Wednesday, November 28, 2018

Juwono di Mata Teman Kuliah:


DIOMELI GARA-GARA PAKAI ROK PANJANG

Oleh:  Prof.  Dr. Fahimah Martak, M.Si
Guru Besar Bidang  Ilmu Senyawa Kompleks
*di Departemen Kimia FIA  ITS
            
             Juwono itu, salah satu mahasiswa yang  sering terlambat masuk kuliah. Tidak mengikuti penjelasan dari dosen secara utuh. Tahu kan akibatnya? Dia tidak  bisa memahami  materi perkuliahan  secara keseluruhan. 
          Kemudian,  apa yang dia lakukan? Juwono itu sangat cerdas. Dia mampu memanfaatkan peluang. Tahu harus ke mana dan melakukan apa . Mahasiswa berkacamata tebal, bertubuh kurus dan jangkung itu  pasti  datang  ke perpustakaan. Bukan untuk membaca atau mau pinjam buku. Tapi dia datang khusus untuk menemui saya.  Juwono tahu, keseharian saya sering berada di perpustakaan pusat ITS.
Ketika ketemu, dia menanyakan semua materi yang diajarkan oleh dosen. Dia ambil intisari dari  semua penjelasan yang saya sampaikan.  Dengan cara itu, dia bisa mengerjakan semua soal  ujian yang diberikan oleh dosen. 
Semasa kuliah di FMIPA ITS, saya dan Juwono bersahabat dekat. Selain sering bersama-sama di kampus, kami juga sering berduaan di luar kampus. Misalnya, saya  ditraktir makan gado-gado atau tahu campur di dekat rumah saya di Jalan KH Mansyur, kawasan masjid Ampel Surabaya. 
 Karena kedekatan itulah, banyak teman yang mengira  bahwa kami  ini  pacaran.  Kami tidak pernah pusing dengan anggapan itu. Lagi pula, kami tidak  mungkin pacaran  karena beda agama. Selain itu, saya dan Juwono sama-sama sibuk.  Jadi kami hanya berteman baik saja. Tidak pernah sampai ke sana (pacaran).
Sebagai teman baik, dia suka bercerita  tentang apa saja yang dia alamin. Termasuk tentang keadaan ekonomi keluarga yang pernah terpuruk dan sangat miskin.  Misalnya, bercerita  bahwa dia  sering beli  roti expired  yang sudah tidak dijual. Roti tersebut  kemudian dijemur hingga kering  agar bisa dimakan lagi.
Suatu hari, Juwono bercerita tentang  pacarnya. Wanita yang dia cintai itu, bukan gadis kampus.  Walau hubungan mereka belum terjalin lama, si pacar sudah sering diajak  ke rumahnya. Dikenalkan pada keluarga. Mereka jadi akrab, termasuk dengan adik kandungnya Juwono.
Entah bagaimana ceritanya, si pacar dan adik kandung Juwono  saling tertarik lalu mereka pacaran secara diam-diam.  Dugaan saya, si gadis tertarik karena wajah adiknya lebih ganteng. Saya tidak mau bilang Juwono itu  jelek, tapi faktanya, dulu dia  berbadan  kurus dan wajahnya tidak sebagus sekarang ini. 
Ketika hubungan diam-diam itu terbongkar, Juwono curhat pada saya. Ekspresinya biasa-biasa saja. Tidak terkesan marah atau kecewa. Intinya, si gadis dilepas dengan ikhlas. Tidak dipertahankan. Tidak juga terjadi pertengkaran. Pacarnya itu dikasikan pada adiknya. Dia bilang begini pada saya:  “Saya kasikan saja. Gak mau mikir. Lebih baik saya konsentrasi cari uang saja.”

