Wednesday, November 28, 2018

BOSAN JADI KARYAWAN




Suatu hari, ketika sedang santai, saya bilang pada istri.
“Lebih baik kamu tidak usah masak. Masakanmu tidak seberapa enak,” ucapku. Kalimat itu mungkin terdengar kasar. Seolah-olah mengejek.  Tapi istriku,  Evie Muliasari Dewi sama sekali tidak tersinggung. Dia terlihat biasa-biasa saja. Dia memandang saya lalu tersenyum lembut.
“Kalau  lapar, ya kita makan di luar. Lebih praktis dan tiap hari bisa ganti-ganti menu,” kataku sekalian menawarkan solusi. 
“Makan di luar pasti mahal. Kalau masak sendiri kita bisa lebih  hemat,” ungkapnya memberi alasan. Saya sangat terkesan dengan alasannya. Sebab, umumnya perempuan suka wisata kuliner. Bisa jalan-jalan.Tidak capek masak di dapur. Tapi wanita yang saya nikahi tahun 1998 itu malah berpikir tentang penghematan. Ini hal yang luar biasa. Saya bangga.
“Memang hemat, tapi kan lebih nikmat makan di luar. Masakanmu gak patek enak (tidak seberapa enak).  Dari pada habis waktu untuk masak, mending konsentrasi  melakukan penelitian,” jawabku.
Soal penelitian, sudah kami lakukan bersama sejak masih pacaran. Perkenalan kami berlangsung ketika menjelang saya resign dari perusahaan pembuat rambut palsu, PT Hair Star Indonesia (HSI). Saat itu, dia jadi karyawati baru yang akan menggantikan posisi saya di bagian R & D (Research and Development).
Di sana saya bekerja tiga tahun  (1993 – 1995)   melakukan penelitian dan pembuatan shampoo, conditioner, pewarna rambut, obat keriting dan segala macam produk yang berkaitan dengan pemeliharaan rambut. Sebelum keluar dari HSI, saya berkewajiban men-training dia selama dua bulan. Dari situlah awal benih asmara itu timbul. Seperti pepatah Jawa witing trisno soko nggelibet. Setiap hari ketemu dia. Setiap hari melihat senyumnya. Lha kok saya jadi terpesona.
Persoalan berikutnya, banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak saya. “Apakah dia merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan?”  “Jangan-jangan saya bertepuk sebelah tangan?”   “Jangan-jangan dia sudah punya pacar?”  Masih banyak pertanyaan dan dugaan yang terus menggoda pikiran. Saya jadi tidak tenang.
Memang, dari gesture tubuhnya, saya menangkap sinyal bahwa dia juga punya rasa yang sama. Tapi bisa saja saya keliru menangkap sinyal. Bisa juga feeling saya salah.  Maka, jalan satu-satunya, saya harus berani mengutarakan perasaan pada dia.
“Evie, aku mau tanya sesuatu,” kataku serius.
“Kelihatannya serius banget? Mau tanya apa sih?”
“Eeee… anu… apa kamu sudah punya pacar?” kalimat yang terucap tersendat-sendat.
Evie tidak langsung menjawab. Dia diam sebentar.  Saya juga diam menunggu jawabannya dengan perasaan cemas.
“Belum. Memang kenapa?” jawabnya balik bertanya.
 “Kamu maukah jadi pacarku?”
“Aku kan belum tau, kamu punya pacar apa belum,” katanya diplomatis.
“Belum,” yakinku.
Singkat cerita, saya diterima. Kami resmi pacaran.
Selama  pacaran, Evie masih sarjana farmasi lulusan Ubaya. Kemudian  saya minta dia mengambil specialis apoteker. Dia mau. Saya juga minta dia untuk les bahasa Inggris. Dia setuju. Saya suruh les Komputer. Dia tidak menolak. Saya juga sarankan dia untuk les agama Katholik sampai dibabtis jadi Katholik. Dia turuti.
Sekarang ini saya baru sadar bahwa  saya  membebani banyak syarat yang harus dipenuhi Evie untuk jadi istri. Sementara dia tidak menuntut apa-apa kecuali satu hal, saya harus  menjadi suami yang setia dan bertanggungjawab. Tuntutannya sedikit tapi cukup berat karena  harus  saya jaga seumur hidup.
Setelah keluar dari  HSI, saya mencari pengalaman baru di PT. Ardaya yang bergerak di bidang supplier chemical. Saya diterima sebagai tenaga marketing dan technical support. Posisi tersebut memungkinkan saya untuk menjalin hubungan dengan pabrik-pabrik kosmetik sekelas  PT. Johnson and Johnson, Unilever, La Tulipe dan beberapa perusahaan home industry yang berkembang di Surabaya.  Sementara Evie tetap berkarir di HSI menggantikan posisi saya.
Tiga tahun (1995 – 1997) berkarir di PT. Ardaya . Banyak pengalaman yang berhasil saya dapatkan. Jika ditambah dengan  modal pengalaman dari dua perusahaan sebelumnya,  saya  rasa sudah bisa dijadikan  pondasi untuk  membangun usaha sendiri. Bosan jadi karyawan dan harus berani keluar dari zona aman.

