SI CULUN,
JELEK DAN CUEK
Oleh: Betty Ernawati (Teman SMP)
Oleh: Betty Ernawati (Teman SMP)
Waktu SMP dulu, kita para cewek sukanya berteman
sama cowok berwajah ganteng. Cowok yang
berpenampilan keren dan gaul. Memang begitulah umumnya anak-anak SMP
yang akan memasuki usia remaja, mulai masuk masa pubertas, kalau seru-seruan pastilah pilih-pilih teman.
Ukurannya selalu berkaitan dengan fisik, bukan karena dia anak orang kaya atau
punya kedudukan soasial yang tinggi.
Kalau ngomong soal ganteng, keren dan gaul, Juwono
sama sekali tidak masuk hitungan. Tampangnya tidak meyakinkan. Badannya tinggi
tapi kurus banget. Pakai kaca mata tebal. Bingkainya juga tebal, mirip
kaca mata yang biasa dipakai oleh orang-orang tua. Dia terlihat culun.
Pokoknya, ini menurut saya lho ya, dia
itu jelek. He he he he jangan marah
lho Yu.
Aku yakin seyakin-yakinnya, Yu gak bakalan marah
kok. Sebab, di balik sosok dia yang aku bilang tadi, Yu adalah tipe cowok
yang super cuek. Gak peduli
sama situasi yang ada di sekitarnya. Dia datang ke sekolah dengan naik
sepeda mini, kalau gak salah warnanya
merah. Ada keranjang di bagian depannya. Persis sepeda yang biasa dipakai
ibu-ibu untuk belanja ke pasar.
Begitu masuk ke halaman sekolah, Yu kadang
membunyikan bel sepedanya, “kriiiing
kriiing kriiiing”. Langsung ke
tempat parkir lalu bergegas masuk ke ruang
kelas. Ketika jam pejalaran selesai, dia langsung kabur.
Entah kenapa, dia selalu terburu-buru untuk pulang. Beda banget dengan murid-murid yang
lain. Buyaran sekolah masih suka bergerombol dan bercanda dengan teman-teman.
Tapi, di balik kekurangan dia itu, ada satu hal yang
bikin kita iri. Dia adalah murid paling cerdas dalam berbagai mata pelajaran.
Nilai ulangannya selalu tertinggi. Matematika
bisa dapat nilai 9 bahkan sering dapat nilai 10. Kita tidak bisa
mengalahkan dia. Jangankan meraih nilai
sempurna, untuk dapat angka 8 saja
susahnya setengah mati.
Penampilan secara fisik memang
tidak meyakinkan. Tetapi kemampuan dia dalam menguasai mata pelajaran
itulah satu-satunya daya tarik Yu yang tidak bisa dilawan. Kelebihan itu pula
yang membuat beberapa teman berusaha mendekati dia. Mungkin mereka berharap bisa nyontek
pada saat ulangan, atau minta tolong mengerjakan soal PR (pekerjaan
rumah).
Yu yang dulu dengan Yu yang sekarang sudah jauh berbeda. Gak jelek, gak culun, gak
kerempeng. Keren dan sukses
mengembangkan kerajaan kuliner serta
sekolah parawisata. Ikut senang deh dan “god bless you”.
***
“DULU IMUT-IMUT,
SEKARANG AMIT-AMIT”
Oleh: Yahya Sunoto (Teman SMP)
Oleh: Yahya Sunoto (Teman SMP)
Lama tidak pernah ketemu, saya hampir lupa bahwa dia
itu adalah Juwono, teman sekolahku di
SMP Imka Surabaya dulu. Saat itu, saya agak lupa tahun berapa, saya ngantar
keluarga mengikuti acara demo kuliner di
Tunjungan Plasa (TP) Surabaya.
Di antara keramaian di hall tempat acara berlangsung, saya melihat sosok
yang familier. Seorang pria berkaca mata, bertubuh jangkung. Dalam hati, kayak
teman saya Juwono. Tapi saya ragu sebab penampilannya sudah beda. Badannya
berisi dan lebih necis. Saya membuang rasa penasaran dengan berpikir, mungkin
mirip. Dia bukan Juwono.
