KUE ULTAH SUSUN LIMA DI PESTA SWEET SEVENTEEN
Dr. Conny Dharmasaputra
(Dokter di Klinik DNY Gedangan, Sidoarjo)
Dr. Conny Dharmasaputra
(Dokter di Klinik DNY Gedangan, Sidoarjo)
Ketika
SMA, dia teman satu kelas. Saya kenal
baik dan sangat akrab. Dia juga akrab
dengan keluarga saya. Terutama sama Mama. Saat itu, Juwono masih susah. Kondisi ekonomi keluarganya belum membaik. Tapi dia pemuda yang percaya diri.
Juwono, yang
biasa kami panggil Prof (maksudnya profesor), sering ke
rumah. Selain karena bersahabat
dengan saya, dia juga jadi guru private electone Enie, adik perempuan saya. Jadi, saya banyak tahu sosok masa lalu dia.
Jujur nih, waktu itu dia gak ada cakep-cakepnya he he he he. Badannya kurus kayak kurang
gizi, Jangkung dan berkaca mata tebal.
Bajunya kucel terkesan lapuk dan jarang disetrika. Rambutnya
acak-acakan,
Melihat
rambutnya yang kurang rapi, saya tawari
dia untuk merapikan. Dia mau bahkan senang sekali. Padahal, hasil guntingan saya itu tidak
sempurna. Tidak rapi heheheh. Sejak itu, dia jadi langganan potong sama
saya. Semacam simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan.
Dia bisa potong rambut gratis sementara
saya bisa menyalurkan bakat alam bidang tata rambut.
Kondisi
ekonomi Prof yang masih prihatin itu
membuat Mami merasa kasihan. Kalau datang ke rumah, selalu ditawarin makan.
Maklum, Mami saya punya hobi memasak. Dia itu, kalau makan, wuih lahap
sekali. Apalagi kalau Mami memasak sop merah.
Menjelang
usia sweet
seventeen, Prof bilang pada saya tentang keinginan merayakan ulang tahunnya. “Selama ini aku gak pernah merayakan ulang
tahun. Pas usia 17 tahun ini, pengen
sekali dirayain.”
Waduh!
Saya sih sempat heran sekaligus
sedih ketika dia bilang begitu. Hidup
dalam keadaan susah, masih punya keinginan merayakan ulang tahun. Terus dia
bilang begini: “Apa boleh saya numpang merayakan ulang tahun di rumahmu? Saya ingin mengundang
beberapa teman-teman SMA”.
“Tapi
uangku cuma ada segini,” lanjut dia sambil memperlihatkan uangnya. Nominalnya jauh dari cukup. Untuk perayaan
ulang tahun sangat sederhana saja tidak cukup.
Keinginan Prof itu saya sampaikan ke Mami. Ternyata Mami menyanggupi dan mau memasak
menu untuk tamu undangan. Prof
juga request sop merah kesukaannya.
“Gak
apa-apa. Dirayakan saja di sini. Nanti kekurangan uangnya Mami yang tambahin,”
kata Mami. Saya sampaikan ke Prof. Dia
senangnya tidak kepalang. Tapi
satu hal yang jadi masalah. Dana untuk beli kue tart tidak ada. Mami memberi
jalan keluar.
“Kita
pinjam saja kue tart palsu dari tempat kursus memasak SWAN,” kata Mami.
Kebetulan mami kenal baik sama pemilik tempat kursus tersebut. Jadilah, ulang
tahun sweet seventeen Prof dengan kue tart palsu alias dummy birthday cake yang
sangat besar. Susun lima. Terkesan
begitu istimewa. Pada hari perayaan
itu, Mamanya Prof juga ikut hadir.
Lagu
Happy Birthday dinyanyikan bersama. Kemudian prosesi tiup
lilin dilakukan. Habis itu, para
undangan langsung dipersilahkan untuk mencicipi hidangan. Mestinya, ada acara
potong kue lalu dibagikan. Tapi itu tidak dilakukan.
Beberapa
teman SMA yang diundang berbisik pada saya. Mereka ingin mencicipi kue ulang tahun. “Kuenya kok
gak dipotong dan dibagikan?” Saya jawab
dengan berbisik juga, “Kuenya
palsu”. Teman-teman tertawa geli.
Mereka baru sadah kalau kue tart istimewa itu ternyata palsu.
Setelah
dia sukses, biar ingat masa susahnya dulu,
saya sering bilang ke dia: “Dulu kamu waktu Ultah gak bisa beli kue
tart. Sekarang di Tristar kue tart model apa saja ada.”