·       Lahirnya Tristar
          Evie, yang statusnya masih jadi pacar, sangat mendukung keputusan saya untuk berhenti jadi karyawan.  Bentuk dukungannya, dia rela mengakhiri karirnya di HSI.  Kami membuka home industry, memproduksi pelembut pakaian untuk kebutuhan  laundry  rumahan dan perhotelan. Usaha itu dimulai pada bulan-bulan awal tahun 1997 di rumah kontrakan di  kawasan Medokan Ayu,  Surabaya.
          Pada tahun yang sama, mendirikan perusahaan PT. Tricipta Agung Sejahtera dengan menjalin kerjasama dengan seorang importir bahan kimia, PT Sinar Kimia.  Sesuai dengan namanya Tricipta, pemegang saham tiga orang; saya,  Freddy dan Ronny. Tapi perusahaan tersebut hanya bertahan setahun.  Kami pecah kongsi. PT Tricipta di lanjutkan Ronny dan Freddy. Saham saya, saya tarik untuk membuat CV Tristars Chemicals.
          Walau demikian, usaha home industry tetap jalan. Penelitian juga terus  kami lakukan. Tujuannya? Agar makin banyak produk yang bisa  kami ciptakan. Berbekal pengalaman dan keyakinan, kami berhasil menemukan formula-formula baru dan  melakukan kreasi dan inovasi untuk menyempurnakan produk.  Barang yang kami ciptakan harus punya nilai tambah untuk bisa bersaing.  Sebab, kami bukanlah satu-satunya pelaku pasar. Waktu itu, ada  beberapa  home industry yang memproduksi barang serupa.
          Seperti iklan Yamaha, “semakin di depan” begitulah yang kami alami. Kami lebih unggul dari produk-produk lainnya. Berhasil melakukan penetrasi pasar secara maksimal. Tahun berikutnya (1998), saya dan Evi resmi menjadi pasangan suami istri.
          Saya setuju dengan ungkapan: “di balik suami yang hebat, ada peran istri yang  dahsyat.” Evie, istri saya itu, sangat berperan dalam perjuangan memajukan usaha. Dia juga yang setia mendampingi mengurus perizinan mendirikan perusahaan.  Kemudian  lahirlah CV Tristars Chemicals.
Perusahaan ini, selain bergerak dalam usaha  home industry, juga menyelenggarakan kursus kilat pembuatan aneka snack dan keterampilan lainnya untuk emak-emak (ibu-ibu). Dari sinilah kemudian mengalami metamorphosis menjadi lembaga pendidikan dan  juga merambah bisnis café dan restoran.
Ada Tristar Culinary Institute yang kini memiliki banyak cabang di kota besar. Kemudian Akademi Pariwisata dengan nama Majapahit Tourism Academy dan sejumlah restoran Matoa (akronim dari Majapahit Tourism Academy).
Konsep Matoa ke depannya,  akan memiliki  branding yang tidak kalah dengan  Tristar Culinary Institute dan Majapahit Tourism Academy.  Kelak, Matoa akan menjelma menjadi emperium yang  me-manage bisnis café, hotel, restoran dan klinik kecantikan dan lain-lain. Site bisnis kami nanti  tertera: “magage by Matoa”.
Jika emperium Jawa Pos punya koran Radar di mana-mana. Salim Group punya Indofood dan perusahaan  Indo-Indo lainnya, maka kami akan punya Matoa  di mana-mana. Itulah impian besar saya.  

·       Tiba-tiba Jadi  Orang Kaya
Tristar Chemical membawa saya semakin dekat dengan impian besar itu. Istri yang menjadi penyemangat yang luar biasa bagi saya. Dia yang pernah saya larang untuk memasak karena masakannya tidak enak, tidak pernah lelah mendampingi saya melakukan penelitian.
Jenis produk yang kami buat juga meningkat. Antara lain handsoap, super pel, pelembut pakaian (softener), sabun bubuk, shampoo, conditioner, creambath, bahkan kami juga memproduksi massage cream untuk panti pijat (timung). 
Semua barang yang kami lempar ke pasar,  laku keras. Pada saat yang sama, produk-produk  serupa buatan pabrik  dengan merek terkenal juga banyak beredar. Bahkan menggunakan kemasan eksklusif dengan harga lebih  mahal.  Sementara   produk-produk kami, hanya  memanfaatkan botol plastik bekas minuman air mineral. Harga jualnya? Jauh lebih murah. Bisa separuh dari harga produk bermerek.
Tahun 1997 – 1998 terjadi krisis moneter yang populer dengan sebutan Krismon. Nilai tukar rupiah terjun bebas. Dari 2.450 rupiah per dollar AS, menjadi 15.000 rupiah  pada akhir Januari 1998. Perekonomian hancur lebur. Pengusaha panik. Banyak perusahaan yang gulung tikar. Kalau pun ada yang mampu bertahan, kondisi keuangannya tidak sehat.  Sebaliknya, ketika badai Krismon datang, saya tiba-tiba jadi orang kaya.
Stok barang dalam jumlah banyak yang kami impor sebelum Krismon seakan berubah jadi harta karun. Nilai barang melambung karena perubahan kurs dollar AS.  Keuntungan pun meningkat berlipat-lipat. Barang yang saya impor seperti talc haichen atau bahan baku bedak  seharga 385 rupiah laris manis dibeli orang dengan harga 1100 rupiah. Begitu juga white oil,  sebelum Krismon tidak laku, tiba-tiba laris dengan harga tiga  kali lipat.
Ini adalah jawaban dari Tuhan. Dulu hidup serba susah. Pernah bikin usaha daur ulang olie bekas dan stemvet, kotor dan bau. Kemudian bangkrut. Tiba-tiba dikasi rezeki berlebihan. Kerjanya di tempat bersih dan harum. Ini terjadi pada priode tahun 1997 sampai 2003.
Saya bisa beli beberapa buah rumah yang letaknya strategis. Ada yang melalui KPR ada yang bayar cash, Ada dua rumah di Rungkut Mapan Utara dan  Timur. Juga beli rumah besar  di kawasan Kedung Anyar.  Luas  tanah 1000 m2.  Setiap tahun bisa jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga. Terimakasih Tuhan.
***







Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...