Wednesday, November 28, 2018

Juwono di Mata Keluarga:


MASIH KECIL SUDAH MENGERTI BALAS BUDI
Imawan/ Koo Jin Lan
(Tante ke 16)


        Ketika masih bayi, U’un (panggilan akrab keluarga untuk Juwono), lebih sering bersamaku daripada dengan mamanya.  Dia lebih banyak dalam gendonganku daripada digendong mamanya. Ketika tidur, saya yang menina bobokkan. Mau makan,  saya yang suapin, mandi juga saya yang mandiin. Buang air besar  saya yang cebokin.

Karena itu, saya tahu perkembangan U’un ketika masih balita.  Dia memang beda dengan saudara-saudaranya.  Lahir dalam posisi sungsang. Kakinya lebih dahulu. Kata orang sih, bayi sungsang itu biasanya cerdas.  Antara percaya dan tidak. Tapi nyatanya, U’un memang terlihat cerdas sejak masih balita.
Saya kasi contoh ya. Waktu dia habis buang air besar, saya ceboki. Tiba-tiba dia bilang begini: “Nik,” dia memanggil saya dengan nama  Nik, dari sebutan Ik Nik yang artinya, anak perempuan paling kecil.  “entik kalau aku sudah besar, gantian tak ceboki ya”.
Saya tersentak mendengar U’un bilang begitu. Siapa yang mengajari?  Saya kira dia bicara spontan dan entah apa yang dia pikirkan  hingga mengucapkan kalimat itu. Tidak sesuai dengan usia dia. Kita mungkin menganggap itu hanya celotehan anak kecil. Cuma bicara kosong. Tapi bagi saya,  U’un luar biasa. Masih kecil sudah mengerti balas budi.
Saya menjawab sambil senyum. “Iya  entik  kalau  U’un udah besar, gantian  cebokin Nik ya.”  Dia terlihat senang mendengar jawaban saya. 
Saya adik dari mamanya U’un.  Anak nomor 16 dari 18 persaudara. Keluarga besar.  Kadang kalau ada yang tanya: “Tacik anak yang ke berapa?” atau “Mamanya U’un itu nomor berapa?”  Tidak  bisa  langsung bisa dijawab.  Sering bingung. Harus mikir dulu,  baru bisa menjawab hehehehe.
U’un itu anak yang penurut, tidak rewel. Kalau dikasi tau, dia dengarkan. Kalau  dilarang dia diam. Kalau diajari, cepat mengerti.  Sehari-hari dia suka memperhatikan apa yang kita lakukan. Kemudian dia seolah-olah mengerjakan seperti yang kita lakukan. Kalau melihat orang bikin jajan, dia berusaha untuk ikut membantu.
Sifat mandirinya sudah terlihat sejak kecil. Hal-hal yang bisa dilakukan sendiri, dia kerjakan tanpa merengek manja minta dibantu. Ketika SD lalu  pindah ke Surabaya,  dia senang membantu mamanya. Bantu orangtuanya di toko kecil yang menjual bahan-bahan jahitan dan obras.
Ketika duduk di bangku SMA, dia benar-benar sudah mandiri. Bisa cari uang dengan cara menjadi guru les musik dan les pelajaran.  Pernah ditinggal oleh kedua orangtuanya selama 6 bulan ke Jakarta. U’un, kakak perempuannya dan adik laki-laki terpaksa tinggal di rumah saya.  Di situ saya lihat U’un sebagai remaja yang luar biasa. Tidak pernah sekali pun dia minta uang saku  sama saya.  Semua kebutuhannya diatasi sendiri. Bahkan dia juga beli makan sendiri. Dia hanya numpang tidur saja di rumah.  Dia sangat mandiri.
***

SAYA DILARANG MENGGENDONG U’UN
Handoyo /Koo Sing Han
(Om ke 17)
        