Naksir Adik Saya
Kedekatan
saya dengan Prof sering dianggap pacaran sama teman-teman. Padahal, dia tidak
pernah bilang naksir sama saya. Dia malah segan karena saya selalu bersikap
tegas dan rada galak sama dia.
Kadang
kalau pulang sekolah, saya tidak dijemput orangtua. Kemudian saya minta Prof
mengantar saya pulang dengan sepeda motor bututnya. Prof kelihatan senang bisa
gonceng cewek. Sebab, seingat saya, dia tidak punya pacar. Tidak pernah gonceng
cewek. Makanya dia terlihat bangga dan ketika saya naik di belakang motornya,
dia bilang begini di depan teman-teman:
“Ayo pegangan pinggangku.” Langsung saya jendul kepalanya sambil bilang, “Kamu jangan suka
ngerusak pasaranku ya.” Saya perlakukan kasar
seperti itu, dia tidak marah, juga tidak tersinggung. Saya harus akui
bahwa Prof itu tahan banting, tahan isin (malu) dan kelewat percaya diri.
Prof
diam-diam naksir adik saya. Adik saya yang bernama Enie lebih putih, lebih
kalem dan lebih gaya dibanding saya. Tapi adik saya itu sudah punya pacar. Ketika Prof nembak dengan bilang cinta, bilang senang, bilang senang, adik saya diam
saja. Tidak menjawab karena merasa tidak enak kalau ditolak.
Nekatnya
kebangetan. Masak dia bilang begini: “Aku tunggu Enie sampai putus sama
pacarnya.” Bukan aja bilang ke adik
saya. Prof juga berani bilang sama Mami kalau dia akan menunggu sampai putus
sama pacarnya. Ternyata adik saya tidak pernah putus sama pacarnya dan sampai
sekarang sudah jadi suaminya. Prof gigit
jari deh he he he he.
Setelah
sama-sama lulus SMA, kami pisah. Saya kuliah di Jakarta sementara Prof kuliah
di Surabaya. Tidak pernah saling
kontak. Kami ketemu lagi ketika dia sudah sukses. Prof
sudah cakepan ha ha ha ha.
Ketemunya
di Plasa Marina. Waktu itu, dia sama istri dan anaknya, sementara saya sama
orangtua. Saya kaget lihat dia yang
berubah. Badannya berisi dan tegap. Jauh beda dengan ktika SMA, badannya kurus.
Saya senang melihat Prof sukses. Perjuangannya tentu saja penuh
tantangan. Sebagai teman, saya ingin
sampaikan pesan: “Tetaplah takut dan andalkan Tuhan dalam kehidupanmu. Jangan lupa
menabur, karena apa yang kamu punya saat
ini, semua dari DIA.”
***
MURID BERSEPEDA
"ONTEL"
Oleh: dr. Liantiana. (Tjong Lie-Lie).
**Dokter Umum di Puskesmas Keputih di perbantukan di Liponsos Keputih
Oleh: dr. Liantiana. (Tjong Lie-Lie).
**Dokter Umum di Puskesmas Keputih di perbantukan di Liponsos Keputih
Pelajar bertubuh kurus, jangkung dan berkaca mata
minus juga silinder itu, selalu
kelihatan tergesa-gesa memasuki
halaman SMPkr IMKA I - II di Jalan Kombes Pol. M. Duryat 9 Surabaya. Datang
dengan mengayuh sepeda ontel, tanpa
menoleh ke kanan atau ke kiri. Langsung masuk lalu menghilang di balik pintu
gerbang sekolah.
Saya tidak tahu siapa dia. Juga tidak terlintas perasaan ingin tahu namanya atau murid kelas
berapa. Tapi saya bisa pastikan bahwa
dia itu salah satu murid di SMPkr IMKA II yang masuk siang. Sebab, saya selalu melihat dia datang
ketika saya pulang sekolah.
Kebiasaan saya setiap pulang sekolah, selalu berdiri di depan pintu gerbang menunggu Papa
datang menjemput. Saat itu, para murid yang masuk siang mulai berdatangan.
Semua tidak ada yang menarik perhatian. Biasa-biasa saja. Tapi beda dengan
sosok kurus bertubuh jangkung itu. Ada yang aneh, misterius sekaligus
saya anggap unik.
Seingat saya, ketika masih duduk di kelas 7 dan
kelas 8, tidak pernah melihatnya. Dia
sering terlihat ketika saya naik di kelas 9,
sampai lulus. Kemudian saya melanjutkan ke SMAK St. Louis I Surabaya.
Ternyata ... , dia juga masuk ke sekolah yang sama dan sekelas di IPA 11 ...
dan saat itulah saya baru tahu bahwa dia bernama Juwono Saroso.