Motor Butut
Ada satu  pengalaman lucu yang mungkin terkesan konyol.  Siang itu, ketika selesai kuliah, saya dibonceng Juwono pakai sepeda motor bututnya. Jarak  antara gedung fakultas MIPA dengan jalan raya,  cukup jauh. Apalagi kalau cuaca sedang panas.  Karena itu, saya sudah biasa minta dibonceng dia.
Tapi boncengan siang itu jadi pengalaman tidak biasa.  Hampir saja celaka gara-gara saya memakai rok panjang.  Ketika motornya sedang melaju, tiba-tiba ujung rok saya  itu masuk  ke roda belakang motor dan tergulung oleh ruji peleg. Saya berteriak dan Juwono mendadak mengerem motornya.  Ampuuun…. saya hampir saja terjatuh.
Juwono berusaha melepas rok saya dari roda motornya yang butut dan tidak penah dicuci itu. Sebagian rok saya robek dan  sebagian kotor karena kelepotan oli. Praktis tidak bisa dipakai lagi. Sambil melepas lilitar rok dari ruji motor,  saya diomeli.  Dia bilang: “Makanya,  kalau pakai rok  jangan  yang panjang-panjang. Ya begini jadinya.”
Itu pengalaman lucu sekaligus  konyol. Mestinya saya yang pantas ngomel karena rok saya robek dan hampir saja jatuh. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya harus berterimakasih sebab dia  selalu bersedia membonceng sampai ke jalan raya. Karena itu, ketika dia ngomel, ya  saya diam saja.
Sahabat saya yang suka memakai  baju  hem  bermotif kotak-kotak itu, kini sudah jadi orang sukses. Mengelola  tiga sekolah tinggi, punya biro perjalanan dan memiliki sejumlah restoran. Lompatan besar keberhasilannya itu, tidak lepas dari kerja keras dan  semangat juangnya  yang tinggi. Dia juga  cerdas, ulet dan mampu membaca serta  memanfaankan peluang yang ada.
Salut dan selamat.
***   

MAS JUWONO, KREATIF DAN INOVATIF
Oleh: Hamzah Fansuri, S.Si, M.Si, Ph.D
Dosen (Lecturer) dan Wakil Dekan FIA ITS.
Alumni Kimia FMIPA ITS

Pertama kali saya melihat (bukan bertemu karena kalau bertemu maka ada interaksi sedangkan. Saat itu saya melihat mas Juwono, tapi tidak tahu apakah beliau melihat saya)  Mas Juwono saat Camp Kimia di Junggo, Batu-Malang tahun 1990.  Saat itu, saya adalah mahasiswa baru yang sedang dipelonco di tingkat Jurusan. Saya tidak ingat, apakah saat itu beliau sudah lulus atau belum.
Hal yang membuat saya terkesan adalah karena beliau menghibur kami dengan permainan electone-nya dan kemiripan beliau dengan pak Perry Burhan, salah satu dosen kami. Setelah itu saya tidak pernah lagi melihat maupun mendengar kiprah Mas Juwono ini sampai saya menyelesaikan studi S3 saya dan kembali aktif di ITS tahun 2016.
Mas yang pandai main electone, yang dulu saya lihat di Junggo tahun 1990 itu, sekarang sukses sebagai pemilik Tristar Culinary Institute.  Beliau datang kembali ke kampus, menawarkan kerjasama membuka program studi S2 kuliner. Sebuah program studi yang saat itu terdengar aneh dan tidak saintifik, tapi saat ini, kuliner  adalah program studi yang sangat tinggi tingkat relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
Walau demikian, kami (jurusan Kimia ITS) tetap mendukung dan ikut berupaya dan mengkaji kemungkinan pembukaan program studi tersebut. Karena regulasi yang ada, kami akhirnya menyerah, tidak sanggup mewujudkannya.
Kami masih sering berinteraksi dan bahkan Mas Juwono sempat mengadakan pertemuan di kampus Tristar Culinary Institute  yang juga  sebagai kampus Akpar (Akademi Pariwisata) Majapahit  di Jl. Raya Jemursari 244, Surabaya.
Saya sangat kagum pada Mas Juwono ini karena beliau pantang menyerah. Ide membuka program studi kuliner itu ternyata beliau wujudkan dengan membuka perguruan tinggi dan memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia.
Hal lain yang juga sangat mengesankan dari Mas Juwono adalah jiwa sosialnya. Tak terhitung banyaknya kakak maupun adik kelas yang beliau bantu berwirausaha. Beliau juga tidak pelit dalam membagi pengetahuan dan keterampilan kepada banyak orang  dari beragam lapisan masyarakat. Saya teringat wejangan Profesor saya yang kira-kira berbunyi:
"Kalau kamu adalah orang yang kreatif dan inovatif maka kamu tidak akan takut kreativitas dan inovasimu habis maupun dicuri orang lain dan merugikanmu. Kamu selalu akan punya kreativitas dan inovasi baru."
Mas Juwono menurut saya memenuhi kriteria tersebut, yaitu kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasinya justru semakin berkembang dengan membaginya kepada banyak orang.
***
 