Ketika acara dimulai dan MC tampil di atas panggung,
dia menyebut nama Juwono sebagai penyelenggara acara tersebut. Rasa penasaran
kembali muncul. Ini, pasti Juwono teman sekolahku dulu. Lalu saya memberanikan
diri untuk mendekati.
“Kamu Juwono ya?”
“Iya, kamu siapa?”
“Masak gak ingat. Saya Yahya, teman SMP dulu.”
Dia memperhatikan saya dari atas sampai bawah.
Kemudian dia tertawa sambil berkata: “O alaaaa, kamu Yahya tooo. Dulu
imut-imut, sekarang amit-amit,” kata Juwono dengan ekspresi senang. Saya juga merasa
sangat senang. Bertemu sahabat lama secara
tidak terduga, pastilah berkesan. Dan kami berjabat tangan lalu tertawa
bersama.
Memang, secara fisik kami berubah. Tubuh saya melar
dan perut buncit. Jauh berbeda dibanding saat masih remaja dulu. Pantas kalau
dia bilang “dulu imut-imut, sekarang amit-amit”. Sementara dia, “dulu
awut-awutan, sekarang kenyes-kenyes”. Tubuhnya tambah berisi dan penampilannya
rapi. Tapi gaya dia bicara yang kalem, hangat
dan bersahabat itu tidak berubah.
Setamat SMP Imka, kami berpisah. Dia melanjutkan ke
SMK St. Louis I Surabaya, sementara saya meneruskan ke STM. Sesekali masih
kontak-kotakan. Misalnya ketika saya kesulitan mengerjakan soal matematika,
saya minta tolong dia. Lama-lama tidak pernah kontak lagi hingga saya tamat
STM dan kuliah jurusan tehnik mesin di ITATS. Hanya sampai semester 2, saya
berhenti kuliah.
Juwono sudah hilang dari ingatan saya sampai kami
tidak sengaja bertemu di Tunjungan
Plasa itu. Pertemuan dengan sahabat lama membawa berkah. Saya yang berkutat
dengan permesinan menawarkam diri untuk membuatkan mesin yang berkaitan dengan
bisnis kuliner yang dia ditekuni.
Order pertama yang dipesan adalah mesih penapis
minyak. Kalau tidak salah, pesanannya sampai 10 unit. Sudah empat jenis mesin
pesanan Juwono yang saya garap. Masing-masing mesin tiris minyak, suwer abon,
oven asap dan mesin filling pasta. Jumlah unit yang dipesan tergantung
kebutuhan.
Saya yakin, kiprah Juwono akan terus
berkembang. Sebab saya tahu, sejak SMP
dia adalah orang yang tekun dan serius ketika mengerjakan sesuatu.
Apapun rintangannya dia tidak akan mudah menyerah.
Selamat buat sahabatku dan teruslah berkarya.
***
DIA PERNAH CURI BUNGA DI SEKOLAH
Oleh: Lie Hong (Teman di SMP IMKA)
Oleh: Lie Hong (Teman di SMP IMKA)
Di sekolah, sebelum jam pelajaran
dimulai, Juwono mendekati saya sambil tersenyum. Sebelah tangannya, dilipat ke
belakang. Seperti ada yang disembunyikan. Ketika sesuatu yang disembunyikan itu
diberikan, spontan saya menjerit-jerit ketakutan. Badan saya gemetar dan
berkeringat dingin. Yang disembunytikan tadi ternyata ulat bulu. Dia memberikan pada saya. Minta
ampun, saya takut sekali.
Juwono tahu bahwa saya fobia berat
sama binatang melata itu. Jangankan tampak
di depan mata, melihat gambar
atau sesuatu yang mirip ulat bulu saja, badan gemetaran. Ada rasa takut, jijik dan geli bercampur aduk menjadi satu.