        Ketika U’un masih kecil, saya tidak pernah bisa menggendongnya.  Bukan karena saya tidak mau. Sebagai  Om pastilah ada rasa ingin menggendong keponakan. Tapi  saya dilarang oleh mamanya. “Jangan! U’un tidak boleh kamu gendong.”
Larangan itu berlaku mutlak. Tidak boleh  dilanggar.  Pokok e gak oleh nggendong. Yo wes to, aku ngalah ae, (pokoknya tidak boleh menggendong. Ya sudah aku mengalah saja).  Saya kan tinggal di Surabaya, kalau kebetulan pulang ke Tulungagung, saya hanya bisa melihat U’un tanpa bisa menggendongnya.
Asal muasal larangan itu, karena pengalaman masa lalu. Waktu saya kecil, pernah jatuh ketika saya digendong oleh kakak nomor 9, ya mamanya U’un itu. Bagian belakang kepala saya terbentur benda keras. Lukanya gak main-main. Tempurung kepala saya retak. Bekasnya masih ada sampai sekarang.  Bentuk kepala tidak rata.
          Kejadian itu menimbulkan trauma yang luar biasa. Mamanya U’un ketakutan kalau anaknya saya gendong. Sebab, saya pernah bilang pada dia “Awas ya, kalau kamu punya anak, pasti saya balas”.
          Ancaman itu hanya main-main. Gak sungguhan. Tapi mungkin kakak saya itu masih menyimpan ketakutan dan teringat kejadian waktu saya jatuh dari gendongannya dulu. Takutlah dia kalau ancaman saya itu terjadi, anaknya benar-benar saya  jatuhkan  seperti yang saya alami dulu.
          U’un tumbuh seperti anak-anak yang lain. Tapi karakternya berbeda dengan saudaranya. Dia tidak nakal atau  pencilakan  (lari-lari/lompat-lompat) seperti anak-anak seusia dia.  Pendiam juga tidak. Dia malah suka ikut-ikutan sibuk kalau melihat tante-tantenya bikin kue. Ketika dia masih kelas 1 SD, sudah  bisa memasak kue. 
          Orangtuanya pernah mengalami cobaan berat sampai bangkrut.  Papanya sempat stress karena uang hasil penjualan ternak babi dirampok ketika dalam perjalanan dari Bandung ke Surabaya. Uangnya ludes, peternakannya hancur. Kemudian harus memulai hidup di Surabaya dan bertahan hidup dari penghasilan  sebagai tukang obras.
U’un kini sukses mengangkat harkat kedua orangtuanya.  Anak pembawa hoky.  Dia punya rasa tanggungjawab dan sayang pada keluarga.  Saya tentu bangga punya keponakan sukses seperti dia.
***

       DIA TIDAK MAU JADI ANAK KUALAT
Oleh : Sriwahyuni Herpratiwi/Koo Kiem Sing
(Tante ke 13)

Kami ini keluarga besar. Semuanya ada 18 bersaudara. Koo Kiem Hian, ibu kandungnya Juwono itu, anak nomor 9. Saya ini anak urutan ke empat dari mamanya dia. Berarti saya ini  anak nomor 13.
Papanya Juwono, Pek khe Eng  dulunya orang kaya di Tulunggagung. Punya toko baju yang besar dan peternakan babi yang besar  di Kecamatan Ngunut, sekitar 15 kilo meter dari Tulungagung. Jumlah ternak babinya ada ribuan ekor. Pokoknya sangat kaya. Hidupnya enak.
Keadaan kemudian berubah. Peternakan babinya bangkrut. Yang saya dengar sih, ternak-ternaknya itu diangkut pakai truk tetapi tidak dibayar. Bayangkan, satu truk itu bisa muat berapa ekor babi ya? Bisa belasan atau puluhan ekor. Itu bukan sekali, tapi berkali-kali terjadi.  Lama-lama bangkrut.
Karena bangkrut, mereka pindah ke Surabaya. Hidupnya susah banget. Tinggal di rumah kontrak di Pandegiling, hanya beberapa meter dari rumah saya. Rumah kecil itu  sekaligus dijadikan tempat usaha obras. Mereka tinggal berlima. Papanya, Mamanya dan tiga anaknya. Termasuk Juwono itu.
Saya prihatin melihat kehidupan mereka. Gak punya apa-apa. Untuk makan saja susah. Kadang saya lihat sendiri mereka itu hanya  bisa beli roti sisa atau orang Jawa bilang “roti balen” (balen (Jawa)  = kembali) yang sudah tidak laku dijual. Roti yang  sudah kadaluarsa  dan mulai keluar jamurnya. Biasanya, roti  seperti itu  diborong  orang untuk makanan hewan piaraan. Tapi mereka membeli untuk dimakan sendiri.
Untungnya, roti jaman dulu, walau jamuran masih aman untuk dimakan. Bahan rotinya masih murni. Tidak ada campuran zat berbahaya. Beda dengan  roti jaman sekarang,  ‘roti jaman now’ kata anak-anak muda,  yang   sudah kadaluarsa apalagi sudah keluar jamurnya, sangat berbahaya karena  banyak campuran bahan kimianya.
Saat itu Juwono baru berusia sekitar 9 tahun. Tubuhnya kurus, pendiam dan pembawaannya kalem. Cara bicaranya halus tapi tidak pemalu.  Sampai sekarang pembawaan dia itu halus dan kalem.  Anak sekecil itu sudah harus membantu orangtua untuk cari uang. Dia ikut jualan kue keliling kampung bersama Mamanya. Menitip kue-kue ke pedagang di dalam kampung. Itu dilakukan setiap hari tanpa mengeluh.
Juwono selalu cerita pada orang-orang bahwa saya ini sering beri  dia uang untuk bayar biaya sekolah. Padahal, saya sama sekali tidak ingat itu.. Mungkin benar mungkin juga  tidak. Yang masih saya ingat, dia pernah mau potong rambut tapi gak punya uang. Lalu saya mencukurnya. Jaman itu serba sulit. Saya bekerja di Kimia Farma  sambil kuliah di  Farmasi Ubaya. Tidak selesai juga karena tidak kuat bayar biaya kuliah. Hanya bertahan sampai semester 7 saja.