DIA SANTAI  BAHKAN TERKESAN CUEK
Oleh: Ir. Hendrata Wibisana, MT
Dosen  Teknik Sipil UPN Veteran, Jatim

Sebetulnya, saya lulusan SMA tahun  1984. Sempat kuliah di farmasi Ubaya. Tahun berikutnya, saya coba ikut tes Sipenmaru. Ternyata saya diterina di ITS jurusan kimia.  Saya tinggalkan Ubaya dan masuk ITS. Jadilah saya mahasiswa angkatan 1985, satu angkatan dengan Juwono.
Juwono lebih akrab dengan adik saya,  Hendrianto. Mereka pernah sama-sama mencari tambahan uang saku dengan kerja sebagai guru les private untuk anak-anak SD dan SMP. Hasilnya ternyata lumayan.  Adik saya bisa membiayai kuliah dari honornya sebagai guru  private. Jadi, untuk urusan kuliah, dia tidak lagi membebani orangtua.
Hal yang sama dialami oleh  Juwono. Dia pontang-panting mengumpulkan uang lewat kegiatan sampingan sebagai guru les. Penghasilan juga  bisa menutup biaya kuliah. Tapi dibanding  dengan adik saya, Juwono  punya kelebihan lain.  Dia pandai  bermain musik.  Skill bermusiknya dimanfaatkan ebagai sumber pemasukan dengan memberi les  private electone. Selain itu, saya dengar  dia juga nyambi  jualan kue.
Di kampus,  Juwono itu  bukan tipe mahasiswa alim. Dia rada  serampangan. Tabrak sana tabrak sini. Kadang  tidak serius dan terkesan cuek. Tapi dia punya jiwa setia kawan. Saya harus mengakui bahwa Juwono pandai mengambil hati dosen. Dia selalu mendapat nilai bagus walau tidak serius  mengerjakan tugas dari dosen.  
Pernah saya dan Juwono sama-sama mengerjakan tugas paper dari dosen. Dia mengerjakan dengan santai dan terkesan cuek. Sementara saya, berusaha mengerjakan dengan tekun dan serius. Hasil akhirnya? Ah, ternyata nilainya sama. Saya sempat merasa kecewa dan hampir  saja mendatangi dosen untuk protes. Tapi tidak jadi karena dosennya cewek hehehehe.
Soal tabrak sana tabrak sini, itu salah satu gaya dia ketika mengerjakan atau mengurus sesuatu. Dia tidak mengikuti protokoler. Kadang mencari jalan pintas. Tapi saya maklumi saja karena dia pengusaha. Hampir semua pengusaha seperti itu. Pejabat juga begitu. Setali tiga uang hehehehe
Di lingkungan kampus, dia dikenal pandai bergaul. Tapi tidak suka aktif menjadi  anggota di organisasi  kemahasiswaan. Dalam kepanitiaan juga begitu. Dia lebih suka berada di belakang layar. Dia mendukung  tetapi kapasitasnya hanya sebagai makmum.  Beda dengan saya yang selalu aktif dan sering terlibat  sebagai panitia inti.
Setelah lulus S1, saya tidak terlalu mengikuti sepak terjangnya. Saya sibuk sebagai PNS karena diterima di kampus UPN. Delapan tahun kemudian, baru ketemu lagi. Waktu itu, dia sudah  punya usaha kursus  Home Industry Class  dengan  bendera Tristar. Belum berubah jadi institute seperti sekarang ini.
Sebagai sahabat - satu alumni, satu paroki - satu gereja, tentu saja ikut gembira melihat  kesuksesan Juwono sekarang ini. Karena bagi saya, kesuksesan teman satu angkatan akan berimbas positif buat alumni, institusi dan tentu saja buat gereja.
          Dalam menjalankan profesi sebagai pengusaha agar berhati-hati dan selalu lapang dada dalam menerima berbagai  saran dan kritikan. Baik dari kolega, teman sejawat bahkan dari mahasiswa sendiri guna pengembangan ke depannya.
Berhati-hati yang saya maksud, harus selalu berpatokan pada aturan Dikti karena bagaimanapun kampus ada dalam naungan Dikti sebagai pengelola utama mewakili negara.
***

