Monday, November 12, 2018

Sebuah Prolog:


NOTHING IMPOSSIBLE
"Tristar: Dari Kursus Jadi Perguruan Tinggi"

Saya lahir di Tulungagung Jawa Timur, 29 Nevember 1966. Anak kedua dari tiga bersaudara.  Papa saya, Pek Khe Eng mengelola sebuah peternakan babi warisan dari Engkong (kakek). Lahan peternakan yang ada di pinggiran kota, cukup luas  dengan jumlah ternak lebih dari 1000 ekor babi. Sementara Mama saya, Koo Kiem Hian mengelola sebuah toko garmen. 

Penghasilan dari usaha dan bisnis kedua orangtua di Tulunggagung itu, lebih dari cukup. Tapi keadaan itu tidak berjalan lama. Ketika saya duduk di kelas 3 sekolah dasar, usaha dan bisnis kedua orangtua saya bangkrut. Ekonomi keluarga porak poranda. Hutang ada di mana-mana. Semua aset yang tersisa dilego tapi  tidak cukup untuk menutup semua  hutang. 
Kami pindah ke kota Surabaya. Memulai hidup baru dalam suasana yang memprihatinkan. Kontrak  rumah petak yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Rumah dengan satu kamar tidur ditempati berlima. Pengap, ditambah gangguan dari mahluk bernama tikus, kecoak dan nyamuk.
Ketika bocah-bocah seusia saya bebas bermain dengan dunia anak-anaknya, maka saya harus bergelut dengan kesibukan membantu orangtua. Setiap hari, sepulang sekolah, , bawa keranjang plastik berisi jajan untuk dijual.
Jika anak-anak seusia saya setiap hari mendapat jatah uang saku dan dihabiskan untuk membeli jajan sesukanya, sementara saya harus berusaha mencari uang sendiri dan  membelanjakan dengan  cara yang hemat agar ada sisa untuk ditabung. Karena terlalu hemat,  ada sebagian teman yang mengolok-olok saya sebagai anak yang  pelit. Saya cuekin saja. Toh mereka  tidak tahu keadaan keluarga saya yang sebenarnya.
Ketika jam istirahat, teman-teman bergegas ke kantin untuk makan atau minum. Saya juga kadang ikut ke kantin, bukan untuk jajan. Saya hanya  mengecek apakah es buah plastik yang saya titipkan di kantin itu banyak yang laku. Sebab, setiap hari saya bawa  satu termos berisi es. Itu dagangan saya untuk menambah uang saku.
Kalau es buah banyak yang  laku, saya sudah bisa menghitung berapa keuntungan yang saya dapat pada hari itu. Kalau untung, sebagian bisa saya gunakan untuk pesan bakso dengan menu “istimewa”.
“Pak, saya pesan satu mangkok bakso. Tapi tidak pakai pentol. Kuah sama mie saja.” Awalnya, si penjual sempat bingung. Kelihatan ragu.  Tidak seperti teman-teman lain yang minta pentol lima atau sepuluh biji. Saya hanya minta kuah dan mie saja. Itu yang saya sebut bakso menu “istimewa”. Sebenarnya bukan beli bakso, tapi saya hanya beli mie dan kuah bakso.
Dengan makan semangkok penuh berisi kuah dan mie, tidak perlu lagi pesan minum, perut bisa kenyang. Harganya pasti jauh lebih murah. Setiap saya ke kantin, penjualnya hafal. Saya cukup  bilang: “biasa pak.” Maka satu mangkok berisi kuah dan mei terhidangkan. Gak ada pentol, tapi kadang dapat bonus berupa daging tetelan atau urat yang ikut di dalam kuah. Ketika dikunyah, kriuk kriuk….  rasanya nikmat banget.
Kalau ingin makan buah-buahan impor? Saya bisa menikmati dengan cara tersendiri. Di toko-toko buah, banyak buah afkiran yang sudah tidak layak jual. Sudah kerut-kerut, layu dan ada yang sudah bonyok akibat kena benturan. Buah-buahan itu dijual secara borongan oleh pemilik toko. Para pembeli biasanya dijual lagi. Sementara saya, membeli untuk dikonsumsi sendiri. Dimakan bersama keluarga. Mungkin rasanya sudah berkurang, dibanding buah segar. Tapi lezat masih terasa nikmat jika dimakan dengan perasaan bersyukur.
Roti balen (balen bahasa Jawa = kembali). Sebutan untuk roti yang sudah kadaluarsa. Yang sudah keluar jamurnya. Tidak layak dimakan dan tidak laku jika dijual lagi. Biasanya, ada yang beli untuk diolah lagi menjadi makanan  hewan piaraan. Makanan ikan di kolam atau diolah menjadi makanan anjing. Saya juga sering  membeli tapi untuk dikonsumsi sendiri.
Mau bagaimana lagi? Beli roti yang masih baru, harganya mahal. Terpaksa beli roti balen.  Murah dan masih bisa dimakan. Caranya? Bagian roti yang sudah keluar jamur, saya buang. Yang tersisa bagian roti yang masih bagus. Kemudian saya cuil kecil-kecil lalu dijemur. Ketika kering, roti tersebut sudah bisa dimakan. Rasanya? Tetap enak, gurih dan renyah. Anda mau coba? Silahkan hehehe.
Dari cerita tadi, saya ingin mengatakan bahwa nikmat itu datang ketika kita menjalani hidup sesuai kemampuan. Nikmati sesuai kadar yang mampu kita jalani.  Tidak memaksa diri hidup dengan standar yang tinggi.

