NOTHING IMPOSSIBLE
"Tristar: Dari Kursus Jadi Perguruan Tinggi"
Saya lahir di Tulungagung Jawa Timur, 29 Nevember 1966. Anak kedua dari tiga bersaudara. Papa saya, Pek Khe Eng mengelola sebuah peternakan babi warisan dari Engkong (kakek). Lahan peternakan yang ada di pinggiran kota, cukup luas dengan jumlah ternak lebih dari 1000 ekor babi. Sementara Mama saya, Koo Kiem Hian mengelola sebuah toko garmen.
Penghasilan dari usaha dan bisnis kedua orangtua di
Tulunggagung itu, lebih dari cukup. Tapi keadaan itu tidak berjalan lama.
Ketika saya duduk di kelas 3 sekolah dasar, usaha dan bisnis kedua orangtua
saya bangkrut. Ekonomi keluarga porak poranda. Hutang ada di mana-mana. Semua
aset yang tersisa dilego tapi tidak
cukup untuk menutup semua hutang.
Kami pindah ke kota Surabaya.
Memulai hidup baru dalam suasana yang memprihatinkan. Kontrak rumah petak yang sekaligus dijadikan tempat
usaha. Rumah dengan satu kamar tidur ditempati berlima. Pengap, ditambah
gangguan dari mahluk bernama tikus, kecoak dan nyamuk.
Ketika bocah-bocah seusia saya bebas bermain dengan dunia
anak-anaknya, maka saya harus bergelut dengan kesibukan membantu orangtua.
Setiap hari, sepulang sekolah, , bawa keranjang plastik berisi jajan untuk
dijual.
Jika anak-anak seusia saya setiap
hari mendapat jatah uang saku dan dihabiskan untuk membeli jajan sesukanya,
sementara saya harus berusaha mencari uang sendiri dan membelanjakan dengan cara yang hemat agar ada sisa untuk ditabung.
Karena terlalu hemat, ada sebagian teman
yang mengolok-olok saya sebagai anak yang
pelit. Saya cuekin saja. Toh mereka
tidak tahu keadaan keluarga saya yang sebenarnya.
Ketika jam istirahat,
teman-teman bergegas ke kantin untuk makan atau minum. Saya juga kadang ikut ke
kantin, bukan untuk jajan. Saya hanya mengecek
apakah es buah plastik yang saya titipkan di kantin itu banyak yang laku.
Sebab, setiap hari saya bawa satu termos
berisi es. Itu dagangan saya untuk menambah uang saku.
Kalau es buah banyak yang
laku, saya sudah bisa menghitung berapa keuntungan yang saya dapat pada
hari itu. Kalau untung, sebagian bisa saya gunakan untuk pesan bakso dengan
menu “istimewa”.
“Pak, saya pesan satu mangkok bakso. Tapi tidak pakai
pentol. Kuah sama mie saja.” Awalnya, si penjual sempat bingung. Kelihatan
ragu. Tidak seperti teman-teman lain
yang minta pentol lima atau sepuluh biji. Saya hanya minta kuah dan mie saja.
Itu yang saya sebut bakso menu “istimewa”. Sebenarnya bukan beli bakso, tapi
saya hanya beli mie dan kuah bakso.
Dengan makan semangkok penuh berisi kuah dan mie, tidak
perlu lagi pesan minum, perut bisa kenyang. Harganya pasti jauh lebih murah.
Setiap saya ke kantin, penjualnya hafal. Saya cukup bilang: “biasa pak.” Maka satu mangkok berisi
kuah dan mei terhidangkan. Gak ada pentol, tapi kadang dapat bonus berupa
daging tetelan atau urat yang ikut di dalam kuah. Ketika dikunyah, kriuk kriuk…. rasanya nikmat banget.
Kalau ingin makan
buah-buahan impor? Saya bisa menikmati dengan cara tersendiri. Di toko-toko
buah, banyak buah afkiran yang sudah tidak layak jual. Sudah kerut-kerut, layu
dan ada yang sudah bonyok akibat kena benturan. Buah-buahan itu dijual secara
borongan oleh pemilik toko. Para pembeli biasanya dijual lagi. Sementara saya,
membeli untuk dikonsumsi sendiri. Dimakan bersama keluarga. Mungkin rasanya
sudah berkurang, dibanding buah segar. Tapi lezat masih terasa nikmat jika
dimakan dengan perasaan bersyukur.
