“Kita pindah ke Surabaya saja. Di sana kita bisa memulai
hidup baru,” salah satu kalimat yang saya ingat diucapkan Papa saya, Pek Khe Eng
waktu itu. Sebagai anak kecil yang baru
duduk di kelas 3 sekolah dasar, tentu saja tidak bisa berpikir. Tidak mampu mengemukakan
pendapat. Tidak juga protes atau bilang setuju. Saya diam saja.
Keputusan pindah ke Surabaya itu, pasti berkaitan dengan hancurnya usaha keluarga. Tapi kenapa harus
pindah ke Surabaya? Kok tidak ke Bandung, Semarang atau pindah ke Jakarta saja?
Alasan paling kuat dan masuk akal,
karena di Surabaya Mamaku, Koo Kiem Hian punya dua saudara kandung yang menetap
di ibu kota provinsi Jawa Timur itu. Yaitu Koo Kiem Eng (kakak) dan Koo Kiem
Sing (adik).
Sebenarnya, di balik sikap diam saya ketika Papa mengatakan
pindah ke Surabaya, ada perasaan girang bukan kepalang. Saya membayangkan
kehidupan baru yang menyenangkan seperti layaknya anak-anak yang tinggal di
kota-kota besar. Punya teman baru yang keren. Tiap hari bisa rekreasi. Tapi di
sini lain, kadang muncul rasa sedih karena terpaksa berpisah dengan teman-teman
akrab di SD Santa Maria Tulungagung.
Ternyata, yang kualami berbanding terbalik dengan fantasi
indah tentang Surabaya. Membayangkan akan jadi anak kota yang menyenangkan,
ternyata dipaksa menjadi anak yang prihatin. Bergelut dengan banyak problem,
terseret dalam kehidupan yang serba sulit.
Papa hanya bisa mengontrak rumah petak ukuran 3 x 8 meter di
Jalan Pandegiling No. 169. Rumah dengan
nomor 169 itu bukan satu-satunya. Ada
juga rumah 169 A, 169 B, 169 C 169 D dan 169 E. Kalau tidak salah, rumah itu
milik janda kaya yang dibangun berpetak-petak untuk disewakan.
Rumah yang kami tempati tersebut terdiri dari 1 ruangan
depan yang dimanfaatkan untuk buka usaha obras dan jualan perlengkapan
menjahit. Kemudian satu ruangan lagi di bagian tengah, dimanfaatkan untuk
kamar tidur dilengkapi ranjang kayu susun dua.
Di bagian paling belakang, ada kamar mandi kecil dan dapur. Sangat jauh berbeda dengan rumah yang
kami tempati di Tulungagung.
Ada rasa kecewa dan ingin protes. Tapi itu tidak bisa saya ungkapkan. Sebab Papa selalu menanamkan
pada anak-anaknya untuk jadi orang yang
tabah, kuat menghadapi masalah dan tidak boleh mengeluh. Saya masih ingat nasehat Papa ketika melihat
sikap kecewa anak-anaknya.
“Ini hanya sementara, nanti kalau kita sudah punya uang,
bisa kontrak rumah yang lebih besar. Bahkan kita bisa beli rumah yang jauh
lebih bagus dari rumah kita di Tulungagung,” kata Papa dengan kalimat yang menghibur.
Kata “sementara” di dalam benak saya berarti hanya beberapa
bulan saja. Tidak lama. Tapi kenyataannya?
Dua tahun kami hidup berhimpit di rumah sempit. Tidur di kamar pengab di
atas ranjang susun yang mengeluarkan bunyi ‘kreaaat
kreaaat’ seperti mau patah.
Papa dan Mama tidur di ranjang bagian bawah, sementara di
ranjang bagian atas untuk kami, anak-anaknya. Saya, kakak saya Ekawati
Juliastuti (Pek Hwie Ing) dan adik saya
Juwono Martono (Pek Coan Hong/Pai Jien).
Kami tidur ‘untel-untelan’ (berdesakan). Rasanyan sulit sekali untuk bergerak
atau mengatur posisi. Kalau sudah terlentang ya terlentang terus. Jika tidurnya
miring ke kiri atau ke kanan, ya harus betah sampai pagi dengan posisi seperti
itu. **