SUKSES KARENA ULET,
BERANI DAN MENGUASAI STRATEGI
Oleh: Dra. Aning Purwaningsih M.Si
Alumni FMIPA ITS
Dosen Fakultas Sain dan Teknologi
Departemen Kimia Unair, Surabaya.

          Waktu kuliah di FMIPA ITS, dia mahasiswa yang datang hanya untuk kuliah saja. Maksud saya, dia tidak punya waktu luang untuk santai-santai di kampus seperti kebanyakan mahasiswa lain. Dia punya kesibukan lain yang harus dikerjakan di luar kampus.
          Sepengetahuan saya, Pak Juwono punya kesibukan lain. Misalnya, jadi guru privat electone, guru les untuk mata pelajaran IPA. Bahkan di kampus saja dia masih sempat jualan baju kreditan pada mahasiswa. Pertama kali saya punya celana panjang, ya beli dari Pak Juwono itu. Beli dengan cara kreditan juga he he he he.
          Kalau dia datang ke kampus, selalu bawa tas kresek. Tas kresek yang selalu berubah-ubah warna.  Isinya penuh dengan baju-baju yang mau dijual.  Saat kelas masih kosong, ketika dosen belum hadir, dia manfaatkan untuk menawarkan dagangannya kepada teman-teman yang ada di dalam kelas.
          Rek, aku dodolan klambi,  sopo sing gelem tuku. Apik-apik, harga e mura,  iso dicicil lho. Monggo dipilih. (Rek,  aku jualan baju, siapa yang mau beli, Bagus-bagus, harganya murah, bisa dicicil. Silahkan dipilih).”
Begitu cara dia menawarkan barang dagangannya.  Pak Juwono benar-benar ulet dan pandai memanfaatkan peluang.  Karena sering ditawari, kalau tidak salah tiga kali, akhirnya saya beli satu celana panjang. Ya pembayarannya dengan cara dicicil. Teman-teman lain juga banyak yang ikutan beli.
Dulu, Pak Juwono itu tubuhnya kurus, tinggi melengkung. Kulitnya putih, sipit  dan berkaca mata tebal. Sosok orientalnya sangat  kental.  Dia  pandai bergaul dan mudah akrab dengan siapa saja. Dia juga ulet, berani dan menguasai strategi bisnis. Saya kira itu yang membuat Pak Juwono menjadi orang sukses mengelola sekolah kuliner dan perhotelan.
Setelah sukses, Pak Juwono tetap menjadi teman yang baik. Selalu menjaga silaturahmi dengan teman-teman. Sering mengajak kumpul-kumpul di kampus Tristar Culinary Institute untuk makan-makan. Teman-teman  juga selalu diundang saat ulang tahun dan ketika acara wisuda mahasiswanya. 
Sebagai teman, saya mendoakan Pak Juwono semakin sukses, rendah hati  dan tetaplah menjalin hubungan baik dengan teman-teman.
***

