KAPOK ! Kata itu melekat kuat di dalam pikiranku. Tidak mau lagi membangun usaha sendiri. Harapanku bagai pijar lampu yang tadinya menyala terang, tiba-tiba meredup lalu padam. Saya seakan berada dalam ruang yang gelap. Bergerak dengan meraba-raba mencari titik terang. Saya harus keluar dari kegelapan. Saya harus terbebas dari hantu masa lalu.
Satu pintu tertutup, pasti ada banyak pintu lain yang terbuka. Masalahnya,
apa kita mau berusaha bangkit atau tetap diam berpangku tangan sambil menangisi
tragedi masa lalu? Saya memilih untuk bangkit. Tapi, bagaimana caranya?
Sempat terjadi dialog batin yang cukup
seru. Ada pertarungan sengit antara pengalaman pahit dengan keinginan untuk
bangkit. Galau dan tidak percaya diri. Pukulan dari kegagalan itu sangat
dahsyat. Belum lagi kondisi keuangan yang amburadul. Hutang menumpuk dan harta
berharga tidak tersisa. Dialog batin
terus berdebat keras seperti membentur-bentur dinding kepala hingga terasa puyeng.
Dialog batin tersebut seperti
berikut ini:
“Saya
sudah tidak punya apa-apa lagi. Sudah jadi orang kere. Semua harta
ludes. Bahkan saya masih menanggung banyak hutang,” bisik sisi batinku seakan melemahkan spirit
yang mulai muncul. Tapi sisi batin yang lain berusaha membantah.
“Kamu
keliru besar. Kamu tidak kere. Kamu masih
punya harta karun yang tak ternilai harganya. Jika harta itu kamu
manfaatkan dengan maksimal, maka apa pun bisa kamu raih.”
“Harta
karun? Harta karun yang mana? Saya sudah
tidak berdaya. Tidak ada barang berharga yang saya miliki. Orangtua saya juga
dari kalangan biasa. Hidup sangat sederhana. Bahkan mereka ikut menderita
akibat dari kegagalan saya.”
“Dengar
baik-baik ya,” suara bantahan batin kembali terdengar. “Papa
dan Mamamu mewariskan harta yang luar
biasa. Kamu sudah memiliki tetapi tidak
pernah kamu manfaatkan. Nah, cobalah kamu renungkan dan temui harta karun
tersebut.”
Bisikan batin itu terhenti. Saya
merenung mencari jawaban soal harta karun tadi.
Puji Tuhan, saya menemukan jawabannya. Warisan harta karun itu tidak
lain adalah ilmu yang saya dapat dari bangku sekolah hingga di perguruan
tinggi. Orangtua membiayai sekolah sekuat tenaga agar anaknya memiliki bekal
ilmu yang bagus.
Mereka tidak mewariskan harta berupa
materi. Tetapi perjuangan mereka menyekolahkan saya dan mendidik saya sejak
kecil, adalah harta yang tidak ternilai harganya. Kini saatnya saya memakai ilmu tersebut. Tapi
ilmu saja tidak cukup. Harus ada keberanian dan strategi agar ilmu yang saya
miliki itu menghasilkan sesuatu yang
maksimal.
Saya lihat ada beberapa teman kuliah
yang pintarnya luar biasa, tetapi mereka
tidak mampu meraih sukses. Ada faktor penghambat yang membuatnya tidak
berhasil. Misalnya kurang percaya diri. Mingkin juga merasa sudah ketinggalan
zaman atau sudah lupa akan ilmu yang
pernah dipelajari. Saya sedang berada di posisi itu. Tidak percaya diri dan
saya harus melawan. Saya tidak ingin seperti itu. Harus bangkit dan
memutuskan untuk berkarir sebagai chemist
profesional. Saya mau jadi karyawan tapi karyawan dengan jabatan yang
tinggi.
Dengan bekal ijazah sarjana
MIPA ITS, saya diterima bekerja di PT.
Tambak Agung Abadi, Mojokerto. Perusahaan
tersebut mengolah singkong menjadi gula
cair. Gula yang dihasilkan itu memiliki keunggulan, antara lain, sehat karena
bebas gluten, low karbohidrat, rendah kalori sehingga aman digunakan penderita
diabetes dan orang yang menjalani
program diet.
Di pabrik tersebut saya ditempatkan
di bagian Quality Control (QC).
Selain itu, saya juga merangkap jadi
staf di bidang Research & Development (R&D). Jabatan
kedua itu berkat bimbingan dari Susana, manager R&D waktu itu. Saya harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan kerja yang baru. Sebab, saya kerja shift malam. Mulai jam 11
malam sampai jam 8 pagi. Sementara siang istriahat dan
bengong di kamar asrama yang ada di
lingkungan pabrik.
Pegawai dengan dua jabatan tersebut
terkesan keren. Apalagi jika dicetak di kartu nama. Wow,
orang pasti akan berpikir bahwa kesejahteraan sudah terjamin. Kenyataannya?
Masih jauh dari harapan. Tidak cukup
untuk biaya hidup dan bayar hutang dari kegagalan usaha pembuatan stemvet dan oli bekas dulu.
Karena itu, saya berusaha mencari
penghasilan tambahan. Keahlian saya dibidang musik bisa saya manfaatkan. Siang
saya gunakan untuk istirahat, sore saya manfaatkan untuk mengajar di sekolah
musik Cressendo milik Ibu Titus di Jalan Airlangga, di depan pabrik kertas,
Mojosari.
Di luar kegiatan mengajar di sekolah
musik, saya juga menerima les privat di Mojokerto, Mujoagung dan juga di Surabaya.
Tidak ada waktu luang yang terbuang. Saya manfaatkan sebaik mungkin untuk
melakukan kegiatan yang bisa mendatangkan uang.
Senin sampai Jumat, saya mengajar di
sekolah musik dan les privat di Mojosari, Mojokerto dan Mojoagung. Untuk
mendatangi lokasi mengajar, saya harus berdesak-desakan naik angkutan umum. Hari Sabtu dan Minggu, saya gunakan untuk mengajar murid-murid saya yang ada di Surabaya.
Penghasilan saya dari mengajar electone
lebih besar dari gaji saya di pabrik. Sebagai karyawan dengan dua jabatan keren
itu. Saya digaji Rp 550 ribu per bulan. Sementara penghasilan saya sebagai guru
les electone sebulan lebih dari Rp 1 juta. Walau begitu, saya harus mengakui
bahwa ilmu dan pengalaman yang saya dapat dari perusahaan tersebut, tak ternilai harganya.
Di
PT. Tambak Agung Abadi tersebut saya hanya bertahan 2 tahun. Dari tahun
1991 sampai 1993. Saya rasa penghasilan dan karir saya di sana sudah mentok.
Banyak hasil penelitian saya dan Susana tidak pernah dipakai. Mungkin
terkendala masalah dana sehingga pabrik tidak mengalami kemajuan. Karena itu,
saya harus mencari peluang baru di tempat lain.
***