Ada beberapa hal menarik dari kondisi menjamurnya home industry. Saat itu, aneka produk curah tanpa merek, laku keras. Maklum, kondisi perekonomian waktu itu belum membaik sehingga konsumen kelas menengah ke bawah harus berhemat. Mereka meninggalkan produk bermerek yang harganya mahal. Lalu memilih produk curah yang murah. Konsumen membeli bukan lagi karena gengsi, tetapi karena fungsi.
Saya, dengan bendera CV. Tristar
Chemical, adalah salah satu pelaku pasar
yang merasakan manisnya buah dari usaha produk curah. Kemudian
bermunculan pelaku-pelaku lainnya. Termasuk mereka yang pernah menjadi
peserta Home Industry Class yang saya
adakan secara rutin.
Kondisi pasar seperti itu ternyata
mengusik pelaku pasar pabrikan bermodal besar. Mereka mengambil langkah
strategis untuk merebut pasar kelas bawah.
Caranya? Tiba-tiba pasar dibanjiri oleh second produk. Barang-barang dengan
kemasan ekonomis yang harganya bersaing dengan produk rumahan.
Misalnya, So Klin meluncurkan sabun low end merek Daia dalam kemasan ekonomis. Molto keluarkan
produk pelembut dan pewangi pakaian dengan harga ekonomis. Beberapa produk
lainnya juga melakukan hal yang sama.
Kemudian importir bermodal rakasa mengimpor makanan kecil, permen dengan
berbagai merek dan rasa. Minuman dalam kemasan pun membanjiri pasar. Di
antaranya minuman ringan Frutang, ale
ale, inaco, wong coco, sirup ABC special
grade dan masih banyak lagi. Semua pangsa pasar anak-anak dan remaja
dewasa.
Nah, apa yang terjadi? Pelaku bisnis
rumahan kelabakan. Tidak mampu bersaing. Tidak berdaya. Banyak yang terkapar
gulung tikar.
Dari kenyataan tadi, ada pelajaran
penting dari langkah strategis pengusaha besar yang mengeluarkan second
produk yang bisa kita jadikan pelajaran.
Langkah yang mereka lakukan itu,
sesungguhnya bukan karena merasa tersaingi oleh pengusaha rumahan.
Tetapi mereka pandai membaca peluang pasar. Konsumen kelas
menengah ke bawah adalah pasar yang menggiurkan. Mereka merebut dengan menggelontorkan produk kemasan
ekonomis. Dan mereka berhasil.
“Pasang surut dalam berbisnis, itu
hal biasa. Tapi mampu berkelit di masa sulit, itu baru luar biasa”.
Kalimat inspiratif itu pernah saya
dengar, tapi lupa siapa yang mengatakannya. Yang jelas bukan dari acara
sinetron. Atau mungkin pernah saya baca, tapi lupa bacanya di mana dan saya
pastikan bukan dari buku roman picisan.
Ah sudalah. Tidak penting “oleh siapa”
atau “baca di mana.”
Tanpa bermaksud menggurui, saya
ingin katakan bahwa ungkapan di atas seakan mengingatkan kita semua bahwa setiap usaha pasti menghadapi masalah. Bahkan
usaha yang terlihat sehat, berjalan normal, menghasilkan laba yang besar, sesungguhnya sedang “bermasalah”.
Bermasalah dalam dunia usaha itu,
(sekali lagi maaf, bukan menggurui) bukan saja muncul dari persaingan, tidak
hanya dari faktor kesulitan permodalan, juga tidak karena omzet terus berkurang dan merugi. Tantangan
zaman yang terus berkembang dengan cepat adalah sumber masalah. Ini yang kadang
kita tidak menyadari. Sering terlena. Ketika usaha bermasalah, kika tidak bisa
berbuat banyak. Kehancuranlah yang terjadi.
Perkembangan usaha kita bergerak
seperti deret hitung. Sangat lamban dan terpola seperti berhitung. Dimulai dari
angka nol, bergerak ke angka 1 – 2 – 3 dan seterusnya. Sementara perubahan situasi dunia usaha sulit
diprediksi. Bergerak seperti deret angka. Melompat dari angka 1 bisa langsung
ke angka 10, lompat lagi ke angka 20 dan seterusnya.
Itulah sebabnya, saya katakan bahwa
usaha kita yang terlihat sehat dan berjalan normal itu, sejatinya ada masalah
yang sedang mengintai dan harus disikapi. Kata kuncinya adalah: “berjuang”. Kita harus berjuang, siap
berperang dan kita adalah panglimanya. Menang atau kalah, sama saja.
