Wednesday, November 28, 2018

Eksekusi Dahulu, Revisi Kemudian


Kursus Jadi Institute   


Ada beberapa hal menarik dari  kondisi menjamurnya home industry. Saat itu,  aneka produk  curah tanpa merek,  laku keras. Maklum, kondisi perekonomian  waktu itu belum membaik sehingga konsumen kelas menengah ke bawah harus berhemat. Mereka meninggalkan produk bermerek yang harganya mahal. Lalu  memilih produk curah yang murah. Konsumen membeli bukan lagi  karena gengsi,  tetapi karena fungsi.
Saya, dengan bendera CV. Tristar Chemical,  adalah salah satu  pelaku pasar  yang merasakan  manisnya  buah dari usaha produk curah.  Kemudian  bermunculan pelaku-pelaku lainnya. Termasuk mereka yang pernah menjadi peserta Home Industry Class yang saya adakan secara rutin.
Kondisi pasar seperti itu ternyata mengusik pelaku pasar pabrikan bermodal besar. Mereka mengambil langkah strategis untuk merebut pasar kelas bawah.  Caranya? Tiba-tiba pasar dibanjiri oleh second produk. Barang-barang dengan  kemasan ekonomis yang harganya bersaing dengan produk rumahan.
Misalnya, So Klin meluncurkan sabun low end merek  Daia dalam kemasan ekonomis. Molto keluarkan produk pelembut dan pewangi pakaian dengan harga ekonomis. Beberapa produk lainnya juga melakukan hal yang sama.
Kemudian importir bermodal rakasa  mengimpor makanan kecil, permen dengan berbagai merek dan rasa. Minuman dalam kemasan pun membanjiri pasar. Di antaranya minuman ringan  Frutang, ale ale, inaco, wong coco, sirup ABC special grade dan masih banyak lagi. Semua pangsa pasar anak-anak dan remaja dewasa. 
Nah, apa yang terjadi? Pelaku bisnis rumahan kelabakan. Tidak mampu bersaing. Tidak berdaya. Banyak yang terkapar gulung tikar.
Dari kenyataan tadi, ada pelajaran penting dari langkah strategis pengusaha besar yang mengeluarkan  second produk yang bisa kita jadikan pelajaran.  Langkah yang mereka lakukan itu,  sesungguhnya bukan karena merasa tersaingi oleh pengusaha rumahan. Tetapi  mereka  pandai membaca peluang pasar. Konsumen kelas menengah ke bawah adalah pasar yang menggiurkan. Mereka  merebut dengan menggelontorkan produk kemasan ekonomis. Dan mereka berhasil.

“Pasang surut dalam berbisnis, itu hal biasa. Tapi mampu berkelit di masa sulit, itu baru luar biasa”.