Nothing Impossible
Dalam hidup ini, nothing impossible. Tidak ada yang tidak mungkin. Semua orang pasti bisa dan semua memiliki potensi yang sama. Masalahnya, mau atau tidak mengembangkan potensi yang ada.  “Mau” saja, tidak cukup. Tapi lakukan. Sekarang. Jangan ditunda-tunda.  Jika jatuh, bangkitlah. Jatuh lagi, bangkit lagi.
Tidak ada satu pun pengusaha yang tidak pernah gagal. Saya sendiri mengalaminya. Saat itu, tahun 1989, ketika menjelang akhir kuliah di  Fakultas Kimia (MIPA) Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS).  Saya mendirikan home industry stemvet dan olie daur ulang. Usaha yang semula dilakukan di rumah, berkembang dengan baik. 
Permintaan pasar yang tadinya hanya melayani lokal Surabaya, berkembang sampai ke luar kota. Bahkan sampai ke luar pulau. Kapasitas produksi yang dilakukan di rumah, tidak mencukupi. Untuk itu, tempat usaha harus  dipindahkan ke lokasi yang lebih luas.  Alat produksi ditambah dengan mesin yang kapasitasnya lebih besar.
Usaha tersebut hanya berumur sekitar  dua tahun.  Perusahaan harus ditutup karena  dianggap illegal. Sudah melakukan produksi sementara izin belum keluar.  Saya harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Tabungan dan barang-barang berharga habis tak tersisa. Saya gagal.
Saya harus realistis. Untuk memulai lagi bisnis baru, tidak ada modal. Karena itu, saya mencari pengalaman dengan melamar pekerjaan. Berbekal ijasah sarjana lulusan perguruan tinggi ternama, saya bisa mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilmu yang saya pelajari di kampus.
            Saya sadar betul bahwa dengan menjadi karyawan, sulit untuk menaikkan taraf hidup yang lebih baik. Upah bulanan yang saya terima, hanya bisa untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak ada sisa untuk ditabung. Karena itu, saya harus mencari tambahan penghasilan dengan menjadi guru les organ seperti yang saya lakukan ketika masih sekolah sampai jadi mahasiswa.
Penghasilan dari mengajar musik itu jauh lebih besar dibanding penghasilan sebagai karyawan.
Mungkin ada yang bertanya:  “kenapa masih bertahan jadi karyawan?” Jawabannya sederhana. “cari pengalaman”. Pengalaman sebagai karyawan di dua perusahaan pabrikan, sungguh tidak ternilai harganya. Saya bisa melakukan penelitian dan menemukan formula untuk produk-produk kecantikan. 
Ilmu yang saya dapatkan itulah yang kemudian mengubah taraf hidup saya menjadi lebih baik. Saya bosan jadi karyawan, kemudian resign dari perusahaan. Mulai bisnis dengan memproduksi aneka kebutuhan seperti handsoap, super pel, pelembut pakaian, sabun bubuk, shampoo, conditioner, obat creambath dan massage cream.  Produk curah tanpa merek itu laku keras di pasaran.
Pada saat yang sama, tahun 1997 – 1998, terjadi krisis moneter yang populer dengan sebutan Krismon. Nilai tukar rupiah tidak terkontrol. Dari Rp 2.450 per dolar menjadi Rp 15.000.  Sementara stok bahan baku yang saya impor sebelum Krismon, cukup banyak. Nilai jual berlipat-lipat. Saya tiba-tiba menjadi orang kaya.
Ini jawaban dari Tuhan. Dulu hidup melarat. Sempat bikin usaha daur ulang olie. kemudian bermasalah. Kerja di tempat yang kotor dan bau, kemudian dikasi rezeki berlebihan dengan pekerjaan di tempat yang bersih dan harum.