Ejekan dan Hinaan
Bertahun-tahun mereka hidup dalam keadaan miskin. Beruntung, Papanya yangt pernah jadi orang kaya, mau menjadi tukang obras yang ongkosnya recehan. Sementara Mamanya tekun menjajakan kue dibantu Juwono.
Suatu hari, saya tidak ingat tahun berapa, kakak saya itu membeli organ. Waktu itu dia sudah pindah dari rumah kontrakan pertama yang sempit ke rumah yang cukup luas. Lokasinya ya tetap di Pandegiling itu. Tapi ekonominya masih morat-marit. Masih serba kekurangan. Tapi dia membeli alat musik.
Saya sih maklum karena dalam keluarga besar, hampir semuanya suka musik. Di rumah kami di Tulunggagung dulu, ada alat musik lengkap. Dari 18 bersaudara itu, kakak saya dari nomor 1 sampai anak nomor 12 bisa main musik. Saya anak yang ke 13 dan adik-adik saya tidak sempat belajar main musik.
Saya tidak mau berburuk sangka soal organ tadi. Tidak ikut berkomentar karena saya yakin kakak saya itu punya program lain untuk anak-anaknya. Tapi saudara yang lain? Saya tidak usah menyebutkan namanya, justru ngomel-ngomel, mengejek dan menghina.
“Sok kaya padahal tidak punya apa-apa. Masih kere. Untuk makan saja kurang. Lha kok malah beli organ,” ejeknya. Masih banyak kalimat yang bikin panas telinga. Mendengar hinaan seperti itu, saya hanya bisa mengelus dada. Ooo alaaa, kok tega menghina saudara sendiri.
Terbukti, Juwono jadi pandai main organ dan dengan kemampuannya itu, dia bisa membiayai sekolah sampai perguruan tinggi tanpa tergantung pada orangtuanya. Hebat kan? Tadinya seperti buang-buang uang untuk beli organ, ternyata sangat bermanfaat.
Hal lain yang pantas dibanggakan dari Juwono itu, sangat patuh, taat dan sayang pada kedua orangtuanya. Dia eling (ingat) pada orangtua, tetap  mengabdi pada Papa dan Mamanya. Juwono tidak mau jadi anak kualat.
Sukses tidak membuat dia membusungkan dada. Tidak lantas jadi orang yang sombong. Tetap kalem dan sabar. Istrinya juga punya sifat yang sama. Pasangan yang penyabar. Kadang saya gregetan melihat kesabaran mereka itu. Maksud saya, pegawainya kalau bicara tidak seperti  berhadapan dengan bosnya. Nadanya agak kasar. Tidak pantas.
Menghadapi pegawainya yang seperti itu, pasangan Juwono dan istrinya diam saja. Tidak marah juga. Mungkin prinsip dia, pegawai itu adalah keluarga. Mereka menghadapi dengan sikap yang kalem, sabar dan sopan.  Dia memang luar biasa.
***


Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...