Sewaktu di SMAK St. Louis I , dia tidak lagi
mengayuh sepeda. Sudah meningkat naik
motor bebek Suzuki Family keluaran pertama tahun 1973. Bisa dibilang
motor itu adalah nenek moyangnya motor bebek buatan Jepang. Mungkin karena
knalpotnya tidak beres, suara motornya
bikin bising saja. Penampilan dia masih sama nyentriknya dengan sosok
ketika dia naik sepeda ontel. Tetap kurus, jangkung dan berkaca mata minus dan
silinder model kuno dengan bingkai dari plastik tebal berwarna hitam. Tapi, kesan nyentrik perlahan berubah jadi
pribadi yang menarik.
Apanya yang
menarik? Ternyata dia sangat supel. Mudah menyesuaikan diri dan berteman dengan
semua murid di kelas. Ternyata ... , dia juga sangat cerdas dalam semua mata
pelajaran. Tempat bertanya sekaligus nyontek saat ulangan. Dia tidak pelit, dia
tahu kita nyontek tetapi diam saja. Tidak seperti teman lain yang buru-buru
menutup kertas ulangan kalau kita intip. Kebetulan tulisan dia bagus sehingga
dari jarak jauh aja kita bisa membaca tulisannya dengan jelas jawaban di kertas
ulangannya. Satu lagi yang menarik, saya dan dia sama-sama penggemar duduk di
bangku paling depan. Biasanya murid laki-laki sukanya duduk di belakang atau
mojok. Dia tidak.
Karena pandai dalam semua mata pelajaran dan juga
bisa main organ, terutama sewaktu ada jadwal Misa di Gereja Katedral
"Hati Kudus Yesus" yang terletak di sebelahnya sekolah SMAK St. Louis I,
dia selalu yang mengiringinya dengan memainkan organ yang ada di gereja
tersebut. Sehingga akhirnya ... dia popular dengan panggilan
"Profesor".
Nama aslinya sangat jarang disebut. Teman-teman
selalu memanggil dia "Prof". Bahkan beberapa guru juga ikut menyapa
dia dengan panggilan "Prof". Panggilan tersebut melekat sampai
sekarang.
Juwono Saroso ini juga seorang yang sangat gigih
dalam perjuangan hidupnya dia sewaktu di SMA aja sudah punya job dengan
menerima les organ atau electone. Bahkan
dia pernah bercerita bahwa sewaktu masih SD kelas 3, dia juga sudah bekerja
sambilan dengan berjualan kue keliling kota.
Di balik hal-hal yang menarik dan menyenangkan tadi,
Profesor sesekali juga suka usil. Saya pernah dikerjain sampai menangis. Baju
olah raga saya disembunyikan. Saya tanya teman-teman apakah melihat tas yang
berisi baju olah raga. Semua teman sekelas mengaku tidak tahu. Saya cari ke
mana-mana, tidak ketemu. Saya menangis karena jam mata pelajaran olah raga
sudah akan dimulai. Ternyata disembunyikan oleh Profesor. Keusilannya sangat
kreatif.
Pada tahun 1985 kami lulus dari SMAK St. Louis I,
saya dan profesor kuliah di kampus yang berbeda. Saya diterima di
Fakultas Kedokteran Umum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya di Jl. Dukuh
Kupang. Sementara Profesor melanjutkan di Fakultas Kimia (MIPA) Institut
Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS).
Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu. Kami kehilangan kontak. Karena
pada waktu itu alat komunikasi (Hand Phone) belum ada.
Kami baru bertemu kembali pada acara reuni di tahun
2011. Ternyata ... , si kurus bertubuh jangkung
yang unik itu, sudah berubah
jadi pria gagah dengan postur
tubuh berisi. Pria bersepeda ontel itu ternyata sudah sangat diberkati oleh Tuhan,
dia adalah pemilik sekolah TRISTAR
Culinary Institute yang sekarang berkembang menjadi Akademi Pariwisata
Majapahit dan Politeknik Surabaya. Di Surabaya, ada empat kampus
yaitu di Jalan Raya Jemursari, Jalan Kaliwaron dan kampus baru yang sedang
dibangun di Jalan Manyar Kertoarjo dan Tristar Samator.
Kemudian ada juga di Tangerang, Bogor, Semarang, Pontianak dan beberapa kota lainnya di Indonesia.