Roti balen (balen bahasa Jawa = kembali). Sebutan untuk roti
yang sudah kadaluarsa. Yang sudah keluar jamurnya. Tidak layak dimakan dan
tidak laku jika dijual lagi. Biasanya, ada yang beli untuk diolah lagi menjadi
makanan hewan piaraan. Makanan ikan di
kolam atau diolah menjadi makanan anjing. Saya juga sering membeli tapi untuk dikonsumsi sendiri.
Mau bagaimana lagi? Beli roti yang masih baru, harganya
mahal. Terpaksa beli roti balen. Murah
dan masih bisa dimakan. Caranya? Bagian roti yang sudah keluar jamur, saya
buang. Yang tersisa bagian roti yang masih bagus. Kemudian saya cuil kecil-kecil
lalu dijemur. Ketika kering, roti tersebut sudah bisa dimakan. Rasanya? Tetap
enak, gurih dan renyah. Anda mau coba? Silahkan hehehe.
Dari cerita tadi, saya ingin mengatakan bahwa nikmat itu
datang ketika kita menjalani hidup sesuai kemampuan. Nikmati sesuai kadar yang mampu kita jalani. Tidak memaksa diri hidup dengan standar yang
tinggi.
Nothing Impossible
Dalam hidup ini, nothing
impossible. Tidak ada yang tidak mungkin. Semua orang pasti bisa dan semua
memiliki potensi yang sama. Masalahnya, mau atau tidak mengembangkan potensi
yang ada. “Mau” saja, tidak cukup. Tapi
lakukan. Sekarang. Jangan ditunda-tunda.
Jika jatuh, bangkitlah. Jatuh lagi, bangkit lagi.
Tidak ada satu pun pengusaha yang tidak pernah gagal. Saya
sendiri mengalaminya. Saat itu, tahun 1989, ketika menjelang akhir kuliah
di Fakultas Kimia (MIPA) Institut
Teknologi 10 November Surabaya (ITS).
Saya mendirikan home industry
stemvet dan olie daur ulang. Usaha yang semula dilakukan di rumah, berkembang
dengan baik.
Permintaan pasar yang tadinya hanya melayani lokal Surabaya,
berkembang sampai ke luar kota. Bahkan sampai ke luar pulau. Kapasitas produksi
yang dilakukan di rumah, tidak mencukupi. Untuk itu, tempat usaha harus dipindahkan ke lokasi yang lebih luas. Alat produksi ditambah dengan mesin yang
kapasitasnya lebih besar.
Usaha tersebut hanya berumur sekitar dua tahun.
Perusahaan harus ditutup karena
dianggap illegal. Sudah melakukan produksi sementara izin belum
keluar. Saya harus berurusan dengan
aparat penegak hukum. Tabungan dan barang-barang berharga habis tak tersisa.
Saya gagal.
Saya harus realistis. Untuk memulai lagi bisnis baru, tidak
ada modal. Karena itu, saya mencari pengalaman dengan melamar pekerjaan.
Berbekal ijasah sarjana lulusan perguruan tinggi ternama, saya bisa mendapatkan
pekerjaan sesuai disiplin ilmu yang saya pelajari di kampus.
Saya sadar betul bahwa dengan
menjadi karyawan, sulit untuk menaikkan taraf hidup yang lebih baik. Upah
bulanan yang saya terima, hanya bisa untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak
ada sisa untuk ditabung. Karena itu, saya harus mencari tambahan penghasilan
dengan menjadi guru les organ seperti yang saya lakukan ketika masih sekolah
sampai jadi mahasiswa.
Penghasilan
dari mengajar musik itu jauh lebih besar dibanding penghasilan sebagai
karyawan.
Mungkin ada yang bertanya:
“kenapa masih bertahan jadi karyawan?” Jawabannya sederhana. “cari
pengalaman”. Pengalaman sebagai karyawan di dua perusahaan pabrikan, sungguh
tidak ternilai harganya. Saya bisa melakukan penelitian dan menemukan formula
untuk produk-produk kecantikan.
Ilmu yang saya dapatkan itulah yang kemudian mengubah taraf
hidup saya menjadi lebih baik. Saya bosan jadi karyawan, kemudian resign dari
perusahaan. Mulai bisnis dengan memproduksi aneka kebutuhan seperti handsoap,
super pel, pelembut pakaian, sabun bubuk, shampoo, conditioner, obat creambath
dan massage cream. Produk curah tanpa
merek itu laku keras di pasaran.