Kalimat inspiratif itu pernah saya dengar, tapi lupa siapa yang mengatakannya. Yang jelas bukan dari acara sinetron. Atau mungkin pernah saya baca, tapi lupa bacanya di mana dan saya pastikan bukan dari buku roman picisan.   Ah sudalah. Tidak penting “oleh siapa”  atau “baca di mana.”
Tanpa bermaksud menggurui, saya ingin katakan  bahwa  ungkapan di atas  seakan mengingatkan kita semua bahwa  setiap usaha pasti menghadapi masalah. Bahkan usaha yang terlihat sehat, berjalan normal, menghasilkan laba yang besar,  sesungguhnya sedang “bermasalah”.
Bermasalah dalam dunia usaha itu, (sekali lagi maaf, bukan menggurui) bukan saja muncul dari persaingan, tidak hanya dari faktor kesulitan permodalan, juga tidak karena  omzet terus berkurang dan merugi. Tantangan zaman yang terus berkembang dengan cepat adalah sumber masalah. Ini yang kadang kita tidak menyadari. Sering terlena. Ketika usaha bermasalah, kika tidak bisa berbuat banyak. Kehancuranlah yang terjadi.
Perkembangan usaha kita bergerak seperti deret hitung. Sangat lamban dan terpola seperti berhitung. Dimulai dari angka nol, bergerak ke angka 1 – 2 – 3 dan seterusnya. Sementara  perubahan situasi dunia usaha sulit diprediksi. Bergerak seperti deret angka. Melompat dari angka 1 bisa langsung ke angka 10, lompat lagi ke angka 20 dan seterusnya. 
Itulah sebabnya, saya katakan  bahwa  usaha kita yang terlihat sehat dan berjalan normal itu, sejatinya ada masalah yang sedang mengintai dan harus disikapi. Kata kuncinya adalah:  “berjuang”. Kita harus berjuang, siap berperang dan kita  adalah  panglimanya. Menang atau kalah, sama saja. Sebab, setelah itu kita akan tetap terus berjuang.
Sampai di sini, saya ingin kembali pada  Home Industry Class yang saat itu  berjalan sehat dan  bayak peminat. Peserta selalu membludak. Kadang terpaksa harus  menolak peserta karena kapasitas tempat tidak bisa menampung. Peserta rela antri dan mendaftar untuk ikut kelas kerikutnya. Apakah saya puas lalu berpangku tangan?
Jawabannya: “tidak”. Otak saya tidak pernah berhenti bekerja. Pikiran saya sibuk mencari terobosan dan formulasi-formulasi baru untuk mengerek bendera Tristar agar terus berkibar. Istri saya, Evi juga tidak kalah  sibuk.  Dia betah berada di ruang laboratorium melakukan penelitian.  Rutinitas itu ditekuni sejak tahun 1999 hingga tahun 2000-an.
Saya menggandeng media mainstream sebagai patner agar publikasi lebih meluas. Saat itu sosial media  atau internet belum merebak seperti sekarang ini. Saya menjalin kerjasama dengan  tabloid Nyata, Koki dan harian Radar Surabaya. Ketiga media ini adalah anak perusahaan Jawa Pos.
Dari kegitan kursus ini pula, saya mengenal orang-orang hebat yang aktif mendukung kegiatan saya. Mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesuksesan pelatihan yang saya gelar. Nany Wijaya, boss tabloid Nyata dan Koki yang memberi ruang kerjasama promo hingga acara tersebar luas. Chef Fuuzi dari Hotel Tunjungan yang mengajarkan cara membuat Kebab Turki ala Baba Rafi.
Jadi akrab juga dengan Yanuar Kadaryanto yang mahir bikin siomay dan siobak. Kenal dengan Cicilia dan Petrus untuk belajar meramu minuman café ala hotel berbintang. Kemudian kenal juga Otje Wibowo ketika kali pertama menggelar pelatihan cara membuat terang bulan.
Tentu masih banyak pihak lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Mereka yang   ikut berjasa, mendukung dan menginpirasi saya sehingga kegiatan kursus kilat itu berkembang menjadi sebuah perguruan tinggi. . 
Dari mereka itulah Mereka adalah orang yang mengusulkan agar kegiatan kursus yang ditingkatkan menjadi lembaga pendidikan formal. Dikembangkan lebih profesional menjadi sekolah kuliner. Masukan-masukan dari teman-teman itu  membuat pikiran saya jadi sibuk. Jadi sering berandai-andai. Jadi bahan diskusi bersama istri.
“Kita pasti bisa. Jangan banyak pertimbangan. Yang penting eksekusi dahulu, revisi kemudian.” Kalimat itu diucapkan  istri saya dengan nada meyakinkan. Ungkapan itu pula yang merontokkan keraguanku kala muncul keinginan untuk meningkatkan status kursus kilat menjadi sekolah formal. Istri yang selalu mendukung dan memotivasi suami.  Istri saya benar: “eksekusi dahulu, revisi kemudian”.
Saya mengundang teman-teman yang hebat-hebat itu untuk meeting. Ada Titi Kasiati, Cicilia, Tri Hartono, Otje Wibowo dan Yanuar Kadaryanto. Tempatnya di Golden City Mall di kawasan Dukuh Pakis Surabaya. Semua berjalan mulus. Nyaris tidak ada hambatan yang berarti.  Dari beberapa kali pertemuan, maka lahirlan Tristar Culinary Institute (TCI). Nama itu diproklamirkan tepat pada tanggal 7 Januari 2008. Kantor sekaligus tempat kegiatan dipusatkan di sebuah ruko kecil, Jalan Raya Jemursari 234 Surabaya.
Saat ini, dengan kemajuan teknologi komunikasi, kursus tidak lagi harus di dalam kelas tertutup. Sudah tidak harus face to face. Kursus sudah bisa dilakukan secara intens dan fleksibel dari jarak jauh. Tristar Culinary Institute sudah memanfaatkan teknologi  kursus jarak jauh dalam berbagai jenis paket.  Misalnya lewat VCD tutorial dan  e books.  
***


Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...