***
URUN SARAN BUAT
SEORANG TEMAN
Oleh : Yanuk Lianto
Oleh : Yanuk Lianto
“Prof,” atau Profesor adalah panggilan akrab pada teman saya Juwono
Sarono. Bukan hanya saya, tetapi juga teman-teman lain yang pernah sekelas di SMAK St. Louis I Surabaya.
Nama atau julukan tersebut tercipta karena dia memang dikenal pandai di
sekolah. Siswa lainnya selalu bertanya pada dia jika mengalami kesulitan dalam
pelajaran.
Hebatnya, Prof tidak pernah menolak untuk berbagi
ilmu. Perhatian dan setia kawan. Dia telaten melayani teman yang minta
diajarkan. Talenta dia sebagai pengajar sudah terlihat sejak di bangku sekolah.
Karena sifat baiknya itulah, dia punya banyak teman dan menjadi populer di
sekolah.
Kebiasaan berbagi ilmu kepada orang lain tersebut,
menjadi modal utama yang mengantar dia dalam meraih kesuksesan. Dia ulet, tekun dan fokus saat
mengerjakan sesuatu. Hal itu juga ditunjang oleh istri yang mendampinginya.
Kerjasama suami istri yang baik bisa mendulang kemajuan yang baik pula.
Kursus Tristar yang kini menjelma menjadi
sebuah perguruan tinggi yang tersebar dan terus berkembang di beberapa
kota di Indonesia, adalah bukti nyata kesuksesan dia. Bahkan, istri saya juga
pernah ikut kursus kuliner di sana. Waktu itu, saya tidak tahu bahwa Tristar
itu miliknya Prof. Padahal, saya selalu mengantar dan menjemput istri waktu
itu.
Baru ketahuan ketika ada acara reuni . Saat itu saya
mengajak istri dan bertemulah kami. Ternyata, sosok yang ada di balik nama
Tristar itu adalah Profesor. Dia adalah Yuwono, teman semasa SMA dulu.
Ketika saya diajak Prof untuk melihat langsung
situasi kampus Tristar Culinary Institute di Jalan Jemursari Surabaya, saya
kagum melihat fasilitas dan peralatan yang ada di sana. Sangat modern dan
lengkap. Benar-benar dipersiapkan dengan baik. Publikasi di media juga gencar,
termasuk di sosial media. Ini sangat menunjang kemajuan usahanya. Setiap
kegiatan selalu dipublikasi. Ini langkah yang cerdik.
Sebagai teman, saya urun saran. Teruslah berinovasi
sebab suatu saat, pasti akan muncul tempat studi kuliner maupun pariwisata yang
baru yang bisa menjadi pesaing berat. Era sekarang banyak terobosan baru yang
lebih berani dan harus dihadapi dengan inovasi tiada henti.
Lomba Rias Wajah
Kembali ke nostalgia masa SMA. Kedekatan saya dengan
Prof di sekolah karena kami sama-sama suka musik. Dia pandai main organ, saya juga bisa main alat musik
yang sama. Di sekolah, kami sering ikut kegiatan yang ada kaitannya dengan seni
musik.
Ada satu momen yang tidak bisa saya lupakan sampai
saat ini. Waktu itu, murid satu kelas mengadakan acara perpisahan kelulusan di
kawasan wisata Tretes Pasuruan, Jawa Timur.
Biar acaranya seru, diisi dengan
acara unik lomba “wanita jadi-jadian”.
Siswa pria dirias dan memakai pakaian wanita.
Waktu itu yang ikut dirias selain saya dan Prof, adalah Enky, Sigit,
Ajiang, Eddy Cekak dan lain-lain.
Saat itu, saya yakin bakal keluar sebagai pemenang. Make up saya cukup bagus. Sudah mirip wanita sungguhan. Tapi apa yang
terjadi? Ketika penjurian, saya kalah.
Dia keluar sebagai pemenangnya.
Prof memang sulit disaingi. Bukan saja dalam mata pelajaran, tapi bersaing sebagai wanita
jadi-jadian saja dia tidak terkalahkan.
***
PROFESOR
ITU DARI KELUARGA SEDERHANA
Oleh: Yuliana Gunawan
Oleh: Yuliana Gunawan
Kebersamaan dengan seseorang pasti ada sisi
nostalgia yang menarik untuk dikenang. Apa lagi jika teman kita itu sekarang
jadi orang sukses. Satu di antara teman saya yang sudah meraih sukses itu
adalah Juwono Saroso. Saya dan teman-teman sekelas di SMAK Saint Louis I
Surabaya menyapa dia dengan nama Profesor.
Panggilan Profesor atau Prof itu bukan karena titel
yang didapat dari perguruan tinggi.