Pada saat yang sama, tahun 1997 – 1998, terjadi krisis
moneter yang populer dengan sebutan Krismon. Nilai tukar rupiah tidak
terkontrol. Dari Rp 2.450 per dolar menjadi Rp 15.000. Sementara stok bahan baku yang saya impor
sebelum Krismon, cukup banyak. Nilai jual berlipat-lipat. Saya tiba-tiba
menjadi orang kaya.
Ini jawaban dari Tuhan. Dulu hidup melarat. Sempat bikin
usaha daur ulang olie. kemudian bermasalah. Kerja di tempat yang kotor dan bau,
kemudian dikasi rezeki berlebihan dengan pekerjaan di tempat yang bersih dan
harum.
Kursus Jadi Institute
Ketika keadaan sudah berubah. Punya uang. Bisa beli beberapa rumah. Setiap
tahun jalan-jalan ke luar negeri. Bukan berarti saya puas. Ada kegelisahan yang
sering menggoda pikiran. Kegagalan bisnis stemvet dan olie, tidak boleh
terulang lagi. Lalu apa yang harus saya lakukan.
Muncullah ide mendirikan Home Industry Class (HIC). Membuka
pelatihan atau kursus singkat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti
kursus cara membuat handsoap, super pel,
multo, sabun bubuk, shampoo, conditioner, obat creambath dan lain-lain. Saya
menularkan ilmu kepada siapa saja yang berminat agar mereka bisa menjadi pelaku
bisnis rumahan. Keterampilan yang bisa mendatangkan hasil dan membuka lapangan
kerja.
Keluarga dan beberapa orang dekat
saya tidak setuju. Saya dianggap ceroboh karena akan bermunculan pesaing baru.
HIC itu ibarat menggali liang kubur untuk bisnis saya sendiri. Terancam
bangkrut atau mati. Tapi saya
punya strategi. Saya akan menyulap liang kubur
itu menjadi lubang sumur.
Peserta HIC, selain membayar biaya
kursus, mereka juga membeli bahan baku untuk praktik. Setelah mereka bisa dan
siap memulai usaha rumahan, juga akan membeli bahan baku dari saya. Berarti,
bahan baku yang menumpuk di gudang, yang dulu saya beli ketika kurs dolar masih
rendah, akan laku keras. Saya juga bisa memasarkan mesin-mesin sederhana untuk
alat produksi berskala rumahan.
Peminatnya luar biasa. Kelas selalu
penuh. Bahkan peserta bersedia antri, mendaftar dan membayar di depan untuk
kersus berikutnya. Materi kursus
berkembang bukan hanya untuk produk kecantikan dan kebutuhan rumah tangga.
Bidang kuliner juga sangat diminati. Materi
yang diajarkan, dari makanan dan kue tradisional sampai makanan modern dan
internasional.
HIC juga menggelar kursus handicraft seperti kreasi
lilin, hiasan tempelan kulkas, daur ulang kertas, souvenir pernikahan. Bahkan
kami juga menawarkan kursus membuat cat tembok, pelatihan chroom, cara membuat
rokok, pelatihan membuat shampoo mobil (otomotif
cleaner).
Delapan tahun HCI berkiprah sebagai penyelenggara kursus.
Tepatnya dari tahun 1999 sampai akhir 2007. Kemudian mengalami metamorpose
menjadi Tristar Culinery Institute (TCI) yang terus berkembang sesuai
dengan tuntutan zaman. Pendidikan kekinian.
TCI yang resmi berdiri 7 Januari 2008 itu memiliki kampus di
beberapa kota. Tiga kampus di Surabaya, kemudian di Kota Batu, Bogor ,
Tangerang dan Pontianak, Kalimantan Barat. Ada beberapa
kampus lagi yang sedang dalam tahap
persiapan
Dari kampus-kampus
tersebut, sudah banyak mencetak tenaga terampil D3 Hotel & Tourism, D3 Informatics
Managemen, D3 Computerized Accounting, D3 Computer Technology, S1 Food
Technologi. Mereka sudah menyebar menjadi tenaga ahli di bidangnya. Sebagian
ada yang sudah sukses menjalankan usaha sendiri.
Lewat
buku NOTHING IMPOSSIBLE “Tristar: Dari Kursus Jadi Perguruan Tinggi” ini, saya
tidak bermaksud menepuk dada atau bersombong diri. Memoar ini hanya sarana untuk berbagi pengalaman.
Semoga ada manfaatnya.
Salam Sukses Untuk Semua.
Ir. Juwono Saroso, MM, M.Par
***