Tuesday, November 27, 2018

DARI KOO PING HOO SAMPAI NOVEL PORNO


Kalau ada yang bilang, dulu saya ini kutu buku. Rasanya kurang pas. Kalau gemar membaca? Mungkin iya. Saya suka membaca apa saja, asal  gratis. Kadang kalau ada  lembaran koran bekas atau sobekan  majalah yang tercecer, saya ambil lalu membacanya. Apa pun isinya, saya tidak perduli. Pokoknya baca saja. Titik.

Gemar membaca, tapi gratis itu  bisa didapatkan di dalam kampung Pandegiling Surabaya. Setiap hari saya bisa baca koran Jawa Pos tanpa harus berlangganan.  Waktu itu, koran Jawa Pos belum lama diambil alih  oleh managemen Majalah Tempo dan dipimpin oleh Dahlan Iskan. Sebagai koran baru, promosinya cukup gencar.  Kita bisa membaca koran gratis  di sebuah gang secara beramai-ramai.
Entah atas instruksi dari tim marketing atau inisiatif sendiri, ada loper koran Jawa Pos di Pandegiling yang berbaik hati. Namanya Hadi, masih  ada hubungan keluarga sama Pak Moel, pemilik rumah yang kami kontrak waktu itu. Setiap pagi, di salah satu gang,  Hadi  menempelkan koran edisi terbaru di tembok-tembok rumah.  Koran yang ditempel kemarin, diganti dengan koran terbitan baru. Begitu setiap hari.
Saya salah seorang yang tidak pernah absen membaca koran di situ. Kadang saya sudah ada di gang tersebut ketika Hadi menempelkan koran baru itu. Orang-orang yang lewat, selalu menyempatkan diri berhenti sebentar untuk membaca atau sekedar melihat foto yang dimuat. Apalagi kalau ada peristiwa kriminal, pertandingan sepak bola piala dunia  atau  ada berita menarik yang sedang jadi pembicaraan umum. Tembok rumah tempat koran itu ditempel,   menjadi jujukan banyak orang yang ingin mendapatkan informasi.
Waktu itu, koran yang paling top adalah Surabaya Post. Terbitnya pada  siang hari. Kalau ada kejadian tengah malam atau pagi hari, Jawa Pos tidak mungkin muat beritanya. Sebab sudah selesai deadline dan mulai proses cetak. Maka, untuk mendapatkan informasi, orang pasti membaca Surabaya Post.
Media harian yang akhirnya bangkrut itu, juga menyediakan koran  display untuk dibaca secara gratis. Adanya di depan kantor  redaksi, di sebuah gedung bertingkat dekat monument Bambu Runcing,  Jalan Panglima Sudirman. Di sana, koran dipajang di dalam  kotak kaca yang melingkar. Saya sering mampir ke sana.

Baca Gratis di Gramedia
Tempat baca gratis yang komplit adalah di toko buku Gramedia di Jalan Basuki Rahmat. Semua jenis bacaan ada di sana. Dari buku pelajaran, buku ilmu pengetahuan, komik sampai buku fiksi tersedia.  Bacanya kadang tidak tuntas karena keterbatasan waktu.  Harus segera pulang atau lantaran toko segera akan tutup.
Karena belum tuntas itu, saya sering melipat lembaran buku yang saya baca itu  sebagai tanda. Kalau besok atau lusa datang lagi ke Gramedia, saya bisa dengan mudah menemukan dari mana saya harus membacanya lagi. Tapi sering kali, ketika saya datang, ternyata buku yang saya kasi tanda lipatan itu sudah tidak ada di rak buku. Mungkin sudah terjual atau diplastiki lagi oleh pramuniaga Gramedia.
Bagi saya, ini masalah. Sebab, untuk menemukan batas halaman yang sudah saya baca, butuh waktu.  Padahal, saya tidak bisa seharian penuh berada di dalam toko hanya untuk membaca tanpa  membeli.  Saya pernah ditegur bagini:
“Nyo, ini toko buku. Jualan buku. Bukan perpustakaan. Kalau hanya mau baca buku, Nyo pergi ke perpustakaan saja.”
Karena pengalaman tadi,  saya menemukan jalan keluarnya. Sehabis membaca, tidak hanya melipat halaman buku,  tapi saya keluarkan  secarik kertas, kemudian saya catat halaman terakhir yang sudah saya baca. Kalau saya datang lagi dan tidak menemukan buku yang ada lipatannya, saya tidak bingung. Tinggal liat catatan di secarik kertas. Beres! He he he he orang pintar tidak akan kehabisan akal.
Mungkin ada yang tanya; “kok gratis terus?”. Sebenarnya tidak semua bacaan saya itu gratis. Ada juga yang saya dapat dengan menyewa. Pada era saya, banyak sekali tempat persewaan buku, komik, novel dan majalah. Harga sewanya terjangkau dan bisa dibaca beramai-ramai.  Saya suka menyewa serial petualangan Koo Ping Hoo, Lao Fu Ce (kartun China), buku novel. Bahkan saya juga membaca novel porno Nick Carter secara sembunyi-sembunyi.
Nick Carter pertama kali terbit di Amerika pada tahun 1964. Dan masuk di Indonesia diperkirakan tahun 1980-an. Isinya bercerita tentang petualangan seorang detektif alias agen rahasia asal Amerika yang dibumbuhi cerita vulgar.  Bagi remaja era 80-an novel Nick Carter jadi primadona bagi pembaca novel stensilan. Namun seiring perkembangan zaman, lambat laun tergantikan oleh VCD serta situs-situs pornografi di internet.
Maaf, saya tidak  merekomendasikan  siapa pun untuk membaca Nick Carter. Ini hanya testimoni jujur  generasi 80-an yang pernah mengenal (bukan penggemar lho yo)  bacaan novel stensilan.  Nah, kalau kebetulan Anda satu generasi dengan saya dan kebetulan juga  pernah membacanya, tidak usah ikut mengaku-ngaku. Cukup senyum-senyum  saja ya.
***



Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...