Lie Hong

DIA PERNAH CURI BUNGA DI SEKOLAH
Oleh: Lie Hong (Teman di SMP IMKA)

          Di sekolah, sebelum jam pelajaran dimulai, Juwono mendekati saya sambil tersenyum. Sebelah tangannya, dilipat ke belakang. Seperti ada yang disembunyikan. Ketika sesuatu yang disembunyikan itu diberikan, spontan saya menjerit-jerit ketakutan. Badan saya gemetar dan berkeringat dingin. Yang disembunytikan tadi ternyata  ulat bulu. Dia memberikan pada saya. Minta ampun, saya takut sekali.
          Juwono tahu bahwa saya fobia berat sama binatang melata itu. Jangankan tampak  di depan mata,  melihat gambar atau sesuatu yang mirip ulat bulu saja, badan gemetaran. Ada rasa takut,  jijik dan geli bercampur aduk menjadi satu. Melihat reaksi saya yang ketakutan, bukannya merasa bersalah lalu minta maaf. Justru tertawa girang. Teman-teman lain juga ikut tertawa. Ketakutanku ternyata dijadikan hiburan. Sebel.
          Itu salah satu pengalaman konyol yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Padahal, kejadian itu sudah 36 tahun berlalu. Tepatnya tahun 1982 ketika sama-sama duduk di kelas 3-B Siang, SMP Kristen IMKA Surabaya.  Mungkin banyak teman sekolah yang menilai  dia itu murid pendiam, saya justru sebaliknya. Dia itu periang dan agak usil.
Selain satu kelas, tempat duduk kami berdekatan. Dia di bangku depan. Saya di belakangnya. Sehari-hari saya dan beberapa teman, yang masih saya ingat ada Tjiu Fong,  Go Yen Fei, Tien Tien dan lain-lain. Istilah anak sekarang, “satu geng”. Kami juga selalu bersama mengerjakan tugas kelompok. Juwono memang paling aktif dan bisa menjadi penyemangat buat teman-teman.
Suatu hari, di sekolah ada perlombaan  merangkai  bunga.  Istilah kerennya “Kontes Ikebana” yaitu merangkai bunga ala Jepang.  Langkah awalnya, tentu saja harus mencari bunga yang akan dirangkai. Kami melakukan diskuci kecil-kecilan. Pertanyaannya pertama, mau cari bunga di mana?
Tidak satu pun di antara kami yang  punya tanaman bunga di rumah.  Minta di tetangga? Juga tidak ada yang mengaku bertetangga dengan  orang yang punya tanaman bunga. Lalu? Yang paling masuk akal, harus beli di penjual bunga. Berarti harus urunan duit.
Belum sempat muncul kesepakatan untuk urunan duit, tiba-tiba muncul ide. Saya lupa siapa yang memberi ide. Mungkin saja  ide itu dari Juwono  karena dia yang paling aktif berdiskusi. Idenya? “Kita petik saja  bunga-bunga yang ada di halaman sekolah.”
Ide blirian. Semua sepakat dan langsung dieksekusi.  Kami mengawasi sekeliling untuk memastikan apakah situasi aman. Terus saya bilang sama Juwono. “Wes Yu, kamu aja yang ambil bunga-bunga itu,” kata saya. Dia tidak menolak. Dia langsung mengambil bunga yang ada di halaman sekolah, sementara kami hanya mengawasi dari jarak jauh sambil menjaga sepeda mini kesayangannya itu.
Eh alaaa, ternyata  aksi Juwono yang sedang memetik bunga itu ketahuan sama petugas kebersihan sekolah.  Juwono tertangkap basah. Gak bisa mengelak. Dia jadi  “tersangka mencuri bunga”. Pak penjaga sekolah itu tidak marah-marah atau berteriak-teriak dengan muka serem. Juga tidak  melapor kenakalan kami kepada Kepala Sekolah. Dia hanya bilang begini:
“Eeeh..eh..  jangaaaan. Tidak boleh,”  tegurnya. Walau begitu, Juwono terlihat kaget. Dia balik badan lalu lari sambil membawa bunga hasil curiannya. Sementara kami tertawa melihat ekspresi wajahnya yang ketakutan. He he he he kasihan juga dia.