Melihat reaksi saya yang ketakutan, bukannya merasa bersalah lalu minta maaf.
Justru tertawa girang. Teman-teman lain juga ikut tertawa. Ketakutanku ternyata
dijadikan hiburan. Sebel.
Itu salah satu pengalaman konyol yang
sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Padahal, kejadian itu sudah 36 tahun
berlalu. Tepatnya tahun 1982 ketika sama-sama duduk di kelas 3-B Siang, SMP
Kristen IMKA Surabaya. Mungkin banyak
teman sekolah yang menilai dia itu murid
pendiam, saya justru sebaliknya. Dia itu periang dan agak usil.
Selain satu kelas, tempat duduk kami berdekatan. Dia
di bangku depan. Saya di belakangnya. Sehari-hari saya dan beberapa teman, yang
masih saya ingat ada Tjiu Fong, Go Yen Fei,
Tien Tien dan lain-lain. Istilah anak sekarang, “satu geng”. Kami juga selalu bersama mengerjakan tugas kelompok.
Juwono memang paling aktif dan bisa menjadi penyemangat buat teman-teman.
Suatu hari, di sekolah ada perlombaan merangkai
bunga. Istilah kerennya “Kontes Ikebana” yaitu merangkai bunga
ala Jepang. Langkah awalnya, tentu saja
harus mencari bunga yang akan dirangkai. Kami melakukan diskuci kecil-kecilan.
Pertanyaannya pertama, mau cari bunga di mana?
Tidak satu pun di antara kami yang punya tanaman bunga di rumah. Minta di tetangga? Juga tidak ada yang
mengaku bertetangga dengan orang yang
punya tanaman bunga. Lalu? Yang paling masuk akal, harus beli di penjual bunga.
Berarti harus urunan duit.
Belum sempat muncul kesepakatan untuk urunan duit,
tiba-tiba muncul ide. Saya lupa siapa yang memberi ide. Mungkin saja ide itu dari Juwono karena dia yang paling aktif berdiskusi.
Idenya? “Kita petik saja bunga-bunga
yang ada di halaman sekolah.”
Ide blirian. Semua sepakat dan langsung
dieksekusi. Kami mengawasi sekeliling
untuk memastikan apakah situasi aman. Terus saya bilang sama Juwono. “Wes Yu,
kamu aja yang ambil bunga-bunga itu,” kata saya. Dia tidak menolak. Dia
langsung mengambil bunga yang ada di halaman sekolah, sementara kami hanya
mengawasi dari jarak jauh sambil menjaga sepeda mini kesayangannya itu.
Eh alaaa, ternyata
aksi Juwono yang sedang memetik bunga itu ketahuan sama petugas
kebersihan sekolah. Juwono tertangkap
basah. Gak bisa mengelak. Dia jadi
“tersangka mencuri bunga”. Pak penjaga sekolah itu tidak marah-marah
atau berteriak-teriak dengan muka serem. Juga tidak melapor kenakalan kami kepada Kepala Sekolah.
Dia hanya bilang begini:
“Eeeh..eh..
jangaaaan. Tidak boleh,” tegurnya.
Walau begitu, Juwono terlihat kaget. Dia balik badan lalu lari sambil membawa
bunga hasil curiannya. Sementara kami tertawa melihat ekspresi wajahnya yang
ketakutan. He he he he kasihan juga
dia.
Mau tahu hasil lombanya? Rangkaian bunga hasil curian
karya kami itu tidak dapat nomor. Gak juara. Kalah dengan rangkaian bunga
teman-teman lain yang bunganya lebih indah dan beraneka macam. Sementara karya
kami, hanya satu macam dan itu pun bunga hasil curian.
Di mata saya, Juwono itu teman yang baik, setia pada
kawan dan menyenangkan. Dia salah satu
murid yang berprestasi dan pandai dalam
semua mata pelajaran. Selalu jadi juara. Karena berprestasi itulah, dia
mendapat bea siswa di SMP IKMA. Bahkan, saya dengar, dia juga ditawari bea
siswa jika melanjutkan ke SMA IMKA.