MAHASISWA SHOPPING BAG
Oleh:  H. Muhammad Khatam

Pria bermata sipit, tubuh  jangkung berkulit putih itu turun dari mobil. Kalau gak salah mobilnya jenis Daihatsu s38 mesin 2 tak. Memang bukan tergolong mobil mewah. Juga bukan mobil keluaran baru. Tapi yang namanya mobil, apa lagi yang mengendarai itu mahasiswa, tentu punya kelas tersendiri.  Sementara saya dan kebanyakan mahasiswa Fakultas MIPA - ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya) jurusan kimia waktu itu, ‘mati urip’ (hidup mati) pulang pergi ke kampus naik mobil BMW alias ‘Bemo lyn W.’
Tapi ada yang menarik sekaligus  menggelikan dari sosok mahasiswa yang kemudian saya kenal bernama Juwono Saroso itu. Kebanyakan mahasiswa sering terlihat santai atau kadang  mongkrong bersama teman-teman. Tapi dia tidak. Setiap turun dari mobilnya, selalu terlihat bergegas. Berjalan  tergesa-gesa seperti orang yang takut  ketinggalan kereta. Gak nengok ke kanan atau ke kiri, langkahnya gesit menuju gedung MIPA.
Yang menariknya lagi, penampilan  pria berkaca mata itu selalu menenteng tas plastik  atau shopping bag. Hal itu kontras dengan kebiasaan mahasiswa yang selalu memakai ransel yang terbuat dari bahan kain tebal atau  tas  kulit sintetis. Penampilan mahasiswa lainnya terlihat ‘fashionnabel,’  sementara dia yang naik mobil  berpakaian sederhana dan selalu membawa tas plastik berganti-ganti warna. Kadang warna putih, merah, kuning dengan tulisan dan gambar yang berbeda-beda pula. Hari ini tasnya bergambar busana lengkap dengan merek dan nama tokonya, lain waktu dia datang dengan tas bergambar sepatu.
Satu hal lagi yang menarik dari dia. Di kampus,  sangat dekat dengan para mahasiswa. Berteman tanpa memandang suku dan agama. Jiwa sosialnya tinggi dan sering traktir teman-teman di kantin. Dia juga sangat akrab dengan gadis-gadis kampus.  Saya rasa bukan karena dia playboy. Keakrabannya hanya sebagai teman, bukan urusan pacaran. Sebab,  tidak pernah melihat dia mengistimewakan satu wanita.
Saya tidak pernah bertanya tentang kenapa dia selalu tergesa-gesa ketika masuk kampus. Tidak juga bertanya kenapa dia begitu akrab berteman dengan gadis-gadis kampus. Saya pun  tidak tega mencari tahu kenapa dia selalu menenteng tas plastik. Juga tidak bertanya, apa sih yang ada di dalam tas itu. Buku? Tidak mungkin sebab tas tersebut selalu terlihat gemuk.
Dia tentu saja mampu membeli tas yang  bagus dan lebih mahal dari tas yang dipakai oleh kebanyakan mahasiswa.  Tapi kenapa dia betah berpenampilan seperti itu? Pertanyaan itu saya biarkan menjadi rasa penasaran yang berkepanjangan.
Setelah lama berteman, misteri  di balik rasa penasaran itu akhirnya terpecahkan. Saya menemukan jawaban bukan langsung dari  Juwono atau teman-teman kuliah lainnya. Tapi dari pengamatan saya yang mungkin saja sangat subyektif.
Saya yakin dia punya kesibukan  lain di luar sehingga selalu datang ke kampus dengan tergesa-gesa. Di rumah dia tidak banyak waktu untuk mengerjakan tugas dari dosen. Karena itu dia segera masuk  kelas dan terlihat sibuk mengerjakan tugas.  Karena dia akrab dengan gadis-gadis kampus itu, mereka  rela memberi contekan pada Juwono.  Dia cerdas dan  pinter memanfaatkan situasi.
Soal penampilannya yang sederhana dengan tas plastik warna warni dari beberapa toko itu?  Saya pikir itu bukan hal aneh. Memang dia mahasiswa sederhana, tidak gampang terpengaruh pada hal-hal yang konsumtif dan selalu tampil apa adanya. Mungkin, kesederhanaan itulah salah satu yang membuat dia kini menjadi orang sukses.
Sahabatku; “Tetaplah jadi orang yang sederhana dengan kiprah yang luar biasa.”
***

