“Lebih baik kamu tidak usah masak.
Masakanmu tidak seberapa enak,” ucapku. Kalimat itu mungkin terdengar kasar.
Seolah-olah mengejek. Tapi istriku, Evie Muliasari Dewi sama sekali tidak
tersinggung. Dia terlihat biasa-biasa saja. Dia memandang saya lalu tersenyum
lembut.
“Kalau lapar, ya kita makan di luar. Lebih praktis
dan tiap hari bisa ganti-ganti menu,” kataku sekalian menawarkan solusi.
“Makan di luar pasti mahal. Kalau
masak sendiri kita bisa lebih hemat,”
ungkapnya memberi alasan. Saya sangat terkesan dengan alasannya. Sebab, umumnya
perempuan suka wisata kuliner. Bisa jalan-jalan.Tidak capek masak di dapur.
Tapi wanita yang saya nikahi tahun 1998 itu malah berpikir tentang penghematan.
Ini hal yang luar biasa. Saya bangga.
“Memang hemat, tapi kan lebih nikmat
makan di luar. Masakanmu gak patek enak
(tidak seberapa enak). Dari pada habis
waktu untuk masak, mending konsentrasi
melakukan penelitian,” jawabku.
Soal penelitian, sudah kami lakukan
bersama sejak masih pacaran. Perkenalan kami berlangsung ketika menjelang saya resign dari perusahaan pembuat rambut
palsu, PT Hair Star Indonesia (HSI). Saat itu, dia jadi karyawati baru yang
akan menggantikan posisi saya di bagian R & D (Research
and Development).
Di sana saya bekerja tiga tahun (1993 – 1995) melakukan penelitian dan pembuatan shampoo,
conditioner, pewarna rambut, obat keriting dan segala macam produk yang
berkaitan dengan pemeliharaan rambut. Sebelum keluar dari HSI, saya
berkewajiban men-training dia selama
dua bulan. Dari situlah awal benih asmara itu timbul. Seperti pepatah Jawa witing trisno soko nggelibet. Setiap
hari ketemu dia. Setiap hari melihat senyumnya. Lha kok saya jadi terpesona.
Persoalan berikutnya, banyak
pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak saya. “Apakah dia merasakan hal yang
sama seperti yang saya rasakan?”
“Jangan-jangan saya bertepuk sebelah tangan?” “Jangan-jangan dia sudah punya pacar?” Masih banyak pertanyaan dan dugaan yang terus
menggoda pikiran. Saya jadi tidak tenang.
Memang, dari gesture tubuhnya, saya menangkap sinyal bahwa dia juga punya rasa
yang sama. Tapi bisa saja saya keliru menangkap sinyal. Bisa juga feeling saya salah. Maka, jalan satu-satunya, saya harus berani
mengutarakan perasaan pada dia.
“Evie, aku mau tanya sesuatu,” kataku
serius.
“Kelihatannya serius banget? Mau
tanya apa sih?”
“Eeee… anu… apa kamu sudah punya
pacar?” kalimat yang terucap tersendat-sendat.
Evie tidak langsung menjawab. Dia
diam sebentar. Saya juga diam menunggu
jawabannya dengan perasaan cemas.
“Belum. Memang kenapa?” jawabnya
balik bertanya.
“Kamu maukah jadi pacarku?”
“Aku kan belum tau, kamu punya pacar
apa belum,” katanya diplomatis.
“Belum,” yakinku.
Singkat cerita, saya diterima. Kami
resmi pacaran.
Selama pacaran, Evie masih sarjana farmasi lulusan Ubaya. Kemudian
saya minta dia mengambil specialis apoteker. Dia mau. Saya juga minta
dia untuk les bahasa Inggris. Dia setuju. Saya suruh les Komputer. Dia tidak
menolak. Saya juga sarankan dia untuk les agama Katholik sampai dibabtis jadi Katholik. Dia turuti.
Sekarang ini saya baru sadar bahwa saya
membebani banyak syarat yang harus dipenuhi Evie untuk jadi istri.
Sementara dia tidak menuntut apa-apa kecuali satu hal, saya harus menjadi suami yang setia dan
bertanggungjawab. Tuntutannya sedikit tapi cukup berat karena harus
saya jaga seumur hidup.
Setelah keluar dari HSI, saya mencari pengalaman baru di PT.
Ardaya yang bergerak di bidang supplier chemical.
Saya diterima sebagai tenaga marketing dan technical
support. Posisi tersebut memungkinkan saya untuk menjalin hubungan dengan
pabrik-pabrik kosmetik sekelas PT.
Johnson and Johnson, Unilever, La Tulipe dan beberapa perusahaan home industry yang berkembang di
Surabaya. Sementara Evie tetap berkarir
di HSI menggantikan posisi saya.
Tiga tahun (1995 – 1997) berkarir di
PT. Ardaya . Banyak pengalaman yang berhasil saya dapatkan. Jika ditambah
dengan modal pengalaman dari dua
perusahaan sebelumnya, saya rasa sudah bisa dijadikan pondasi untuk
membangun usaha sendiri. Bosan jadi karyawan dan harus berani keluar
dari zona aman.
·
Lahirnya
Tristar
Evie, yang
statusnya masih jadi pacar, sangat mendukung keputusan saya untuk berhenti jadi
karyawan. Bentuk dukungannya, dia rela
mengakhiri karirnya di HSI. Kami membuka
home industry, memproduksi pelembut
pakaian untuk kebutuhan laundry rumahan dan perhotelan. Usaha itu dimulai pada bulan-bulan awal tahun 1997 di rumah
kontrakan di kawasan Medokan Ayu, Surabaya.
