Dua tahun hidup berhimpit di rumah sempit. Tahun ketiga, kami pindah ke rumah yang ukurannya lumayan besar. Sebuah rumah baru yang dibangun di atas tanah kosong. Ada beberapa kamar tidur. Ruangan depan dipakai untuk toko. Cukup luas sehingga barang dagangan makin lengkap. Letak rumah tersebut masih satu deret dengan rumah kontrakan nomor 169 A – 169 B – 169 C – 169 D dan 169 E. Oleh Mama, rumah baru itu ditempeli nomo 169 X.
Di rumah baru itu, usaha kami berkembang
pesat. Jahitan sangat laris. Waktu itu, orang masih senang menjahit baju. Beda
dengan sekarang, orang lebih suka beli baju yang sudah jadi di toko-toko.
Tinggal pakai dan banyak pilihan. Dulu, orang membeli kain lalu dijahit sesuai
selera. Apalagi kalau bulan puasa, semua orang menjahit baju untuk dipakai saat
lebaran.
Omset naik, penghasilan bertambah.
Saya masih ingat betul, ada beberapa keluarga yang menjahit baju seragam.
Kainnya sama, warnanya juga sama dan motif kembangnya tentu juga sama. Ibu, bapak dan anak-anaknya menjahit baju
seragam untuk lebaran. Mereka terlihat sangat bahagia ketika mencoba baju
barunya.
Sayangnya, keadaan ini tidak
berlangsung lama. Ketika usaha kami berjalan lancar, pemilik rumah mulai
berulah. Pertama, uang kontrak dinaikkan. Papa sempat protes. Tapi pemilik
rumah bilang: “Kalau keberatan cari kontrakan lain saja. Banyak peminat yang
mau bayar lebih tinggi.” Papa dan Mama
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti maunya si pemilik rumah.
Tidak berselang lama setelah kami
melunasi pembayaran kontrak, saya tidak ingat bulan dan tahun berapa, si pemilik rumah datang menemui
Papa dan Mama. Sikapnya tidak bersahabat. Dipersilahkan duduk tapi dia tidak
mau. Ditawari minum juga tidak mau. Kami
was was. Ada apa ini?
Tadinya kami mengira dia datang
untuk menaikkan lagi harga kontrak rumah. Padahal, kenaikan yang sebelumnya
sangat tinggi dan sudah kami lunasi. Masa kontrak masih berjalan beberapa
tahun. Kalau mau dinaikkan lagi dan harus bayar saat itu juga, tentu saja Papa
dan Mama tidak sanggup.
“Kalian secepatnya pindah dari rumah
ini karena mau ditempati oleh keluarga saya,” kata si pemilik rumah. Saya
melihat Papa dan Mama kaget.
“Maaf Pak, saya kan sudah membayar
uang kontrak. Kok sekarang tiba-tiba kami disuruh pindah?”
“Saya sudah bilang, rumah ini mau
ditempati oleh keluarga saya. Ini saya kembalikan uang kontraknya,” jawabnya
tanpa memperdulikan bagaimana ekspresi Papa dan Mama saya saat itu.
Papa sudah memohon berkali-kali agar
sisa kontrak yang masih berjalan itu bisa diteruskan. Sebab, mencari kontrakan
baru apalagi untuk buka usaha tentu sangat sulit. Tapi tidak ada belas kasihan
dari pemilik rumah. Ibatar titah sang raja, tidak boleh dibantah. Diperintahkan
pindah, ya harus pindah.
Sebagai pendatang, apalagi dari
kalangan minoritas, tentu sangat sulit membela diri. Apalagi ketika akad
kontrak dilakukan, tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Semua berjalan
atas dasar saling percaya. Papa tidak pernah berperasangka jelek pada orang
lain. Tidak terpikirkan jika akan diperlakukan seperti itu.
Keputusan sepihak dari pemilik rumah
kontrakan itu sangat menyakitkan. Usaha kami yang mulai berkembang dipaksa harus hengkang. Perlakuan mereka sangat tidak
adil. Tapi mau bagaimana lagi? Akhirnya, kami pindah ke rumah kontrakan baru di
Kampung Malang, tidak jauh dari Jalan Pandegiling.
Selang beberapa hari setelah kami
pindah, baru tahu alasan kenapa kami
diusir dari kontrakan. Ternyata si pemilik rumah membuka usaha yang sama persis
dengan toko yang kami rintis dulu. Sudah
terpasang nama toko. Saya lupa nama tokonya, yang saya ingat, ada kata “Modes” juga di depannya.
Ya sudahlah. Usaha memang bisa
ditiru. Bisnis juga bisa sama. Pesaing pun ada di mana-mana. Tetapi percayalah
bahwa, rejeki itu tidak seperti sandal japit yang bisa tertukar.
***