Sebab, setelah itu kita akan tetap terus berjuang.
Sampai di sini, saya ingin kembali
pada Home
Industry Class yang saat itu
berjalan sehat dan bayak peminat.
Peserta selalu membludak. Kadang terpaksa harus
menolak peserta karena kapasitas tempat tidak bisa menampung. Peserta
rela antri dan mendaftar untuk ikut kelas kerikutnya. Apakah saya puas lalu
berpangku tangan?
Jawabannya: “tidak”. Otak saya tidak
pernah berhenti bekerja. Pikiran saya sibuk mencari terobosan dan formulasi-formulasi
baru untuk mengerek bendera Tristar agar terus berkibar. Istri saya, Evi juga
tidak kalah sibuk. Dia betah berada di ruang laboratorium melakukan
penelitian. Rutinitas itu ditekuni sejak
tahun 1999 hingga tahun 2000-an.
Saya menggandeng media mainstream sebagai patner
agar publikasi lebih meluas. Saat itu sosial media atau internet belum merebak seperti sekarang
ini. Saya menjalin kerjasama dengan
tabloid Nyata, Koki dan harian Radar Surabaya. Ketiga media ini adalah
anak perusahaan Jawa Pos.
Dari kegitan kursus ini pula, saya
mengenal orang-orang hebat yang aktif mendukung kegiatan saya. Mereka menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kesuksesan pelatihan yang saya gelar. Nany
Wijaya, boss tabloid Nyata dan Koki yang memberi ruang kerjasama promo hingga
acara tersebar luas. Chef Fuuzi dari Hotel Tunjungan yang mengajarkan cara
membuat Kebab Turki ala Baba Rafi.
Jadi akrab juga dengan Yanuar Kadaryanto
yang mahir bikin siomay dan siobak. Kenal dengan Cicilia dan Petrus untuk
belajar meramu minuman café ala hotel berbintang. Kemudian kenal juga Otje
Wibowo ketika kali pertama menggelar pelatihan cara membuat terang bulan.
Tentu masih banyak pihak lain yang
tidak bisa saya sebut satu persatu. Mereka yang
ikut berjasa, mendukung dan
menginpirasi saya sehingga kegiatan kursus kilat itu berkembang menjadi sebuah perguruan
tinggi. .
Dari mereka itulah Mereka adalah
orang yang mengusulkan agar kegiatan kursus yang ditingkatkan menjadi lembaga
pendidikan formal. Dikembangkan lebih profesional menjadi sekolah kuliner.
Masukan-masukan dari teman-teman itu
membuat pikiran saya jadi sibuk. Jadi sering berandai-andai. Jadi bahan
diskusi bersama istri.
“Kita pasti bisa. Jangan banyak
pertimbangan. Yang penting eksekusi dahulu, revisi kemudian.” Kalimat itu
diucapkan istri saya dengan nada
meyakinkan. Ungkapan itu pula yang merontokkan keraguanku kala muncul keinginan
untuk meningkatkan status kursus kilat menjadi sekolah formal. Istri yang
selalu mendukung dan memotivasi suami. Istri
saya benar: “eksekusi dahulu, revisi kemudian”.
Saya mengundang teman-teman yang
hebat-hebat itu untuk meeting. Ada Titi Kasiati, Cicilia, Tri Hartono, Otje
Wibowo dan Yanuar Kadaryanto. Tempatnya di Golden City Mall di kawasan Dukuh
Pakis Surabaya. Semua berjalan mulus. Nyaris tidak ada hambatan yang
berarti. Dari beberapa kali pertemuan,
maka lahirlan Tristar Culinary Institute
(TCI). Nama itu diproklamirkan tepat pada tanggal 7 Januari 2008. Kantor
sekaligus tempat kegiatan dipusatkan di sebuah ruko kecil, Jalan Raya Jemursari
234 Surabaya.
Saat ini, dengan kemajuan teknologi
komunikasi, kursus tidak lagi harus di dalam kelas tertutup. Sudah tidak harus face to face. Kursus sudah bisa
dilakukan secara intens dan fleksibel
dari jarak jauh. Tristar Culinary
Institute sudah memanfaatkan teknologi
kursus jarak jauh dalam berbagai jenis paket. Misalnya lewat VCD tutorial dan e books.
***