Tuesday, November 27, 2018

KETIKA BISNIS PAPA BANGKRUT


Ibarat  rumah mewah. Berdiri kokoh, megah dan indah.
Tiba-tiba diterjang bencana. Roboh dan rata dengan tanah.
Tak ada harta benda yang tersisa.

Itulah perumpamaan paling pas untuk menggambarkan keadaan keluarga saya. Saat itu, orangtuaku salah satu orang kaya di Tulungagung. Kekayaan itu diperoleh dari warisan  Engkong, orangtua Papaku. 
Ada peternakan babi yang cukup luas dengan ribuan ekor ternak di Kecamatan Ngunut.  Juga dapat warisan beberapa buah  rumah. Sementara Mamaku, sukses mengelola toko busana besar di Jalan Telasih Tulunggagung. Papa juga punya bisnis lain yaitu jual beli mobil. Penghasilan dari peternakan, toko dan usaha Papa saat itu, sudah lebih dari cukup.
Bisnis peternakan babi warisan Engkong di tangan Papa, awalnya berjalan lancar.  Hasil ternak dipasarkan ke Bandung. Uang yang didapat dari penjualan ternak, diputar lagi dengan cara kulakan barang dagangan berupa garmen di Bandung untuk dijual di Tulungagung. Sebab, harga barang di sana  jauh lebih murah dibanding di Surabaya. Keuntungan bisa berlipat ganda.
Bisnis memang tidak selamanya berjalan mulus. Ada saja masalah yang menghadang.  Umumnya,  pelaku yang menghambat kelancaran bisnis datang dari orang yang kita kenal. Mungkin Papa terlalu baik dan sabar sehingga  tidak disadari. Masak sih mereka mau makan kita?
Itulah yang terjadi. Kabaikan dan kesabaran Papa dimanfaatkan oleh niat jahat orang dekat atau sabahat. Mobil misalnya, bisa dengan mudahnya dipinjam oleh teman-temannya. Selesai dipinjam oleh teman yang satu, pindah ke teman yang lain. Begitu seterusnya. Berhari-hari dipakai entah ke mana. Mobil itu kembali dalam keadaan rusak. Papa memperbaiki dengan biaya sendiri.
Bukan hanya barang-barang mewah yang biasa  dipinjam oleh teman-temannya. Setelan jas kesayangannya juga rela dipinjamkan  sampai rusak. Berbuat baik itu tidak salah. Tapi terlalu baik itu kadang menimbulkan masalah. 
Usaha peternakan pun demikian. Semula, berjalan lancar karena mandor di peternakan bisa dipercaya. Pembeli ternak di Bandung juga bisa jadi rekan bisnis yang baik. Di tengah perjalanan, muncul masalah. Mandornya ganti dan perusahaan yang menerima ternak di Bandung juga berbeda orang.
Dari sinilah awal petaka itu muncul. Peternakan babi digerogoti dari dalam. Papa dicurangi oleh mandor yang tidak jujur. Harga dan timbangan di mainkan. Menurut cerita yang saya dengar dari keluarga Mama, ternak itu digarong oleh pembeli yang nakal. Berkali-kali diangkut dengan truk tetapi pembayarannya tidak jelas.  
Hal itu bisa terjadi karena Papa terlalu sabar. Gampang percaya pada orang lain. Bahkan, sampai detik ini, Papa tidak pernah menyebut satu pun nama pengusaha yang pernah mencuranginya waktu itu.  Mungkin Papa menganggap tidak ada gunanya. Berkeluh kesah dan menangis tidak akan bisa mengembalikan keadaan.  Seperti pepatah Cina, “Air mata tak dapat memadamkan api”. 

Arisan  Piao
Usaha keluarga kami memang tidak langsung bangkrut. Ketika peternakan terus merugi, aset keluarga juga sedikit  demi sedikit hilang. Papa dan Mama terus berusaha bertahan dengan cara yang terbilang konyol. Gali lubang tutup lubang. Pinjam di sini untuk menutup hutang di sana.  Kemudian ikut beberapa arisan dan juga menjadi  bandar atau penyelenggara arisan. Semua itu untuk bertahan dari keterpurukan. 
Waktu itu, sedang musim arisan piao atau ada juga yang menyebut arisan piau atau piaw.  Saat itu, arisan model ini sangat popular di kalangan etnis Tionghoa. Papa dan Mama memanfaatkan arisan piao itu  untuk mendapatkan modal. Mudah dan cepat. Tapi resikonya berat. 
Misalnya, ada 10 anggota arisan dan disepakati per bulan 1 juta rupiah. Berarti, sekali tarikan dapat 10 juta rupiah. Kalau ikut beberapa kelompk arisan, maka modal yang bisa didapat juga besar. Mama dan Papa selalu berusaha menjadi orang pertama yang mendapat arisan.  
Untuk bisa menjadi orang pertama,  tentu ada syaratnya. Dia harus memenangkan penawaran nge-piao. Mereka yang ingin mendapat arisan, harus menulis di secarik kertas, jumlah uang yang  dipia,  lalu dimasukkan ke dalam amplop tertutup.  Jadi, jumlah piao sangat rahasia. Hanya kita yang tahu, orang lain tidak.  Siapa yang paling besar jumlah piao, maka dialah yang berhak menerima arisan pertama.
Ada yang 50 ribu rupiah, ada yang 100 ribu dan ada yang menulis 150 ribu rupiah. Mereka yang nge-piao   150 ribu berhak menerima arisan. Maka dia hanya menerima uang arisan sebesar 8,5 juta rupiah. Berarti peserta lain hanya membayar 850 ribu saja. Sementara yang menerima pertama tadi, setiap bulan tetap membayar 1 juta rupiah.
Mereka yang jadi bandar arisan punya tanggungjawab besar. Kalau ada anggota yang sudah dapat arisan  terus macet pembayaran, maka bandar yang harus nomboki. Itulah yang dialami oleh Papa dan Mama saya. Mereka menjadi bandar arisan dan pada saat yang sama juga ikut arisan piao di beberapa tempat. 
Arisan piao yang diharapkan bisa membantu,  justru menambah beban hutang yang makin lama makin besar. Untuk nomboki, harus pinjam uang dengan jaminan aset yang masih ada di rumah.  Kerugian sebagai bandar arisan piao bisa terbayar, tetapi kewajiban membayar arisan di beberapa tempat terus menumpuk. Ibarat balon karet, ditekan di satu sisi, menggelembung di sisi yang lain. Keadaan sudah tidak tertolong lagi. 
Ketika bandar datang menagih dan kami tidak bisa bayar, maka barang-barang berharga di dalam rumah diangkut. TV disita, lemari es diambil, piano kesayangan diangkut. Semua barang berharga diambil paksa. Mereka marah dan lalu mengusung barang-barang tadi.  Papa  tidak bisa berbuat apa-apa. Pasrah  melihat barang-barang digotong keluar dari rumah. 
Sementara Mama? Tidak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.  Wanita yang sangat saya hormati itu menangis sambil bergantian memeluk ketiga anaknya yang juga ikut mengurai air mata. Selang beberapa bulan setelah kejadian itu, rumah satu-satunya juga dilego.  Hasil jual rumah itu pun belum bisa melunasi hutang Papa Mama. Karena itulah,  tahun  1976 kami sekeluarga pindah ke Surabaya.
***

Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...