Puji Tuhan, saya dikaruniai otak
yang cerdas. Gampang menyerap pelajaran dan punya spirit belajar yang baik. Hal ini juga tidak lepas dari perhatian Mama
yang begitu istimewa pada anak-anaknya. Sangat memperhatikan masalah
pendidikan.
Sejak di Tulungagung. Ketika masih
duduk di bangku sekolah dasar, Mama tidak memanjakan anaknya dengan materi
walau saat itu keadaan ekonomi keluarga masih jaya. Mama sangat intens
memperhatikan perkembangan kecerdasan anaknya. Mama mendaftarkan saya les
pelajaran. Saya masih ingat, nama gurunya,
Cik Swan.
Dia guru les yang lembut dan
mengajar dengan perhatian dan kasih
sayang. Saya dan teman-teman makin pintar dan selalu jadi juara kelas. Teman
lain yang juga juara kelas waktu itu,
ada Fang Fang, anaknya dokter Tjo
Jan dan Go Cie Cien pintar dan berwajah
cantik.
Kalau berangkat les, naik becak bersama
teman-teman. Peserta lesnya banyak sehingga saya merasa kerasan karena banyak
teman. Selesai les, kadang kami tidak langsung pulang tapi bermain dulu di
halaman rumah Cik Swan yang luas.
Ketika di Surabaya, saat ekonomi
morat-marit, Mama tidak mampu membayar guru les. Sekolah saja terpaksa masuk ke
SD Chana yang kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Muridnya sedikit, gurunya
terbatas dan dua kelas dijadikan satu.
Ketika duduk di bangku SMP, barulah
Mama bisa memperhatikan soal pendidikan. Setidaknya, saya bisa les bahasa
Inggris. Bisa beli buku pelajaran yang saya butuhkan. Hanya itu yang mampu Mama lakukan. Saya tidak
tega untuk meminta lebih karena saya paham bagaimana sulitnya memulai hidup di
Surabaya.
Keadaan yang serba sulit itu, secara
tidak langsung telah menempa mental dan kepribadian saya menjadi anak yang tangguh. Kondisi yang
serba kekurangan ternyata membentuk jiwa saya menjadi anak yang survive menghadapi tantangan yang menghadang.
Ketika anak-anak seusia saya bisa
bebas bermain dan bermanja-manjaan pada orangtua, saya bergelut dengan
kesibukan membantu orangtua. Harus belanja barang untuk dagangan di toko. Berangkat ke pasar
membeli haban-bahan untuk membuatan kue. Mangantar kue ke warung-warung.
Pekerjaan itu tidak saya anggap
sebagai beban tetapi saya lakukan sebagai hobi. Keluyuran ke pasar atau kulakan
ke toko grosir yang jaraknya jauh dari rumah, saya lakukan seolah sedang
bermain. Bekerja sambil bermain.
Saya merasakan kesenangan tersendiri
ketika harus kulakan barang sampai ke Pasar Atom. Kadang ke Jalan Gembong,
Pasar Blauran dan yang paling dekat dengan rumah di Pasar Keputran.
Ketika sekolah di SMP Imka, saya
selalu juara kelas dan dapat beasiswa. Ketika lulus SMP, saya juga dapat beasiswa jika melanjutkan ke SMA
Imka. Senangnya bukan main. Berarti, beban orangtua makin ringan karena sekolah
tidak perlu bayar alias gratis. Nama saya secara otomatis terdaftar di SMA Imka.
Teman-teman SMP yang lain,
berbondong-bondong mendaftar di SMA St Louis 1 Surabaya yang dikenal
sebagai salah satu sekolah favorit di
Surabaya. Bagi teman-teman, sekolah di sana adalah kebanggaan. Saya tidak
terpengaruh. Saya tidak ikut-ikutan daftar. Mereka mengajak. Saya tolak dan saya bilang bahwa saya akan
meneruskan di SMA Imka saja. Mereka terus memaksa dan saya tetap bilang “tidak!”.
Tapi apa yang terjadi? Ternyata nama
saya sudah didaftarkan oleh teman-teman tanpa sepengetahuan saya. Soal itu,
baru saya tahu ketika pada hari diselenggarakan test masuk calon siswa baru
di SMA St. Louis Surabaya. Mereka datang
ke rumah dan mengajak saya untuk
mengikuti test.
Semula, saya pikir mereka itu guyon. Saya tidak menanggapi
serius. Tapi ketika mereka memaksa untuk ikut, saya bilang: “Saya kan tidak daftar, kenapa harus ikut
test?”
Salah seorang teman meyakinkan saya
dengan memperlihatkan kartu peserta test atas nama saya. Tidak ada alasan untuk
menolak. Tidak ada salahnya juga saya ikut test untuk menghormati jerih payah
teman-teman. Saya tahu, mereka sangat berharap
bisa berkumpul dan belajar di
sekolah yang sama.
Hari itu, saya berangkat tanpa
persiapan. Tidak pernah belajar untuk menghadapi test di sekolah yang sangat
prestisius itu. Sekolah favorit dan dikenal
selektif menerima siswa baru. Walau tanpa persiapan, saya berangkat
tanpa beban. Lulus, syukur. Gak lulus ya gak apa-apa.
Menurut saya, soal-soal test lumayan
sulit. Yang bisa saya kerjakan dengan baik adalah bahasa Inggris. Itu lantaran
saya lama ikut les bahasa Inggris di
tempat Mem di Petemon Kuburan. . Saya lulus test dan sekolah di SMA St. Louis
1. Sementara beasiswa si SMA Imka saya abaikan.
SMA St Louis 1, salah satu sekolah swasta Katolik terbaik
yang berprestasi dan populer di kota Surabaya. Tentu saja saya bangga bisa
menjadi salah satu siswanya. Gedung
sekolahnya terletak di Jalan Polisi Intimewa (dulu Jalan Dr. Soetomo), tercatat
sebagai salah satu cagar budaya. Persis bersebelahan dengan Gereja Katedral
Hati Kudus Yesus dan Soverdi.
Banyak kenangan yang melekat dalam
ingatan saya sampai saat ini. Salah satunya, di sekolah ini saya mendapat gelar
“profesor”. Entah siapa yang pertama memberi gelar dan memanggil saya dengan
sebutan profesor. Karena itu, selama sekolah di SMA Katolik St. Louis 1, nama
Juwono Saroso jarang terdengar. Mereka,
bahkan sebagian guru juga ikut memanggil saya Profesor. Sampai sekarang, teman
seangkatan masih memanggil dengan nama Prof.
Selentingan yang saya dengar, saya
dipanggil profesor karena saya pintar. Ah, saya tidak mau besar kepala atau
jadi bangga dikatakan pintar lalu dijuluki profesor.. Toh masih banyak siswa
yang lebih pintar dari saya. Kemudian saya menduga, julukan itu bermuara dari dua hal. Pertama,
saya salah seorang siswa yang lumayan
pintar. Kedua karena saya berkacamata tebal.
Pantaslah kalau dipanggil Prof. Ini
adalah fakta yang kini jadi nostalgia. Karena itu, apapun alasannya, atas panggilan dan gelar
tersebut, saya harus bilang “Kamsia…. Xie
xie.”
***