Tuesday, November 27, 2018

HIDUP BERHIMPIT DI RUMAH SEMPIT


“Kita pindah ke Surabaya saja. Di sana kita bisa memulai hidup baru,” salah satu kalimat yang saya ingat diucapkan Papa saya, Pek Khe Eng waktu itu.  Sebagai anak kecil yang baru duduk di kelas 3 sekolah dasar, tentu saja tidak bisa berpikir. Tidak mampu mengemukakan pendapat. Tidak juga protes atau bilang setuju.   Saya diam saja. 

Keputusan pindah ke Surabaya itu, pasti berkaitan dengan  hancurnya usaha keluarga. Tapi kenapa harus pindah ke Surabaya? Kok tidak ke Bandung, Semarang atau pindah ke Jakarta saja? Alasan paling kuat dan  masuk akal, karena di Surabaya Mamaku, Koo Kiem Hian punya dua saudara kandung yang menetap di ibu kota provinsi Jawa Timur itu. Yaitu Koo Kiem Eng (kakak) dan Koo Kiem Sing (adik). 

Sebenarnya, di balik sikap diam saya ketika Papa mengatakan pindah ke Surabaya, ada perasaan girang bukan kepalang. Saya membayangkan kehidupan baru yang menyenangkan seperti layaknya anak-anak yang tinggal di kota-kota besar. Punya teman baru yang keren. Tiap hari bisa rekreasi. Tapi di sini lain, kadang muncul rasa sedih karena terpaksa berpisah dengan teman-teman akrab di SD Santa Maria Tulungagung. 

Ternyata, yang kualami berbanding terbalik dengan fantasi indah tentang Surabaya. Membayangkan akan jadi anak kota yang menyenangkan, ternyata dipaksa menjadi anak yang prihatin. Bergelut dengan banyak problem, terseret dalam kehidupan yang serba sulit. 

Papa hanya bisa mengontrak rumah petak ukuran 3 x 8 meter di Jalan Pandegiling No. 169.  Rumah dengan nomor 169 itu  bukan satu-satunya. Ada juga rumah 169 A, 169 B, 169 C 169 D dan 169 E. Kalau tidak salah, rumah itu milik janda kaya yang dibangun berpetak-petak untuk disewakan. 

Rumah yang kami tempati tersebut terdiri dari 1 ruangan depan yang dimanfaatkan untuk buka usaha obras dan jualan perlengkapan menjahit.  Kemudian satu ruangan  lagi di bagian tengah, dimanfaatkan untuk kamar tidur dilengkapi ranjang kayu susun dua.  Di bagian paling belakang, ada kamar mandi kecil dan  dapur. Sangat jauh berbeda dengan rumah yang kami tempati di Tulungagung. 

Ada rasa kecewa dan ingin protes. Tapi itu tidak bisa  saya ungkapkan. Sebab Papa selalu menanamkan pada  anak-anaknya untuk jadi orang yang tabah, kuat menghadapi masalah dan tidak boleh mengeluh.  Saya masih ingat nasehat Papa ketika melihat sikap kecewa anak-anaknya. 

“Ini hanya sementara, nanti kalau kita sudah punya uang, bisa kontrak rumah yang lebih besar. Bahkan kita bisa beli rumah yang jauh lebih bagus dari rumah kita di Tulungagung,” kata  Papa dengan kalimat yang menghibur.

Kata “sementara” di dalam benak saya berarti hanya beberapa bulan saja. Tidak lama. Tapi kenyataannya?  Dua tahun kami hidup berhimpit di rumah sempit. Tidur di kamar pengab di atas ranjang susun yang mengeluarkan bunyi ‘kreaaat kreaaat’ seperti mau patah.

Papa dan Mama tidur di ranjang bagian bawah, sementara di ranjang bagian atas untuk kami, anak-anaknya. Saya, kakak saya Ekawati Juliastuti (Pek Hwie Ing)  dan adik saya Juwono  Martono (Pek Coan Hong/Pai Jien). Kami  tidur ‘untel-untelan’ (berdesakan). Rasanyan sulit sekali untuk bergerak atau mengatur posisi. Kalau sudah terlentang ya terlentang terus. Jika tidurnya miring ke kiri atau ke kanan, ya harus betah sampai pagi dengan posisi seperti itu. **


Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...