Pada tahun
yang sama, mendirikan perusahaan PT. Tricipta Agung Sejahtera dengan menjalin
kerjasama dengan seorang importir bahan kimia, PT Sinar Kimia. Sesuai dengan namanya Tricipta, pemegang
saham tiga orang; saya, Freddy dan
Ronny. Tapi perusahaan tersebut hanya bertahan setahun. Kami pecah kongsi. PT Tricipta di lanjutkan Ronny dan Freddy. Saham saya, saya tarik untuk membuat CV Tristars Chemicals.
Walau
demikian, usaha home industry tetap
jalan. Penelitian juga terus kami
lakukan. Tujuannya? Agar makin banyak produk yang bisa kami ciptakan. Berbekal pengalaman dan
keyakinan, kami berhasil menemukan formula-formula baru dan melakukan kreasi dan inovasi untuk
menyempurnakan produk. Barang yang kami
ciptakan harus punya nilai tambah untuk bisa bersaing. Sebab, kami bukanlah satu-satunya pelaku
pasar. Waktu itu, ada beberapa home
industry yang memproduksi barang serupa.
Seperti iklan
Yamaha, “semakin di depan” begitulah yang kami alami. Kami lebih unggul dari
produk-produk lainnya. Berhasil melakukan penetrasi pasar secara maksimal.
Tahun berikutnya (1998), saya dan Evi resmi menjadi pasangan suami istri.
Saya setuju
dengan ungkapan: “di balik suami yang hebat, ada peran istri yang dahsyat.” Evie, istri saya itu, sangat
berperan dalam perjuangan memajukan usaha. Dia juga yang setia mendampingi
mengurus perizinan mendirikan perusahaan.
Kemudian lahirlah CV Tristars Chemicals.
Perusahaan ini, selain bergerak
dalam usaha home industry, juga menyelenggarakan kursus kilat pembuatan aneka
snack dan keterampilan lainnya untuk emak-emak (ibu-ibu). Dari sinilah kemudian
mengalami metamorphosis menjadi lembaga pendidikan dan juga merambah bisnis café dan restoran.
Ada Tristar Culinary Institute yang
kini memiliki banyak cabang di kota besar. Kemudian Akademi Pariwisata dengan
nama Majapahit Tourism Academy dan sejumlah restoran Matoa (akronim dari
Majapahit Tourism Academy).
Konsep Matoa ke depannya, akan memiliki
branding yang tidak kalah dengan
Tristar Culinary Institute dan Majapahit Tourism Academy. Kelak, Matoa akan menjelma menjadi emperium
yang me-manage bisnis café, hotel, restoran dan klinik kecantikan dan
lain-lain. Site bisnis kami nanti
tertera: “magage by Matoa”.
Jika emperium Jawa Pos punya koran
Radar di mana-mana. Salim Group punya Indofood dan perusahaan Indo-Indo lainnya, maka kami akan punya
Matoa di mana-mana. Itulah impian besar
saya.
·
Tiba-tiba
Jadi Orang Kaya
Tristar Chemical membawa saya
semakin dekat dengan impian besar itu. Istri yang menjadi penyemangat yang luar
biasa bagi saya. Dia yang pernah saya larang untuk memasak karena masakannya
tidak enak, tidak pernah lelah mendampingi saya melakukan penelitian.
Jenis produk yang kami buat juga
meningkat. Antara lain handsoap, super pel, pelembut pakaian (softener), sabun bubuk, shampoo, conditioner, creambath, bahkan kami juga memproduksi massage cream untuk panti pijat (timung).
Semua barang yang kami lempar ke
pasar, laku keras. Pada saat yang sama,
produk-produk serupa buatan pabrik dengan merek terkenal juga banyak beredar.
Bahkan menggunakan kemasan eksklusif dengan harga lebih mahal.
Sementara produk-produk kami,
hanya memanfaatkan botol plastik bekas
minuman air mineral. Harga jualnya? Jauh lebih murah. Bisa separuh dari harga
produk bermerek.
Tahun 1997 – 1998 terjadi krisis
moneter yang populer dengan sebutan Krismon. Nilai tukar rupiah terjun bebas.
Dari 2.450 rupiah per dollar AS, menjadi 15.000 rupiah pada akhir Januari 1998. Perekonomian hancur
lebur. Pengusaha panik. Banyak perusahaan yang gulung tikar. Kalau pun ada yang
mampu bertahan, kondisi keuangannya tidak sehat. Sebaliknya, ketika badai Krismon datang, saya
tiba-tiba jadi orang kaya.
Stok barang dalam jumlah banyak yang
kami impor sebelum Krismon seakan berubah jadi harta karun. Nilai barang
melambung karena perubahan kurs dollar AS.
Keuntungan pun meningkat berlipat-lipat. Barang yang saya impor seperti talc haichen atau bahan baku bedak seharga 385 rupiah laris manis dibeli orang
dengan harga 1100 rupiah. Begitu juga white
oil, sebelum Krismon tidak laku,
tiba-tiba laris dengan harga tiga kali
lipat.
Ini adalah jawaban dari Tuhan. Dulu
hidup serba susah. Pernah bikin usaha daur ulang olie bekas dan stemvet, kotor
dan bau. Kemudian bangkrut. Tiba-tiba dikasi rezeki berlebihan. Kerjanya di
tempat bersih dan harum. Ini terjadi pada priode tahun 1997 sampai 2003.
Saya bisa beli beberapa buah rumah
yang letaknya strategis. Ada yang melalui KPR ada yang bayar cash, Ada dua
rumah di Rungkut Mapan Utara dan Timur.
Juga beli rumah besar di kawasan Kedung
Anyar. Luas tanah 1000 m2. Setiap tahun bisa jalan-jalan ke luar negeri
bersama keluarga. Terimakasih Tuhan.
***