Ibarat rumah mewah. Berdiri kokoh, megah dan indah.
Tiba-tiba
diterjang bencana. Roboh dan rata dengan tanah.
Tak ada harta
benda yang tersisa.
Itulah
perumpamaan paling pas untuk menggambarkan keadaan keluarga saya. Saat itu,
orangtuaku salah satu orang kaya di Tulungagung. Kekayaan itu diperoleh dari
warisan Engkong, orangtua Papaku.
Ada
peternakan babi yang cukup luas dengan ribuan ekor ternak di Kecamatan
Ngunut. Juga dapat warisan beberapa
buah rumah. Sementara Mamaku, sukses
mengelola toko busana besar di Jalan Telasih Tulunggagung. Papa juga punya
bisnis lain yaitu jual beli mobil. Penghasilan dari peternakan, toko dan usaha
Papa saat itu, sudah lebih dari cukup.
Bisnis
peternakan babi warisan Engkong di tangan Papa, awalnya berjalan lancar. Hasil ternak dipasarkan ke Bandung. Uang yang
didapat dari penjualan ternak, diputar lagi dengan cara kulakan barang dagangan
berupa garmen di Bandung untuk dijual di Tulungagung. Sebab, harga barang di
sana jauh lebih murah dibanding di
Surabaya. Keuntungan bisa berlipat ganda.
Bisnis
memang tidak selamanya berjalan mulus. Ada saja masalah yang menghadang. Umumnya,
pelaku yang menghambat kelancaran bisnis datang dari orang yang kita
kenal. Mungkin Papa terlalu baik dan sabar sehingga tidak disadari. Masak sih mereka mau makan
kita?
Itulah
yang terjadi. Kabaikan dan kesabaran Papa dimanfaatkan oleh niat jahat orang
dekat atau sabahat. Mobil misalnya, bisa dengan mudahnya dipinjam oleh
teman-temannya. Selesai dipinjam oleh teman yang satu, pindah ke teman yang
lain. Begitu seterusnya. Berhari-hari dipakai entah ke mana. Mobil itu kembali
dalam keadaan rusak. Papa memperbaiki dengan biaya sendiri.
Bukan
hanya barang-barang mewah yang biasa
dipinjam oleh teman-temannya. Setelan jas kesayangannya juga rela
dipinjamkan sampai rusak. Berbuat baik
itu tidak salah. Tapi terlalu baik itu kadang menimbulkan masalah.
Usaha
peternakan pun demikian. Semula, berjalan lancar karena mandor di peternakan
bisa dipercaya. Pembeli ternak di Bandung juga bisa jadi rekan bisnis yang
baik. Di tengah perjalanan, muncul masalah. Mandornya ganti dan perusahaan yang
menerima ternak di Bandung juga berbeda orang.
Dari sinilah awal petaka itu muncul. Peternakan babi
digerogoti dari dalam. Papa dicurangi oleh mandor yang tidak jujur. Harga dan
timbangan di mainkan. Menurut cerita yang saya dengar dari keluarga Mama,
ternak itu digarong oleh pembeli yang nakal. Berkali-kali diangkut dengan truk
tetapi pembayarannya tidak jelas.
Hal itu bisa terjadi karena Papa terlalu sabar. Gampang
percaya pada orang lain. Bahkan, sampai detik ini, Papa tidak pernah menyebut
satu pun nama pengusaha yang pernah mencuranginya waktu itu. Mungkin Papa menganggap tidak ada gunanya.
Berkeluh kesah dan menangis tidak akan bisa mengembalikan keadaan. Seperti pepatah Cina, “Air mata tak dapat memadamkan api”.
Arisan Piao
Usaha keluarga kami memang tidak langsung bangkrut. Ketika
peternakan terus merugi, aset keluarga juga sedikit demi sedikit hilang. Papa dan Mama terus
berusaha bertahan dengan cara yang terbilang konyol. Gali lubang tutup lubang. Pinjam
di sini untuk menutup hutang di sana.
Kemudian ikut beberapa arisan dan juga menjadi bandar atau penyelenggara arisan. Semua itu
untuk bertahan dari keterpurukan.
Waktu itu, sedang musim arisan piao atau ada juga yang menyebut arisan piau atau piaw. Saat itu, arisan model ini sangat popular di
kalangan etnis Tionghoa. Papa dan Mama memanfaatkan arisan piao itu untuk mendapatkan modal. Mudah dan cepat.
Tapi resikonya berat.
Misalnya, ada 10 anggota arisan dan disepakati per bulan 1
juta rupiah. Berarti, sekali tarikan dapat 10 juta rupiah. Kalau ikut beberapa
kelompk arisan, maka modal yang bisa didapat juga besar. Mama dan Papa selalu
berusaha menjadi orang pertama yang mendapat arisan.
Untuk bisa menjadi orang pertama, tentu ada syaratnya. Dia harus memenangkan penawaran
nge-piao. Mereka yang ingin mendapat
arisan, harus menulis di secarik kertas, jumlah uang yang dipia, lalu dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Jadi, jumlah piao sangat rahasia. Hanya kita
yang tahu, orang lain tidak. Siapa yang
paling besar jumlah piao, maka dialah
yang berhak menerima arisan pertama.
Ada yang 50 ribu rupiah, ada yang 100 ribu dan ada yang
menulis 150 ribu rupiah. Mereka yang nge-piao
150 ribu berhak menerima arisan.
Maka dia hanya menerima uang arisan sebesar 8,5 juta rupiah. Berarti peserta
lain hanya membayar 850 ribu saja. Sementara yang menerima pertama tadi, setiap
bulan tetap membayar 1 juta rupiah.
Mereka yang jadi bandar arisan punya tanggungjawab besar. Kalau
ada anggota yang sudah dapat arisan terus macet pembayaran, maka bandar yang harus
nomboki. Itulah yang dialami oleh Papa dan Mama saya. Mereka menjadi bandar
arisan dan pada saat yang sama juga ikut arisan piao di beberapa tempat.
Arisan piao yang
diharapkan bisa membantu, justru
menambah beban hutang yang makin lama makin besar. Untuk nomboki, harus pinjam
uang dengan jaminan aset yang masih ada di rumah. Kerugian sebagai bandar arisan piao bisa terbayar, tetapi kewajiban
membayar arisan di beberapa tempat terus menumpuk. Ibarat balon karet, ditekan
di satu sisi, menggelembung di sisi yang lain. Keadaan sudah tidak tertolong
lagi.
Ketika bandar datang menagih dan kami tidak bisa bayar, maka
barang-barang berharga di dalam rumah diangkut. TV disita, lemari es diambil,
piano kesayangan diangkut. Semua barang berharga diambil paksa. Mereka marah
dan lalu mengusung barang-barang tadi.
Papa tidak bisa berbuat apa-apa. Pasrah
melihat barang-barang digotong keluar
dari rumah.
Sementara Mama? Tidak satu kata pun yang terucap dari
mulutnya. Wanita yang sangat saya
hormati itu menangis sambil bergantian memeluk ketiga anaknya yang juga ikut
mengurai air mata. Selang beberapa bulan setelah kejadian itu, rumah
satu-satunya juga dilego. Hasil jual rumah
itu pun belum bisa melunasi hutang Papa Mama. Karena itulah, tahun
1976 kami sekeluarga pindah ke Surabaya.
***