Mau tahu hasil lombanya? Rangkaian bunga hasil curian karya kami itu tidak dapat nomor. Gak  juara. Kalah dengan rangkaian bunga teman-teman lain yang bunganya lebih indah dan beraneka macam. Sementara karya kami, hanya satu macam dan itu pun bunga hasil curian.  
Di mata saya, Juwono itu teman yang baik, setia pada kawan dan menyenangkan. Dia  salah satu murid yang berprestasi dan  pandai dalam semua mata pelajaran. Selalu jadi juara. Karena berprestasi itulah, dia mendapat bea siswa di SMP IKMA. Bahkan, saya dengar, dia juga ditawari bea siswa jika melanjutkan ke SMA IMKA.
Suatu hari, sehabis olah raga, saya merasa sangat haus. Kebetulan ada penjual es degan di sekolah. Di sana saya minum dua gelas. Tiba-tiba Juwono yang juga ikut minum es di sana, tanya pada penjual es.
“Berapa Pak, sekalian  sama esnya Lie Hong,” katanya sambil merogoh kantong. Saya heran. Tidak biasanya Juwono  mau nraktir teman. Dia itu terkesan pelit, atau mungkin karena keadaan.  Belum dijawab oleh penjual es degan, Juwono menyodorkan uang.
          “Nyo kurang Nyo. Tadi Noninya minum dua gelas.”  Yuwono melongo sambil geleng-geleng kepala. Dikira saya hanya minum satu gelas es degan. Ternyata dua gelas. Kasihan deh lu he he he he.
Lulus dari SMP IMKA, kami pisah. Dia melanjutkan di SMK St. Louis I Surabaya, sementara saya meneruskan di SMA IMKA.   Kami putus  komunikasi. Sampai kami sama-sama lulus SMA, dia melanjutkan ke perguruan tinggi sementara saya  bikin usaha roti.
Nah, suatu hari,  gereja tempat saya beribadah membutuhkan pemain organ. Saya dengar dari beberapa teman bahwa Juwono  jadi guru privat organ. Saya cari dia untuk minta tolong mengisi kekosongan pemain musik di gereja. 
Ketika ketemu, dia tanya, “Kamu kerja apa sekang.”
Saya jawab, “Bikin roti.”
Juwono minta agar adiknya yang masih SMA ikut kerja di tempat saya. Tentu saja saya terima karena kerja di tempat saya tida  full time. Saya hanya butuh tenaga untuk mengantar roti ke pelanggan dan counter penjualan. Mengantar sekaligus menagih. Selain adiknya Juwono, ada beberapa teman yang juga memasukkan adiknya yang masih sekolah untuk kerja di tempat saya. Kerja sambil sekolah. Lumayan dapat tambahan uang jajan.
Sejak saat itu, komunikasi dengan Juwono nyambung lagi. Sebagai pengusaha roti, saya butuh bahan baku berupa susu full cream. Kebetulan, Juwono bekerja di perusahaan yang menyediakan bahan tersebut. Jadinya kami masih sering kontak lewat telepon karena urusan beli susu itu.
Waktu terus berjalan hingga suatu saat, ada acara reuni SMP IMKA. Saya hadir dan ketemu langsung sama Juwono. Saat itu dia sudah punya usaha sendiri.  Dia menyelenggarakan kursus kilat keterampilan berbagai bidang. Ada kursus kuliner ada juga kursus pembuatan sabun, shampoo, pengharum cucian dan lain-lain.
Juwono sempat menawari saya kesempatan untuk menjadi salah seorang pengajar. Tapi tawaran itu terpaksa saya tolak. Sebab saya  sibuk menjalankan  usaha dan  juga karena waktu itu anak saya masih kecil-kecil. Butuh perhatian dan belum bisa ditinggal.
Ternyata usaha Juwono melaju pesat. Dari kursus insidentil berskala kecil dengan peserta para ibu-ibu dan kelompok PKK, bergerak menjadi lembaga pendidikan formil berskala nasional.  Saya ikut bangga ketika menghadiri undangan peresmian Tristar Culinery Institute miliknya. Bahkan sekarang memiliki cabang di berbagai kota.
Keberhasilan Juwono tentu saja tidak lepas dari kemampuannya membaca peluang pasar. Dia cerdas,  kreatif, tekun  dan pantang menyerah. Sebagai teman sejak remaja, saya merasa bangga. 
Selamat ya Yu. Sukses sukses dan sukses.

Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...