Suatu hari, sehabis olah raga, saya merasa sangat
haus. Kebetulan ada penjual es degan di sekolah. Di sana saya minum dua gelas.
Tiba-tiba Juwono yang juga ikut minum es di sana, tanya pada penjual es.
“Berapa Pak, sekalian sama esnya Lie Hong,” katanya sambil merogoh
kantong. Saya heran. Tidak biasanya Juwono
mau nraktir teman. Dia itu terkesan pelit, atau mungkin karena
keadaan. Belum dijawab oleh penjual es
degan, Juwono menyodorkan uang.
“Nyo
kurang Nyo. Tadi Noninya minum dua gelas.”
Yuwono melongo sambil geleng-geleng kepala. Dikira saya hanya minum satu
gelas es degan. Ternyata dua gelas. Kasihan deh
lu he he he he.
Lulus dari SMP IMKA, kami pisah. Dia melanjutkan di
SMK St. Louis I Surabaya, sementara saya meneruskan di SMA IMKA. Kami putus
komunikasi. Sampai kami sama-sama lulus SMA, dia melanjutkan ke
perguruan tinggi sementara saya bikin
usaha roti.
Nah, suatu hari,
gereja tempat saya beribadah membutuhkan pemain organ. Saya dengar dari
beberapa teman bahwa Juwono jadi guru
privat organ. Saya cari dia untuk minta tolong mengisi kekosongan pemain musik
di gereja.
Ketika ketemu, dia tanya, “Kamu kerja apa sekang.”
Saya jawab, “Bikin roti.”
Juwono minta agar adiknya yang masih SMA ikut kerja
di tempat saya. Tentu saja saya terima karena kerja di tempat saya tida full
time. Saya hanya butuh tenaga untuk mengantar roti ke pelanggan dan counter
penjualan. Mengantar sekaligus menagih. Selain adiknya Juwono, ada beberapa
teman yang juga memasukkan adiknya yang masih sekolah untuk kerja di tempat
saya. Kerja sambil sekolah. Lumayan dapat tambahan uang jajan.
Sejak saat itu, komunikasi dengan Juwono nyambung
lagi. Sebagai pengusaha roti, saya butuh bahan baku berupa susu full cream.
Kebetulan, Juwono bekerja di perusahaan yang menyediakan bahan tersebut.
Jadinya kami masih sering kontak lewat telepon karena urusan beli susu itu.
Waktu terus berjalan hingga suatu saat, ada acara
reuni SMP IMKA. Saya hadir dan ketemu langsung sama Juwono. Saat itu dia sudah
punya usaha sendiri. Dia
menyelenggarakan kursus kilat keterampilan berbagai bidang. Ada kursus kuliner
ada juga kursus pembuatan sabun, shampoo, pengharum cucian dan lain-lain.
Juwono sempat menawari saya kesempatan untuk menjadi
salah seorang pengajar. Tapi tawaran itu terpaksa saya tolak. Sebab saya sibuk menjalankan usaha dan juga karena waktu itu anak saya masih
kecil-kecil. Butuh perhatian dan belum bisa ditinggal.
Ternyata usaha Juwono melaju pesat. Dari kursus
insidentil berskala kecil dengan peserta para ibu-ibu dan kelompok PKK,
bergerak menjadi lembaga pendidikan formil berskala nasional. Saya ikut bangga ketika menghadiri undangan
peresmian Tristar Culinery Institute
miliknya. Bahkan sekarang memiliki cabang di berbagai kota.
Keberhasilan Juwono tentu saja tidak lepas dari
kemampuannya membaca peluang pasar. Dia cerdas,
kreatif, tekun dan pantang
menyerah. Sebagai teman sejak remaja, saya merasa bangga.
Selamat ya Yu. Sukses sukses dan sukses.
***