Sriwahyuni Herpratiwi / Koo Kiem Sing

DIA TIDAK MAU JADI ANAK KUALAT
Oleh : Sriwahyuni Herpratiwi/Koo Kiem Sing
(Tante ke 13)

Kami ini keluarga besar. Semuanya ada 18 bersaudara. Koo Kiem Hian, ibu kandungnya Juwono itu, anak nomor 9. Saya ini anak urutan ke empat dari mamanya dia. Berarti saya ini  anak nomor 13.
Papanya Juwono, Pek khe Eng  dulunya orang kaya di Tulunggagung. Punya toko baju yang besar dan peternakan babi yang besar  di Kecamatan Ngunut, sekitar 15 kilo meter dari Tulungagung. Jumlah ternak babinya ada ribuan ekor. Pokoknya sangat kaya. Hidupnya enak.
Keadaan kemudian berubah. Peternakan babinya bangkrut. Yang saya dengar sih, ternak-ternaknya itu diangkut pakai truk tetapi tidak dibayar. Bayangkan, satu truk itu bisa muat berapa ekor babi ya? Bisa belasan atau puluhan ekor. Itu bukan sekali, tapi berkali-kali terjadi.  Lama-lama bangkrut.
Karena bangkrut, mereka pindah ke Surabaya. Hidupnya susah banget. Tinggal di rumah kontrak di Pandegiling, hanya beberapa meter dari rumah saya. Rumah kecil itu  sekaligus dijadikan tempat usaha obras. Mereka tinggal berlima. Papanya, Mamanya dan tiga anaknya. Termasuk Juwono itu.
Saya prihatin melihat kehidupan mereka. Gak punya apa-apa. Untuk makan saja susah. Kadang saya lihat sendiri mereka itu hanya  bisa beli roti sisa atau orang Jawa bilang “roti balen” (balen (Jawa)  = kembali) yang sudah tidak laku dijual. Roti yang  sudah kadaluarsa  dan mulai keluar jamurnya. Biasanya, roti  seperti itu  diborong  orang untuk makanan hewan piaraan. Tapi mereka membeli untuk dimakan sendiri.
Untungnya, roti jaman dulu, walau jamuran masih aman untuk dimakan. Bahan rotinya masih murni. Tidak ada campuran zat berbahaya. Beda dengan  roti jaman sekarang,  ‘roti jaman now’ kata anak-anak muda,  yang   sudah kadaluarsa apalagi sudah keluar jamurnya, sangat berbahaya karena  banyak campuran bahan kimianya.
Saat itu Juwono baru berusia sekitar 9 tahun. Tubuhnya kurus, pendiam dan pembawaannya kalem. Cara bicaranya halus tapi tidak pemalu.  Sampai sekarang pembawaan dia itu halus dan kalem.  Anak sekecil itu sudah harus membantu orangtua untuk cari uang. Dia ikut jualan kue keliling kampung bersama Mamanya. Menitip kue-kue ke pedagang di dalam kampung. Itu dilakukan setiap hari tanpa mengeluh.
Juwono selalu cerita pada orang-orang bahwa saya ini sering beri  dia uang untuk bayar biaya sekolah. Padahal, saya sama sekali tidak ingat itu.. Mungkin benar mungkin juga  tidak. Yang masih saya ingat, dia pernah mau potong rambut tapi gak punya uang. Lalu saya mencukurnya. Jaman itu serba sulit. Saya bekerja di Kimia Farma  sambil kuliah di  Farmasi Ubaya. Tidak selesai juga karena tidak kuat bayar biaya kuliah. Hanya bertahan sampai semester 7 saja.

Ejekan dan Hinaan
Bertahun-tahun mereka hidup dalam keadaan miskin. Beruntung, Papanya yangt pernah jadi orang kaya, mau menjadi tukang obras yang ongkosnya recehan. Sementara Mamanya tekun menjajakan kue dibantu Juwono.
Suatu hari, saya tidak ingat tahun berapa, kakak saya itu membeli organ. Waktu itu dia sudah pindah dari rumah kontrakan pertama yang sempit ke rumah yang cukup luas. Lokasinya ya tetap di Pandegiling itu. Tapi ekonominya masih morat-marit. Masih serba kekurangan. Tapi dia membeli alat musik.
Saya sih maklum karena dalam keluarga besar, hampir semuanya suka musik. Di rumah kami di Tulunggagung dulu, ada alat musik lengkap. Dari 18 bersaudara itu, kakak saya dari nomor 1 sampai anak nomor 12 bisa main musik. Saya anak yang ke 13 dan adik-adik saya tidak sempat belajar main musik.
Saya tidak mau berburuk sangka soal organ tadi. Tidak ikut berkomentar karena saya yakin kakak saya itu punya program lain untuk anak-anaknya. Tapi saudara yang lain? Saya tidak usah menyebutkan namanya, justru ngomel-ngomel, mengejek dan menghina.
“Sok kaya padahal tidak punya apa-apa. Masih kere. Untuk makan saja kurang. Lha kok malah beli organ,” ejeknya. Masih banyak kalimat yang bikin panas telinga. Mendengar hinaan seperti itu, saya hanya bisa mengelus dada. Ooo alaaa, kok tega menghina saudara sendiri.
Terbukti, Juwono jadi pandai main organ dan dengan kemampuannya itu, dia bisa membiayai sekolah sampai perguruan tinggi tanpa tergantung pada orangtuanya. Hebat kan? Tadinya seperti buang-buang uang untuk beli organ, ternyata sangat bermanfaat.
Hal lain yang pantas dibanggakan dari Juwono itu, sangat patuh, taat dan sayang pada kedua orangtuanya. Dia eling (ingat) pada orangtua, tetap  mengabdi pada Papa dan Mamanya. Juwono tidak mau jadi anak kualat.
Sukses tidak membuat dia membusungkan dada. Tidak lantas jadi orang yang sombong. Tetap kalem dan sabar. Istrinya juga punya sifat yang sama. Pasangan yang penyabar. Kadang saya gregetan melihat kesabaran mereka itu. Maksud saya, pegawainya kalau bicara tidak seperti  berhadapan dengan bosnya. Nadanya agak kasar. Tidak pantas.
Menghadapi pegawainya yang seperti itu, pasangan Juwono dan istrinya diam saja. Tidak marah juga. Mungkin prinsip dia, pegawai itu adalah keluarga. Mereka menghadapi dengan sikap yang kalem, sabar dan sopan.  Dia memang luar biasa.

Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...