Tuesday, November 27, 2018

DIUSIR DARI RUMAH KONTRAKAN

Dua tahun hidup berhimpit di rumah sempit. Tahun ketiga, kami pindah ke rumah yang ukurannya lumayan besar. Sebuah rumah baru  yang dibangun di atas tanah kosong. Ada beberapa kamar tidur. Ruangan depan dipakai  untuk toko. Cukup luas   sehingga barang dagangan makin lengkap. Letak rumah tersebut masih satu deret dengan rumah kontrakan nomor 169 A – 169 B –  169 C – 169 D dan  169 E. Oleh Mama, rumah baru itu ditempeli nomo 169 X.

Di rumah baru itu, usaha kami berkembang pesat. Jahitan sangat laris. Waktu itu, orang masih senang menjahit baju. Beda dengan sekarang, orang lebih suka beli baju yang sudah jadi di toko-toko. Tinggal pakai dan banyak pilihan. Dulu, orang membeli kain lalu dijahit sesuai selera. Apalagi kalau bulan puasa, semua orang menjahit baju untuk dipakai saat lebaran.
Omset naik, penghasilan bertambah. Saya masih ingat betul, ada beberapa keluarga yang menjahit baju seragam. Kainnya sama, warnanya juga sama dan motif kembangnya tentu juga sama.  Ibu, bapak dan anak-anaknya menjahit baju seragam untuk lebaran. Mereka terlihat sangat bahagia ketika mencoba baju barunya.
Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama. Ketika usaha kami berjalan lancar, pemilik rumah mulai berulah. Pertama, uang kontrak dinaikkan. Papa sempat protes. Tapi pemilik rumah bilang: “Kalau keberatan cari kontrakan lain saja. Banyak peminat yang mau bayar  lebih tinggi.” Papa dan Mama tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti maunya si pemilik rumah. 
Tidak berselang lama setelah kami melunasi pembayaran kontrak, saya tidak ingat bulan dan  tahun berapa, si pemilik rumah datang menemui Papa dan Mama. Sikapnya tidak bersahabat. Dipersilahkan duduk tapi dia tidak mau. Ditawari minum juga tidak mau.  Kami was was. Ada apa ini?
Tadinya kami mengira dia datang untuk menaikkan lagi harga kontrak rumah. Padahal, kenaikan yang sebelumnya sangat tinggi dan sudah kami lunasi. Masa kontrak masih berjalan beberapa tahun. Kalau mau dinaikkan lagi dan harus bayar saat itu juga, tentu saja Papa dan Mama tidak sanggup.
“Kalian secepatnya pindah dari rumah ini karena mau ditempati oleh keluarga saya,” kata si pemilik rumah. Saya melihat Papa dan Mama kaget.
“Maaf Pak, saya kan sudah membayar uang kontrak. Kok sekarang tiba-tiba kami disuruh pindah?”
“Saya sudah bilang, rumah ini mau ditempati oleh keluarga saya. Ini saya kembalikan uang kontraknya,” jawabnya tanpa memperdulikan bagaimana ekspresi Papa dan Mama saya saat itu.
Papa sudah memohon berkali-kali agar sisa kontrak yang masih berjalan itu bisa diteruskan. Sebab, mencari kontrakan baru apalagi untuk buka usaha tentu sangat sulit. Tapi tidak ada belas kasihan dari pemilik rumah. Ibatar titah sang raja, tidak boleh dibantah. Diperintahkan pindah, ya harus pindah. 
Sebagai pendatang, apalagi dari kalangan minoritas, tentu sangat sulit membela diri. Apalagi ketika akad kontrak dilakukan, tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Semua berjalan atas dasar saling percaya. Papa tidak pernah berperasangka jelek pada orang lain. Tidak terpikirkan jika akan diperlakukan seperti itu.
Keputusan sepihak dari pemilik rumah kontrakan itu sangat menyakitkan. Usaha kami yang mulai berkembang dipaksa  harus hengkang. Perlakuan mereka sangat tidak adil. Tapi mau bagaimana lagi? Akhirnya, kami pindah ke rumah kontrakan baru di Kampung Malang, tidak jauh dari Jalan Pandegiling.
Selang beberapa hari setelah kami pindah, baru tahu alasan  kenapa kami diusir dari kontrakan. Ternyata si pemilik rumah membuka usaha yang sama persis dengan  toko yang kami rintis dulu. Sudah terpasang nama toko. Saya lupa nama tokonya, yang saya ingat, ada kata “Modes”  juga di depannya.
Ya sudahlah. Usaha memang bisa ditiru. Bisnis juga bisa sama. Pesaing pun ada di mana-mana. Tetapi percayalah bahwa, rejeki itu tidak seperti sandal japit yang bisa tertukar.
***




Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...