Tetapi karena di kelas dia dikenal sebagai siswa yang serba bisa untuk
semua mata pelajaran. Saya tidak tahu siapa orang pertama yang nyeletuk memanggil dia Profesor. Panggilan
itu tiba-tiba saja menyebar dan semua teman memanggil dia Prof.
Sebelum penjurusan (IPA dan IPS), saya dan Prof
duduk di kelas yang sama. Kemudian kita beda kelas di kelas 2 walau sama-sama
mengambil jurusan IPA. Ketika naik kelas
3 kita satu kelas lagi. Saat itulah saya lebih intens mengenal dia.
Dari pakaian seragam, merek sepatu dan lain-lain yang dia kenakan
sehari-hari di sekolah, kelihatan bahwa dia berasal dari kekuarga yang hidup sangat sederhana. Bukan dari keluarga berada. Tapi dia supel, pandai bergaul dan bisa
menempatkan diri sehingga semua orang berteman dengan dia.
Saya melihat Prof memang pandai sejak dari sononya.
Dia selalu ranking satu di kelas. Padahal, buku catatan pelajaran saya lebih
rapi dan lengkap dibandingkan bukunya
dia. Dia juga bukan siswa kutu buku
walau dia berkaca mata. Di kelas dia kelihatan santai saja. Bukan tipe
siswa yang serius. Mungkin karena dia gak pernah bolos dan fokus saat guru
menerangkan sehingga apa yang diajarkan bisa langsung nyantol di kepala.
Ulet dan kerja keras salah satu kunci yang membuat
dia tumbuh menjadi orang sukses. Latar belakang keluarganya yang tidak mampu
memacu dirinya untuk maju. Terbukti ketika dia kuliah di ITS, mengambil dua
mata kuliah sekaligus.
Momen lucu yang menggelikan, ketika acara perpisahan
kelulusan. Waktu itu, teman-teman sekelas menyewa villa di Tretes. Salah satu
acara seru-seruan waktu itu, siswa pria
termasuk Prof didandani ala wanita.
Pakai daster, dibedaki dan dipolesi lipstik. Sayangnya, saya berusaha mencari dokumen foto
itu tidak ketemu.
Prof…., walau
sudah menjadi orang sukses dan berhasil di bidang kuliner, tetaplah menjadi orang yang rendah hati
seperti Prof yang saya kenal sejak di bangku SMA dulu.
***
“MBETHIK E” SETENGAH MATI
Oleh: Budi Setya
Oleh: Budi Setya
Lincah dan
jenaka, begitulah sosok yang menarik
dari teman saya Juwono. Ada saja tingkahnya yang membuat kita sering merindukan
kehadirannya. Meminjam tagline iklan
rokok: “Nggak ada Loe, nggak rame”. Begitulah
kira-kira.
Dengan nada canda, wali kelas 3 IPA di SMK St. Louis I Surabaya, pernah menyebut
dia sebagai siswa “mbethik e setengah
mati”. Tentu saja istilah “mbethik” itu bukan berkonotasi nakal
yang mengarah pada perilaku negatif. Kosa kata mbethik tersebut mungkin berasal
dari kata bahasa jawa “mbeling setitik”
(nakal sedikit atau sedikit nakal).
Nakal yang usil tapi kreatif. Seperti acara-acara usil Jebakan Betmen dan
lain-lain di televisi yang sangat
menghibur itu.
Juwono bukan saja menarik perhatian teman-teman,
tetapi para guru juga menaruh perhatian
pada dia. Sebab, dia salah satu murid
cerdas di kelas. Kebetulan dia juga diangkat jadi ketua kelas. Karena itu,
dia paling aktif dalam berbagai kegiatan. Murid yang “sersan”. Serius tapi
santai. Dalam hal pelajaran, dia serius, tetapi sebagai murid dia suka bercanda
dengan teman-teman.
Jika dia sekarang sukses membangun dan mengembangkan
Tristar Culinary Institute, itu
karena dia ditempa dalam keluarga untuk jadi seorang pejuang. Dia itu seorang fighter yang tangguh. Tidak gampang
menyerah dan tentu saja kreatif. Sejak kecil dia sudah mengambil tanggungjawab
membantu ibunya jualan kue keliling. Dia juga menjadi guru les electone, guru
les privat beberapa mata pelajaran.
Kini dia sudah sukses. Predikatnya sebagai bos.
Juwono yang dulu tubuhnya kerempeng,
kini makin berisi. Saran saya sih, jaga perkembangan tubuh. Jangan sampai obesitas.
Tubuh gendut itu kurang sehat. Bisa mendatangkan banyak penyakit.
Sukses buat sahabatku Juwono
***