lab. Celakanya lagi, saya mendapatkan fakta bahwa sejak lama proses produksi dikerjakan dengan cara “kira-kira”.  Selama ini, proses produksi di lakukan sesuai dengan kebiasaan yang mereka yakini sendiri.
Semua tidak terkonsep dengan baik. Tidak ada data atau table yang bisa dipakai sebagai pedoman produksi. Menurut saya, semua amburadul,  tidak terkonsep dengan baik. Karena sudah terbiasa bekerja dengan pola  lama, mereka menganggap Lab tidak dibutuhkan.
Mereka pada ribut dan  mereka protes. Saya tidak perduli. Belajar dari jam dinding: dilihat orang atau tidak, ia tetap berdering. Dihargai orang atau tidak, ia tetap berputar. 

·       Peralatan Dibanting
Sebelum Lab rampung, sementara saya beraktivitas di bagian chemical. Di sana saya jadi satu ruangan dengan, Mr Yang, pria warga Korea. Ruangan tersebut tidak begitu luas tetapi saya anggap cukuplah buat tempat melakukan kegiatan. Langkah awalnya, saya membuat catatan dan tabel dengan malakukan percobaan skala kecil memakai peralatan seadanya.
Saya memanfaatkan kompor listrik dan gelas kaca sebagai alat percobaan bersekala kecil.  Saya praktikkan proses memasak rambut. Menghitung kadar campuran chemical, air dan bahan-bahan lainnya.  Berapa persen campurannya bahan yang dibutuhkan dan bagaimana hasilnya, semua dicatat dan disusun rapi dalam sebuah tabel. 
Pekerjaan itu dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang menantang keberadaan saya di perusahaan tersebut. Mr Yang,  teman satu ruangan dengan saya  itu juga sering ngomel-ngomel. Katanya, suasana kerja tidak enak karena suhu ruangan  jadi panas karena pengaruh api kompor.  Kadang dia sengaja membuka kancing bajunya sebagai reaksi protes. Tapi saya tidak ambil pusing. Tetap saja beraktivitas dan melakukan percobaan. Sampai suatu hari, Mr. Yang itu membanting  semua peralatan saya.
Ruangan jadi berantakan. Barang-barang saya berserakan di lantai. Mr Yang itu sengaja ngajak ribut. Tapi sudalah, saya harus mengalah. Berusaha menahan emosi. Sebab berantem tidak menyelesaikan masalah. Bahkan bisa menimbulkan masalah baru yang lebih besar.   
Saya pungut satu persatu barang yang berserakan. Pecahan gelas saya bersihkan sendiri. Saya tidak menunjukkan emosi sama sekali. Kejadian itu  saya anggap tantangan dan harus saya atasi. Tidak boleh menyerah atau mengadu kepada managemen perusahaan. Tidak ada gunanya.
Setelah kejadian itu,  saya memilih bekerja di luar ruangan. Manager R&D melakukan aktivitas penting di tempat terbuka tidak ubahnya seperti penjual makanan tradisional di kampung-kampung. Dengan sebuah meja dan kompor listrik serta peralatan lainnya, percobaan itu terus berlangsung. Mencatat dengan rapi semua hasil percobaan. Itu berlangsung beberapa bulan sampai akhirnya ruangan Lab yang saya minta  itu rampung. Saya masih ingat ada banyak yg mendukung saya waktu itu, ada Solekan, Casino, entah siapa lagi saya sudah lupa namanya.
***




Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...