Kursus Jadi Institute

Ketika keadaan sudah berubah.  Punya uang. Bisa beli beberapa rumah. Setiap tahun jalan-jalan ke luar negeri. Bukan berarti saya puas. Ada kegelisahan yang sering menggoda pikiran. Kegagalan bisnis stemvet dan olie, tidak boleh terulang lagi. Lalu apa yang harus saya lakukan.
Muncullah ide mendirikan Home Industry Class (HIC). Membuka pelatihan atau kursus singkat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti kursus  cara membuat handsoap, super pel, multo, sabun bubuk, shampoo, conditioner, obat creambath dan lain-lain. Saya menularkan ilmu kepada siapa saja yang berminat agar mereka bisa menjadi pelaku bisnis rumahan. Keterampilan yang bisa mendatangkan hasil dan membuka lapangan kerja.
Keluarga dan beberapa orang dekat saya tidak setuju. Saya dianggap ceroboh karena akan bermunculan pesaing  baru.  HIC itu ibarat menggali liang kubur untuk bisnis saya sendiri.  Terancam  bangkrut atau mati.  Tapi saya punya strategi. Saya akan menyulap liang kubur  itu menjadi lubang sumur.
Peserta HIC, selain membayar biaya kursus, mereka juga membeli bahan baku untuk praktik. Setelah mereka bisa dan siap memulai usaha rumahan, juga akan membeli bahan baku dari saya. Berarti, bahan baku yang menumpuk di gudang, yang dulu saya beli ketika kurs dolar masih rendah, akan laku keras. Saya juga bisa memasarkan mesin-mesin sederhana untuk alat produksi berskala rumahan.
Peminatnya luar biasa. Kelas selalu penuh. Bahkan peserta bersedia antri, mendaftar dan membayar di depan untuk kersus berikutnya.  Materi kursus berkembang bukan hanya untuk produk kecantikan dan kebutuhan rumah tangga. Bidang kuliner juga sangat diminati.  Materi yang diajarkan, dari makanan dan kue tradisional sampai makanan modern dan internasional.
HIC juga menggelar kursus  handicraft seperti kreasi lilin, hiasan tempelan kulkas, daur ulang kertas, souvenir pernikahan. Bahkan kami juga menawarkan kursus membuat cat tembok, pelatihan chroom, cara membuat rokok, pelatihan membuat shampoo mobil (otomotif cleaner). 
Delapan tahun HCI berkiprah sebagai penyelenggara kursus. Tepatnya dari tahun 1999 sampai akhir 2007. Kemudian mengalami metamorpose menjadi  Tristar Culinery Institute (TCI) yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan  zaman. Pendidikan kekinian.
TCI yang resmi berdiri 7 Januari 2008 itu memiliki kampus di beberapa kota. Tiga kampus di Surabaya, kemudian di Kota Batu, Bogor , Tangerang    dan  Pontianak, Kalimantan Barat. Ada beberapa kampus lagi yang  sedang dalam tahap persiapan
Dari kampus-kampus  tersebut, sudah banyak mencetak tenaga terampil  D3 Hotel & Tourism, D3 Informatics Managemen, D3 Computerized Accounting, D3 Computer Technology, S1 Food Technologi. Mereka sudah menyebar menjadi tenaga ahli di bidangnya. Sebagian ada yang sudah sukses menjalankan usaha sendiri.
Lewat buku NOTHING  IMPOSSIBLE “Tristar: Dari Kursus Jadi Perguruan Tinggiini, saya tidak  bermaksud menepuk dada atau  bersombong diri.  Memoar ini hanya sarana untuk berbagi pengalaman. Semoga  ada manfaatnya. 
Salam Sukses Untuk Semua.
Ir. Juwono Saroso, MM, M.Par
***





Pertama-tama, terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitu banyak nikmat yang Engkau berikan. Tidak terhingga anugerah yang Engkau limpahkan. Begitu indah rencanaMu melebihi harapan yang selalu kuucapkan dalam setiap doa-doaku.
Saya sangat bersyukur dan mengucapkan:“Tuhan Yesus, terimakasih untuk segalanya” (Read More)

Sebuah Epilog:

Sebuah Testimoni Semua yang saya miliki hari ini adalah anugerah dari Yang Kuasa yang saya dapatkan dengan   perjuangan yang c...