Kalau ada yang bilang, dulu saya ini kutu buku.
Rasanya kurang pas. Kalau gemar membaca? Mungkin iya. Saya suka membaca apa
saja, asal gratis. Kadang kalau ada lembaran koran bekas atau sobekan majalah yang tercecer, saya ambil lalu
membacanya. Apa pun isinya, saya tidak perduli. Pokoknya baca saja. Titik.
Gemar membaca, tapi gratis itu bisa didapatkan di dalam kampung Pandegiling
Surabaya. Setiap hari saya bisa baca koran Jawa Pos tanpa harus
berlangganan. Waktu itu, koran Jawa Pos
belum lama diambil alih oleh managemen
Majalah Tempo dan dipimpin oleh Dahlan Iskan. Sebagai koran baru, promosinya
cukup gencar. Kita bisa membaca koran
gratis di sebuah gang secara
beramai-ramai.
Entah atas instruksi dari tim
marketing atau inisiatif sendiri, ada loper koran Jawa Pos di Pandegiling yang
berbaik hati. Namanya Hadi, masih ada
hubungan keluarga sama Pak Moel, pemilik rumah yang kami kontrak waktu itu.
Setiap pagi, di salah satu gang,
Hadi menempelkan koran edisi
terbaru di tembok-tembok rumah. Koran
yang ditempel kemarin, diganti dengan koran terbitan baru. Begitu setiap hari.
Saya salah seorang yang tidak pernah
absen membaca koran di situ. Kadang saya sudah ada di gang tersebut ketika Hadi
menempelkan koran baru itu. Orang-orang yang lewat, selalu menyempatkan diri
berhenti sebentar untuk membaca atau sekedar melihat foto yang dimuat. Apalagi
kalau ada peristiwa kriminal, pertandingan sepak bola piala dunia atau
ada berita menarik yang sedang jadi pembicaraan umum. Tembok rumah tempat
koran itu ditempel, menjadi jujukan banyak orang yang ingin
mendapatkan informasi.
Waktu itu, koran yang paling top
adalah Surabaya Post. Terbitnya pada
siang hari. Kalau ada kejadian tengah malam atau pagi hari, Jawa Pos
tidak mungkin muat beritanya. Sebab sudah selesai deadline dan mulai proses cetak. Maka, untuk mendapatkan informasi,
orang pasti membaca Surabaya Post.
Media harian yang akhirnya bangkrut
itu, juga menyediakan koran display untuk dibaca secara gratis.
Adanya di depan kantor redaksi, di
sebuah gedung bertingkat dekat monument Bambu Runcing, Jalan Panglima Sudirman. Di sana, koran
dipajang di dalam kotak kaca yang
melingkar. Saya sering mampir ke sana.
Baca
Gratis di Gramedia
Tempat baca gratis yang komplit
adalah di toko buku Gramedia di Jalan Basuki Rahmat. Semua jenis bacaan ada di
sana. Dari buku pelajaran, buku ilmu pengetahuan, komik sampai buku fiksi
tersedia. Bacanya kadang tidak tuntas
karena keterbatasan waktu. Harus segera
pulang atau lantaran toko segera akan tutup.
Karena belum tuntas itu, saya sering
melipat lembaran buku yang saya baca itu
sebagai tanda. Kalau besok atau lusa datang lagi ke Gramedia, saya bisa
dengan mudah menemukan dari mana saya harus membacanya lagi. Tapi sering kali,
ketika saya datang, ternyata buku yang saya kasi tanda lipatan itu sudah tidak
ada di rak buku. Mungkin sudah terjual atau diplastiki lagi oleh pramuniaga
Gramedia.
Bagi saya, ini masalah. Sebab, untuk
menemukan batas halaman yang sudah saya baca, butuh waktu. Padahal, saya tidak bisa seharian penuh
berada di dalam toko hanya untuk membaca tanpa
membeli. Saya pernah ditegur
bagini:
“Nyo, ini toko buku. Jualan buku.
Bukan perpustakaan. Kalau hanya mau baca buku, Nyo pergi ke perpustakaan saja.”
Karena pengalaman tadi, saya menemukan jalan keluarnya. Sehabis
membaca, tidak hanya melipat halaman buku,
tapi saya keluarkan secarik
kertas, kemudian saya catat halaman terakhir yang sudah saya baca. Kalau saya
datang lagi dan tidak menemukan buku yang ada lipatannya, saya tidak bingung.
Tinggal liat catatan di secarik kertas. Beres! He he he he orang pintar tidak akan kehabisan akal.
Mungkin ada yang tanya; “kok gratis
terus?”. Sebenarnya tidak semua bacaan saya itu gratis. Ada juga yang saya
dapat dengan menyewa. Pada era saya, banyak sekali tempat persewaan buku,
komik, novel dan majalah. Harga sewanya terjangkau dan bisa dibaca
beramai-ramai. Saya suka menyewa serial
petualangan Koo Ping Hoo, Lao Fu Ce (kartun China), buku novel. Bahkan saya
juga membaca novel porno Nick Carter secara sembunyi-sembunyi.
Nick
Carter pertama kali terbit di Amerika pada tahun 1964. Dan masuk di Indonesia
diperkirakan tahun 1980-an. Isinya bercerita tentang petualangan seorang
detektif alias agen rahasia asal Amerika yang dibumbuhi cerita vulgar. Bagi remaja era 80-an novel Nick Carter jadi
primadona bagi pembaca novel stensilan. Namun seiring perkembangan zaman,
lambat laun tergantikan oleh VCD serta situs-situs pornografi di internet.
Maaf,
saya tidak merekomendasikan siapa pun untuk membaca Nick Carter. Ini
hanya testimoni jujur generasi 80-an
yang pernah mengenal (bukan penggemar lho yo)
bacaan novel stensilan. Nah,
kalau kebetulan Anda satu generasi dengan saya dan kebetulan juga pernah membacanya, tidak usah ikut mengaku-ngaku.
Cukup senyum-senyum saja ya.
***