JUALAN BAJU DI KAMPUS
Oleh:  Susana Halimah

Dulu kami kuliah di jurusan Kimia, Fakultas MIPA Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS). Setelah lulus tahun 1991,  saya dan Juwono lost contact. Tidak ada pertemuan yang terjadi secara kebetulan seperti yang saya alami dengan beberapa teman kuliah yang lain. Sama-sama menghilang. Dia tidak tahu saya di mana, saya pun tidak tahu dia ke mana.
Hal seperti itu sudah jamak terjadi pada era ketika kami kuliah dulu. Begitu lulus, langsung berpencar mencari pekerjaan. Alat komunikasi belum secanggih sekarang ini. Handphone sudah ada tetapi masih sangat langka dan mahal. Saat itu, kalau tidak salah harga minimal 10 juta rupiah. Masih berbasis NMT (Nordic Mobile Telephone).  Bentuknya besar. Tidak bisa dimasukkan ke dalam saku.
Beda jauh dengan sekarang. Teknologi handphone sudah sangat canggih. Berbasis multimedia. Memiliki berbagai aplikasi yang memudahkan kita bergubungan, kapan saja dan di mana saja. Dunia bak dalam genggaman. Nah, berkat  kecanggihan perangkat komunikasi inilah, saya bisa bertemu kembali dengan teman-teman sealumni. Termasuk sahabat saya Juwono.
Lulus kuliah, kesibukan lain menanti. Maret 1991 saya lulus. Kemudian Mei test masuk kerja di Gresik. Bulan Juli saya diterima bekerja di perusahaan PMA joint venture antara Semen Gresik dan perusahaan Eropa. Di perusahaan tersebut, saya menempati post engineering dan sebagai cost controlling. Setahun kemudian saya dipercaya sebagai Asisten Manager Lab.
Kesibukan meniti karir di bidang industri  itu menyita waktu sehingga tidak sempat menjalin komunikasi dengan teman-teman satu kampus dulu. Sampai suatu hari, di  acara pertemuan dengan Himpunan Kimia Indonesia (HKI), saya dengar bahwa Juwono dan istrinya, sering menyelenggarakan pelatihan keterampilan bidang kuliner dan home industry bekerjasama dengan tabloid Nyata.
Kabar selentingan itu semakin jelas ketika tahun 2017 lalu bertemu dengan  Hendrata, salah satu teman kuliah dulu. Dari dia saya dimasukkan ke grup Chemistri 85 dimana anggotanya adalah teman-teman satu jurusan ketika kuliah dulu. Termasuk di dalamnya ada sahabat saya Juwono.
Ternyata, Juwono  yang dulu saya kenal sebagai mahasiswa low profile, sederhana, lincah  dan pandai bergaul itu, ternyata sudah sukses menjadi entrepreneur.  Punya sekolah Akademi Parawisata. Teman-teman bilang, Juwono itu punya sekolah memasak.
Juwono, seperti kebanyakan teman kuliah yang lain, punya kekurangan. Tetapi di balik itu, dia punya banyak kelebihan dan kebaikan yang jarang dimiliki teman lain.  Mau menerima masukan, pandai menahan emosi. Saya tidak pernah melihat dia marah. Selalu tersenyum dan humoris. Sampai sekarang dia tidak berubah.
Selain itu, dia punya kemampuan membaca peluang bisnis. Kuliah sambil berdagang. Saya pernah diajak berbisnis jualan baju  di kampus. Baju dagangannya itu bagus dan branded. Harganya juga saya anggap lebih miring dan sangat cocok untuk dijual kepada mahasiswa. Kalau tidak salah ingat, saat itu saya masih semester empat.
Saya sih senang diajak berdagang. Setidaknya bisa menambah uang saku. Maklum, uang saku dari orangtua sangat terbatas karena harus menanggung biaya kakak dan adik saya yang “kuliah di luar negeri” alias kuliah di perguruan tinggi swasta.
Saya menjual baju itu bukan hanya di lingkungan ITS, tetapi juga ditawarkan di keluarga besar saya dan kepada teman-teman di organisasi kemahasiswaan Islam. Saya memang aktif di organisasi yang rajin melaksanakan kegiatan keagamaan dan sosial itu. Dagangan saya laku keras.
Sekarang ini, saya dengan  background pendidikan S2, Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Industri Bisnis di Unair,  diajak bergabung di kampus TRISTAR Culinary Institute yang sekarang berkembang menjadi Akademi Pariwisata (Akpar) Majapahit itu. 
***




Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...